/0/21824/coverorgin.jpg?v=bf38f2fc2a18bd5b408ddaf505dc4c5f&imageMogr2/format/webp)
Hujan baru saja berhenti ketika langkah sepatu pria itu terdengar di koridor marmer yang panjang. Dentingnya berat, teratur, dan dingin-seolah setiap pijakan mengirimkan gema peringatan kepada siapa pun yang cukup berani menatapnya terlalu lama.
Arden Valez.
Nama itu sudah cukup membuat siapa pun di lingkungan bisnis internasional menggigil. Ia bukan hanya kaya. Ia berkuasa. Pria itu bukan sekadar pemilik perusahaan Valez Group-sebuah imperium yang mencakup properti, senjata, dan perdagangan laut-tapi juga simbol ketakutan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa mengubah hidup seseorang... atau mengakhirinya.
Namun sore itu, di antara aroma tanah basah dan sisa embun yang menempel di kaca besar ruang kantornya, pria itu terlihat tidak sedang memikirkan kekuasaan. Tatapan matanya kosong menatap kota di bawah sana-metropolis yang berdenyut dalam kebisingan.
Tangannya menggenggam segelas bourbon, namun belum disentuh. Jari-jarinya yang panjang, dingin, dan berurat menatap pantulan dirinya di kaca-mata kelam, rahang kaku, dan ekspresi yang sulit diartikan.
Semuanya terasa begitu sunyi.
Sampai suara ketukan lembut memecah diam.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk," suaranya berat, dalam, tanpa intonasi.
Seorang pria paruh baya melangkah masuk, menunduk sopan.
"Tuan Valez, orang yang Anda minta sudah tiba."
Arden menoleh setengah, cukup untuk menatapnya sekilas. "Suruh dia menunggu di ruang bawah."
"Baik, Tuan."
Setelah pintu tertutup, Arden menegakkan tubuhnya, menghela napas panjang, lalu meletakkan gelas bourbon itu di meja kaca. Tangannya terulur ke arah laci, mengambil selembar foto yang warnanya sudah sedikit pudar.
Wajah di foto itu membuat rahangnya menegang.
Seren Ayandra.
Perempuan yang dulu ia anggap hanya alat. Sebuah permainan dalam strategi kekuasaan. Ia yang memulai semua ini-dan kini, bertahun-tahun setelah kehilangan gadis itu, Arden mulai memahami makna kehilangan yang sesungguhnya.
Ia menatap foto itu lama, lalu menutup matanya.
Di sisi lain kota, di sebuah rumah sederhana di tepi sungai kecil, Seren sedang menjemur cucian sambil mengusap sisa air di pipinya. Hujan yang turun sejak subuh membuat udara lembap, tapi setidaknya sinar matahari sudah mulai muncul dari balik awan kelabu.
Sudah tiga tahun sejak ia pergi dari kehidupan yang dulu.
Tiga tahun sejak ia meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pria bernama Arden Valez.
Kini hidupnya tenang-atau setidaknya terlihat begitu. Ia bekerja di sebuah klinik kecil milik yayasan amal, membantu anak-anak korban konflik. Hidupnya sederhana, tapi cukup.
"Seren, tolong ambilkan berkas pasien pagi tadi," suara lembut seorang perempuan memanggil dari ruang depan.
"Ya, Ibu!" jawabnya cepat, menyeka tangannya pada kain lalu berlari kecil masuk ke dalam.
Langkahnya ringan, tapi ada getaran aneh dalam dadanya hari itu. Sejak pagi, entah mengapa, pikirannya gelisah. Seperti ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang lama, gelap, dan berbahaya.
Ia tak tahu bahwa pada saat yang sama, di menara kaca raksasa itu, seseorang sedang memerintahkan orang-orangnya untuk menemukan dirinya.
Malam hari, kota kembali tenggelam dalam cahaya lampu. Jalanan basah berkilau memantulkan sinar merah lampu lalu lintas. Di lantai tiga puluh delapan, ruang pertemuan Valez Group masih menyala terang.
"Tuan, tim kami sudah melacak lokasi yang Anda minta," ujar pria berpakaian hitam di hadapan Arden.
Arden duduk di kursinya, tubuh tegapnya membungkuk sedikit ke depan. "Dan?"
"Dia ada di pesisir utara. Hidup dengan identitas baru atas nama Seren Alvarine. Kami temukan melalui catatan medis."
Sekilas, sesuatu bergetar di mata pria itu. Antara keterkejutan, rasa bersalah, dan ketakutan yang tak ingin diakuinya. "Berapa lama kau tahu ini?"
"Baru dua hari, Tuan."
"Dan kau baru melapor sekarang?"
"Tuan, kami memastikan dulu identitasnya-"
"Pastikan dia tidak tahu kalau aku mencarinya," potong Arden dingin. "Belum saatnya."
"Baik, Tuan."
Begitu pria itu keluar, Arden memijit pelipisnya. Nafasnya berat. Satu sisi dirinya ingin segera pergi menemuinya-memastikan Seren benar-benar hidup, memohon maaf, dan mungkin... memulai sesuatu yang baru. Tapi sisi lain tahu bahwa bagi Seren, kehadirannya hanya berarti luka lama yang kembali berdarah.
Arden meneguk bourbonnya habis-habisan, menatap langit malam di balik kaca.
Ia tidak tahu, bahwa pada detik yang sama, Seren sedang menatap bintang yang sama dari balkon kecil rumahnya, menggenggam kalung yang sudah berkarat-kalung yang pernah diberikan pria itu padanya bertahun-tahun lalu.
Pagi berikutnya.
Klinik tempat Seren bekerja mulai ramai. Anak-anak berlarian, tawa mereka memenuhi udara. Seren menunduk membantu seorang bocah laki-laki mengikat tali sepatunya.
"Kau tahu, kamu hebat hari ini. Tidak menangis waktu disuntik," ujarnya lembut.
Anak itu tersenyum lebar. "Bu Seren, kalau aku sembuh, aku bisa main bola lagi?"
"Tentu saja bisa," jawab Seren sambil tersenyum-senyum yang menenangkan, tapi menyimpan luka di baliknya.
Namun sebelum ia sempat berdiri, sebuah suara berat terdengar di belakangnya.
"Masih suka menenangkan orang lain, bahkan setelah kau sendiri tidak pernah sembuh?"
Tubuh Seren menegang. Ia membeku. Tangannya gemetar sebelum ia perlahan menoleh.
Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah ia pikir akan muncul lagi dalam hidupnya.
/0/29060/coverorgin.jpg?v=097c917dfde2503fd73b66ae586e64f1&imageMogr2/format/webp)
/0/23737/coverorgin.jpg?v=598e30d8e758d849123fa70fb1ffdd77&imageMogr2/format/webp)
/0/14411/coverorgin.jpg?v=bd738e8253e99222619299bc91fa7e0c&imageMogr2/format/webp)
/0/15176/coverorgin.jpg?v=4fef4ccc51868c9e5c720564e7943dd8&imageMogr2/format/webp)
/0/17985/coverorgin.jpg?v=b408e4a007dd171cdaffaf8bcec08a75&imageMogr2/format/webp)
/0/21119/coverorgin.jpg?v=c6f97c32efcf6b9cac0aaf22e1b791da&imageMogr2/format/webp)
/0/21638/coverorgin.jpg?v=93a4504fb4f119a1df890d35f8343a67&imageMogr2/format/webp)
/0/29598/coverorgin.jpg?v=623a1480eb77d0bfb0a972fdbb9ef957&imageMogr2/format/webp)
/0/15227/coverorgin.jpg?v=f9fb3ec54200a24c071370f18b8d2da9&imageMogr2/format/webp)
/0/18338/coverorgin.jpg?v=fd3714856cbd0c5db11cdea2f4de72e9&imageMogr2/format/webp)
/0/10794/coverorgin.jpg?v=6e423b4f4c2a0570dbf32f519b9e30fa&imageMogr2/format/webp)
/0/23841/coverorgin.jpg?v=f504fd44d5add382fb179085698f1b10&imageMogr2/format/webp)
/0/26494/coverorgin.jpg?v=9f3c4b0d80e84312e3f601762d44dbbc&imageMogr2/format/webp)
/0/20516/coverorgin.jpg?v=9e637b587732bf8bb851698178ff2fd3&imageMogr2/format/webp)
/0/21863/coverorgin.jpg?v=bccbf0a59fda46c56f6782b29d239b81&imageMogr2/format/webp)
/0/28985/coverorgin.jpg?v=fc721434ce0a3ff81fe29e14403a93a6&imageMogr2/format/webp)
/0/28851/coverorgin.jpg?v=b05270e6ed77606396aac70a51e2be25&imageMogr2/format/webp)
/0/17433/coverorgin.jpg?v=e3f4aa9d96359f32ce44a09c18f28150&imageMogr2/format/webp)