Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Malam itu, Lina duduk di teras belakang rumahnya, ditemani angin sepoi-sepoi yang menyentuh lembut wajahnya. Langit berhiaskan bintang, namun hatinya terasa kosong, seperti ada ruang yang hilang dari dalam dirinya. Sudah sepuluh tahun ia menikah dengan Ardi, lelaki yang dulu selalu bisa membuatnya tertawa, lelaki yang dulu ia yakini sebagai pelabuhan hatinya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.
Lina mengingat kembali awal pernikahan mereka. Di tahun-tahun pertama, setiap hari bersama Ardi terasa seperti petualangan baru. Tawa mereka selalu menghiasi rumah, dan Ardi selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. "Kamu satu-satunya," kata-kata Ardi yang dulu sering terucap masih bergema dalam ingatan Lina. Tetapi, perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu, kehangatan itu memudar.
Belakangan ini, Ardi semakin sering pulang larut malam. Sibuk, katanya. Pekerjaan menuntutnya lebih banyak waktu di kantor. Pada awalnya, Lina mengerti. Setiap kali Ardi berkata sibuk, ia selalu berpikir bahwa ini hanyalah fase yang akan berlalu. Tapi setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Lina mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Dia mencoba mencari celah, momen di mana mereka bisa bicara, mengembalikan keintiman yang hilang. Namun, setiap kali ia membuka percakapan, Ardi selalu terburu-buru mengakhiri, mengatakan bahwa dia lelah dan hanya ingin beristirahat. Begitu banyak pertanyaan yang terpendam di benak Lina, tapi setiap kali ia mencoba mengungkapkannya, ia merasa suaminya semakin menjauh.
Lina menarik napas panjang, matanya menerawang jauh ke arah bintang-bintang. "Kapan terakhir kali kita duduk bersama, hanya berbicara?" tanyanya pada diri sendiri. Rasa sepi mulai merasuk lebih dalam, menggantikan semua kenangan manis yang dulu mereka miliki. Hubungan mereka berubah menjadi rutinitas yang hambar, seperti sepasang asing yang tinggal di bawah satu atap.
Pernikahan yang dulu penuh gairah dan cinta kini terasa seperti kewajiban, sebuah kontrak yang harus dijalani, meski hatinya mulai merasa hampa. Meski ia masih mencintai Ardi, ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya terasa kosong. Ada jarak yang perlahan tercipta di antara mereka, jarak yang semakin hari semakin sulit dijangkau. Dan yang paling menyakitkan, ia tak tahu bagaimana cara menghapus jarak itu.
Lina menatap ponselnya, berharap ada pesan dari Ardi. Tidak ada. Sudah lewat tengah malam dan suaminya belum pulang. Lagi-lagi alasan sibuk menjadi tameng untuk setiap kepergian Ardi. Perlahan, Lina mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan mereka? Apakah ini benar-benar soal pekerjaan, atau ada sesuatu yang lain?
Dalam hatinya, ada perasaan takut yang mengendap. Takut bahwa cinta yang dulu menyatukan mereka kini perlahan memudar tanpa ia sadari. Takut bahwa mungkin, Ardi tak lagi mencintainya seperti dulu. Tapi, ia menolak menyerah. Di balik semua keraguan dan rasa sepi, Lina masih berharap. Masih ada sedikit keyakinan dalam dirinya bahwa cinta mereka belum sepenuhnya hilang-atau setidaknya, itulah yang terus ia yakini setiap malam ketika ia sendirian, menunggu suaminya pulang.
Lina menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa resah yang menghantuinya. Matanya tak lepas dari layar ponsel, berharap pesan atau panggilan dari Ardi, meski ia tahu bahwa harapan itu akan berakhir sia-sia. Di teras yang sunyi, hanya desiran angin yang menjadi temannya. Ia mengusap lengannya yang terasa dingin, bukan karena cuaca, tapi karena kesepian yang kian menyelimuti hatinya.
Tiba-tiba, suara pintu pagar berderit. Ardi baru saja tiba. Lina memutar kepalanya ke arah suara itu. Detik berikutnya, Ardi muncul di pintu, wajahnya lelah, matanya terlihat sedikit sayu. Tanpa banyak bicara, ia langsung masuk ke dalam rumah, seolah tidak menyadari kehadiran Lina yang duduk di sana.
"Ardi," panggil Lina pelan, mencoba memecah keheningan.
Ardi berhenti sejenak, menoleh dengan mata setengah terpejam. "Hmm?"
"Kamu baru pulang?" tanya Lina, meskipun pertanyaan itu terasa sia-sia. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ardi hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia melepas jas kerjanya dan meletakkannya di kursi terdekat. Ada jeda hening yang menggantung di udara, dan Lina merasa perih. Dulu, setiap kali Ardi pulang, mereka akan berbicara, saling bertanya tentang hari mereka. Tapi sekarang, semuanya berubah.
"Kamu sibuk sekali belakangan ini. Apa ada masalah di kantor?" Lina berusaha mencairkan suasana.
Ardi menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, banyak proyek yang harus diselesaikan. Maaf, aku nggak sempat ngabarin kamu."
Lina terdiam sejenak, menatap suaminya yang terlihat begitu jauh meskipun berdiri hanya beberapa langkah di depannya. "Kita jarang ngobrol sekarang, Ardi. Aku merasa... kita mulai menjauh."
Ardi menundukkan kepala, seperti mencoba menghindari tatapan Lina. "Aku lelah, Lin. Mungkin kita bisa bicara nanti? Aku cuma ingin istirahat sekarang."
Jawaban itu membuat hati Lina mencelos. Ini bukan pertama kalinya Ardi menghindar seperti ini. "Kamu selalu bilang begitu," katanya pelan, nadanya hampir putus asa. "Kapan kita akan benar-benar bicara? Rasanya aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di hidupmu, di hidup kita."
Ardi menegakkan punggungnya, menatap Lina dengan pandangan yang sulit diartikan. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Aku kerja keras untuk kita. Semua ini demi kamu, demi masa depan kita."
"Tapi aku nggak butuh kamu hanya sebagai penyedia materi, Ardi," kata Lina, suaranya mulai gemetar. "Aku butuh kamu di sini, bersamaku. Kamu tahu rasanya nggak pernah tahu kapan kamu pulang, nggak pernah ada waktu untuk kita lagi? Seolah-olah... seolah-olah kamu menjauh."
Ardi menghela napas, wajahnya terlihat semakin tertekan. "Aku capek, Lina. Aku nggak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Apa kamu nggak bisa mengerti?"
Lina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai membayang di sudut matanya. "Aku mengerti kamu capek, Ardi. Tapi apa kamu mengerti aku? Apa kamu tahu seberapa kesepian aku selama ini?"
Ardi terdiam. Suasana sunyi kembali menguasai mereka berdua. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak, seolah menghitung mundur hubungan mereka yang perlahan memudar.
"Aku cuma butuh waktu," akhirnya Ardi berkata, suaranya rendah. "Semua ini akan beres begitu pekerjaan di kantor selesai."