/0/18486/coverorgin.jpg?v=d3a7b1b89ae6f4bcafc3e33877795f7e&imageMogr2/format/webp)
Hujan turun seperti lolongan roh di atas kanopi Amazon yang lebat. Udara dipenuhi aroma tanah basah, dedaunan hancur, dan jejak darah yang tak sempat mengering. Di tengah gemuruh alam, langkah-langkah panik memecah keheningan malam. Burung-burung hantu terbang menjauh. Ranting patah. Suara langkah itu bukan milik makhluk hutan biasa.
Selene berlari. Kakinya berdarah, kulitnya terkoyak oleh duri dan batu tajam. Namun yang paling menyakitkan bukan luka di tubuhnya, melainkan suara desing panah yang terus mengikutinya tanpa suara, ia tak bisa berteriak meminta tolong, dan itu membuatnya lebih seperti hantu daripada manusia.
Ia tahu mereka memburunya bukan karena ia mencuri, bukan pula karena ia membunuh. Tapi karena darahnya. Karena sesuatu yang bahkan dirinya tak mengerti tentang mata yang bersinar perak dalam gelap, tentang mimpi-mimpi aneh yang selalu membuatnya terbangun dalam peluh dingin, tentang suara serigala yang hanya ia dengar dalam pikirannya.
"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak seseorang dari belakang. Suaranya berat dan kasar, aksen asing yang tak berasal dari desa mereka.
Selene berbelok tajam ke arah tebing yang ditutupi akar pohon raksasa. Tubuhnya mungil dan gesit, tapi ia kelelahan. Ia menyelinap ke balik batang pohon dan menahan napas. Jantungnya berdetak cepat, terlalu keras hingga ia yakin pemburunya bisa mendengarnya dari kejauhan.
Tiba-tiba, suara napas berat terdengar dari samping. Ia menoleh. Seekor ular besar menggeliat pelan dari balik dedaunan, lidahnya menjulur, menjilat udara.
Selene menahan jerit yang tak pernah bisa ia keluarkan.
Namun sebelum ular itu sempat menyerang, sekelebat bayangan hitam melintas. Ular itu terlempar ke udara, membentur pohon dengan suara retakan tulang.
Bayangan itu berdiri di hadapannya. Tinggi. Tegap. Matanya seperti bara yang terbakar diam-diam di tengah malam.
Darius Blackthorn.
Ia tak berkata sepatah kata pun. Tapi Selene tahu: pria itu bukan manusia biasa.
Dan entah kenapa, di tengah ketakutan yang mencekam, tubuh Selene bergetar bukan karena dingin. Tapi karena sesuatu yang lain sebuah getaran halus yang berasal dari dada, menjalar ke seluruh tubuhnya, seperti gema dari masa lalu yang tak ia ingat.
Darius menatapnya lama, sorot matanya tajam namun tidak mengancam. Ia bisa mencium aroma darah, takut, dan... sesuatu yang jauh lebih tua dari waktu.
"Siapa kau?" tanyanya lirih, namun suara itu terdengar seperti gema petir.
Selene menggeleng pelan. Matanya meminta maaf. Tangannya bergerak, memberi isyarat, tapi Darius tidak mengerti. Ia hanya menatapnya dengan kening berkerut.
"Bisu?" gumamnya.
Selene mengangguk.
Sebelum Darius bisa berkata lebih, anak panah menancap ke batang pohon di dekat kepala mereka. Darius bergerak cepat, menarik Selene ke belakang tubuhnya. Napasnya berubah lebih berat, lebih dalam. Ia mendongak, dan matanya bersinar perak terang.
Lelaki itu bukan hanya Alpha. Ia adalah kematian bagi siapa pun yang berani mengancam.
Tiga pemburu muncul dari balik semak. Mereka mengenakan jubah kulit, wajah mereka dihiasi lukisan suku yang telah dilupakan. Tapi Darius tahu siapa mereka.
"Pengecut," gumamnya.
"Dia bukan milikmu, serigala," ujar salah satu pemburu. "Anak itu milik kami. Ia keturunan yang kami cari titisan Ratu yang hilang."
"Dia bukan milik siapa-siapa," sahut Darius. "Pergi sekarang, atau aku akan menghancurkan tulangmu satu per satu."
Para pemburu tertawa. "Sumpahmu tidak mengizinkanmu mencampuri urusan luar klan."
"Dan aku tak pernah peduli pada aturan busuk yang ditulis oleh orang mati," ucap Darius, sebelum menerkam.
Serangan itu begitu cepat hingga mata manusia tak mampu mengikutinya. Darius berubah di udara-dari pria menjadi makhluk setengah serigala dengan cakar tajam dan taring berkilat. Ia menerkam pemburu pertama, mencabik lehernya, lalu menghantam dua lainnya hingga tubuh mereka terlempar.
Selene tak bisa berpaling. Pemandangan itu mengerikan, namun ada sesuatu yang indah di balik kebuasan itu sebuah kemarahan yang berasal dari rasa perlindungan. Ia tahu ia seharusnya takut. Tapi ia merasa aman.
Saat pertempuran selesai dan tubuh Darius kembali pada wujud manusianya, ia berdiri di hadapannya dengan napas terengah.
"Kenapa mereka memburumu?" tanyanya.
Selene menatapnya, lalu meletakkan telapak tangan di dadanya. Ia menyentuh jantungnya sendiri, lalu menunjuk langit.
Darius mengerutkan kening, mencoba memahami.
"Apa ini tentang darahmu?"
Selene mengangguk.
Diam.
Hening.
/0/24277/coverorgin.jpg?v=20250604212023&imageMogr2/format/webp)