Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Kukencangkan sabuk mantelku sebelum melangkah keluar dari gate kedatangan bandara Internasional Zaventem - Brussels, Belgia. Yah, ini memang bukan yang pertama kali aku menginjakkan kakiku di Negara ini. Ayahku, lelaki yang sama sekali tak kukenal, yang memiliki andil besar atas keberadaanku di dunia ini, dia yang mengatakannya padaku lewat telepon seminggu yang lalu tentang hal itu.
Tapi entahlah, aku hanya tidak bisa menangkap kilasan memori saat aku berada di negara ini. Oh ya, dia tinggal di sini. Beliau adalah abdi kerajaan yang taat. Saking taatnya, beliau rela meninggalkan anaknya, oh bukan, harus kubenarkan, anak h*ramnya, dengan seorang mahasiswa lugu dari Negeri Timur yang saat itu sedang magang di konsulat Istana. Belum genap dua minggu sejak Mamaku meninggal dunia. Tanah di pusaranya juga belum kering, saat seseorang datang ke gubuk reyot yang kami tinggali. Mengaku utusan dari Monsieur Gouireille - Monsieur adalah panggilan hormat setara 'Tuan' dalam bahasa Indonesia.
Aku bahkan tidak menyadari bahwa nama itu ada di belakang namaku selama ini. Karena nama yang tidak lazim, dan lumayan susah dilafalkan oleh lidah loka, para guru sering tidak mengikutsertakannya dalam data diriku. Mama meninggal karena penyakit diabetes miletus bawaan yang parah yang dideritanya sejak usianya masih amat muda. Beliau collaps karena telat menyuntiikan insulin ke dalam tubuhnya, yang menyebabkan komplikasi hebat sampai ke jantung dan ginjalnya. Begitulah alasan beliau meninggal. Semuanya berlangsung cepat dan tak terduga. Tapi karena sudah terjadi, maka tak ada yang bisa kami sesali saat ini. Terlanjur.
Angin yang bercampur butiran salju lembut berhembus ke arahku. Membuat gigiku sedikit bergemetetuk. Hmph! Kalau sedingin ini, bagaimana aku bisa bertahan hidup di sini?
“Mlle Mireille?“ aku mengernyit mendengar nama itu di sebut. Terdengar aneh di telingaku.
“Sebelah sini, s’il vous plaît.“ Kulihat seorang pria dalam balutan jas formal berwarna hitam dengan memakai kacamata hitam juga, Pria tersebut memmintaku untuk mengikutinya menuju mobil hitam yang sudah terparkir rapi di sana.
Mlle, singkatan dari Mademoiselle, adalah panggilan kehormatan pagi wanita Prancis yang belum menikah. Madam, digunakan untuk memanggil mereka yang sudah menikah atau memiliki kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, sedangkan monsieur merupakan panggilan formal untuk para pria.
Aku mengikutinya masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang bahkan tak kutahu namanya. Well, here we go. Meet Daddy, batinku kecut saat mobil bersiap meninggalkan bandara.
***
Seumur hidupku, Mama selalu mengajariku bahasa Prancis. Aku mengikutinya dengan sukarela karena kukira Mama memang amat menyukai bahasa tersebut. Dan dulu, kupikir semua orang juga berbicara dalam bahasa itu. Ternyata tidak. Aku sempat dianggap aneh oleh beberapa orang di sekelilingku.
Aku sedikit lancar, walaupun bahasaku masih amat baku dan basic, tapi setidaknya kata Mama, cukup untuk berkomunikasi. Oma kadang menertawakan kami saat kami berdebat dengan bahasa yang campur aduk di rumah. Mungkin alasan lainnya adalah karena Oma sama sekali tidak paham bahasa tersebut.
Siapa yang menyangka kalau Mama ternyata menyiapkanku untuk hari ini? Agar aku bisa berkomunikasi dengan orang - orang di negara asal Ayahku. Apa dia tau kalau aku akan ke sini suatu saat? Sendirian seperti ini? Tanpa dirinya?
“Mlle Mireille, ini kamar anda. Kamar Ayah anda ada di seberang lorong. Saya ada di dapur dan di ruang belakang jika sewaktu - waktu anda membutuhkan saya.“ Brigitte, seorang wanita tua yang mengingatkanku pada sosok Oma, menyambut kedatanganku dan mengantarku berkeliling rumah saat aku datang.
Sayang sebenarnya, rumah semegah ini, hanya ditinggali oleh seorang pria tua paruh baya dengan anak gadisnya, dua pengurus rumah tangga, satu sopir dan satu tukang kebun. Ironis. Berbanding terbalik dengan gubuk reyot kami yang kecil yang hanya memiliki dua kamar dan di paksa untuk menampung tiga orang.