icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Anonymous Dating

Anonymous Dating

Itnasusatir

5.0
Komentar
22
Penayangan
2
Bab

Di antara teman-temannya, hanya Nina yang masih stay dalam status jomblo sejak lahir. Katanya hidupnya membosankan karena selalu berkutat pada tugas, menulis, dan rebahan. Sampai akhirnya ia bosan dengan rutinitas harian monotonnya dan secara ajaib, ia menemukan aplikasi kencan anonim yang mana penggunanya bebas berinteraksi tanpa mengganggu privasi lantaran saat bertukar pesan, para pengguna menggunakan email pribadi. Dan apes bagi Nina, karena iklan yang ia pasang di profil dibalas oleh dosennya yang cupu.

Bab 1 Bocor

"Sumpah, ya, Nin, gue kalau bareng lo tuh ngeri tau nggak?" Sindi melayangkan protes pada seorang cewek berambut pendek yang duduk di sebelahnya. Tak hanya dia, Mela dan Septi juga demikian. Pasalnya, sejak nongkrong di kantin, satu temannya ini cuma mantengin Hp sambil cengar-cengir enggak jelas.

Masih dengan mulut tersenyum lebar, Nina menutup ponselnya. Cewek itu memandang sahabat-sahabatnya, kemudian berkata, "Hehe. Sorry. Gue lagi baca novel." Sindi dan yang lain mendesah, tapi cewek berponi lurus itu melanjutkan, "Ceritanya keren, loh. Jadi, tuh, ada cowok namanya Angga—"

"Bentar," sela Mela. Ia menelan kasar basreng di mulutnya. "Kalau lo mau cerita kalau si Angga ini baik, pacarable, ganteng, so sweet, please stop. Oke? Ngayal, tuh, sama yang nyata aja, Nin."

Wajah Nina berubah cemberut. Sudah menjadi kebiasaannya menyukai cowok-cowok fiksi yang ia baca di novel romansa, dan setiap ia menyukai satu karakter, ia tidak bisa diam barang sedetik dan tidak menceritakan kekagumannya pada sahabat-sahabatnya ini.

Sindi dan Septi menatap Nina prihatin.

"Iya, Nin. Lo cari yang nyata aja." Septi yang biasanya cuma mendengarkan, kini ikut menimpali, pertanda dia sudah bosan dengan cerita-cerita Nina pacar halunya itu.

Sindi mengangguk. "Persentase jumlah cewek dan cowok se-Indonesia juga masih banyak cowoknya, masa, sih, satuuu aja nggak ada yang bikin lo tertarik?"

Muka Nina yang hanya dipoles make up tipis itu tampak semakin mendung. Bukannya tidak ada yang menarik, mereka cuma enggak tahu aja rasanya disakiti berkali-kali. Kisah asmara mereka manis, enggak ada pahit-pahitnya sama sekali.

Misalnya Sindi. Dia jatuh cinta sama Raffa, pedekate, enggak lama jadian. Terus si Mela, sejak SMP naksir berat sama Dion, eh tahunya sekarang udah tunangan. Nah, si pendiam, Septi, dia cewek paling beruntung di dunia karena cowok yang dia sukai diam-diam ternyata suka dia diam-diam juga. Ya, pokoknya cuma Nina yang masih betah jomlo sejak lahir karena keseringan di-ghosting.

"Nin, dengerin gue." Mela memegang pundaknya. Cewek bertubuh ramping itu memandang Nina lekat. "Semua cowok nggak sama kayak yang udah pernah ninggalin lo."

Ternyata Mela tahu alasan kenapa Nina masih enggak mau membuka hati untuk jatuh cinta lagi. "Udahlah, nanti cowok juga dateng sendiri. Nggak perlu dibawa ribet," jawab Nina sambil menyingkirkan tangan Mela.

"Ya bakalan percuma kalo tiap ada yang deketin lo, lo-nya malah kek kutub es!" sungut Sindi. Sepertinya dialah yang paling kesal dengan rutinitas Nina yang itu-itu saja.

Nina mengembuskan napas kasar. Ia memandang titik-titik embun di luar gelas berisi jus alpukatnya. Sebenarnya, ia juga sering merasa kesepian setiap teman-temannya jalan bareng sama pacarnya. Sementara ia hanya mengurung diri di apartemen sambil pura-pura asyik membaca novel online di platform yang semakin lama justru mengurungnya dalam jurang kesunyian. Ia butuh teman. Bukan teman ngobrol seperti teman-temannya ini, tapi teman yang bisa menghapus kekosongan hatinya.

"Gue mau ke perpus, mau ngerjain proposal buat seminar." Akhirnya satu-satunya yang bisa Nina lakukan hanya menghindar sejenak dari teman-temannya.

Lesu ia menggendong tas selempangnya, lalu melenggang pergi meninggalkan kantin. Berbeda jurusan dengan teman-temannya membuatnya lebih mudah berbohong saat ingin sendiri.

Kali ini, Nina benar-benar ke perpustakaan. Bukan untuk mengerjakan proposal, karena makalah dari dosennya sudah ia kerjakan kemarin dan tinggal menunggu di-acc, melainkan untuk merenungi nasib sambil melihat lalu lalang mahasiswa dari jendela perpus.

Perpustakaan berada di lantai dua, tidak jauh kampus dua, di mana kelasnya berada. Tidak ada kuliah lanjutan, jadi Nina bebas berada di perpus. Ia sedang malas di apartemen. Sepi.

"Hei!"

Nina berbalik, dan menemukan sosok dosen jangkung dengan kacamata bertengger di matanya yang tajam. Namanya Resky Bimantara, dosen sintaksis yang pernah mengajarnya. "Bapak panggil saya?"

Sebenarnya Resky terlalu muda untuk dipanggil Bapak, sebab umurnya masih 27 tahun.

Lelaki itu mendekat, canggung. "Baju kamu putih."

"Ha?" Nina mengerutkan dahi bingung. Kemejanya memang putih, dan masalahnya apa?

"Anu, maksud saya baju kamu putih jadi merah," katanya lagi yang semakin menambah bingung Nina.

Karena sedang dalam mood yang tidak baik, Nina berdecak. "Nggak jelas banget, sih." Lalu, melenggang pergi begitu saja.

Tapi, si dosen berkacamata kotak itu malah menarik lengannya kasar hingga Nina menabrak dada Resky yang ternyata tidak kurus itu. "Kamu bocor."

Nina terpaku saat matanya tak sengaja mengamati setiap sisi wajah Resky yang jauh dari kata culun. Rahangnya tegas, bersih dari rambut. Hidungnya mancung seperti perosotan anak PAUD. Tidak hanya itu, bibir Resky yang tipis namun seksi itu membuat Nina nyeletuk tanpa sadar, "Fiks, orang-orang pada buta."

"Apa?"

Tersadar, Nina sontak mendorong tubuh Resky. "Maaf, tadi Bapak bilang apa?"

"Kemeja putih bagian belakang kamu merah," ucap Resky kembali gugup.

Nina buru-buru mengecek bagian belakang kemejanya dan .... "Bapak, kenapa nggak bilang, sih!"

Cepat-cepat ia menutupi bagian merah itu dengan tasnya. Ia memandang malu Pak Dosen. "Pak, boleh minta tolong nggak?"

Resky mengangkat alis. "Apa?"

"Dalam kondisi kayak gini, saya nggak mungkin pergi beli pembalut. Jadi—"

"Tunggu di sini."

Belum sempat Nina mencegah untuk memberitahu merk pembalut dan memberi uang, lelaki itu sudah buru-buru berlalu. Alhasil, cewek itu memilih bersandar di pohon pinus, menyembunyikan bagian belakang tubuhnya dari mahasiswa lain yang lewat.

Nina mengambil ponsel di saku kemeja, berniat menghubungi Sindi, tapi malangnya baterainya habis. Maka, dengan perasaan dongkol, ia menunggu Pak Dosen sambil memainkan kerikil di bawahnya.

Ngomong-ngomong soal Pak Resky, kenapa bisa seganteng itu, ya, pas dilihat dari dekat?

Nina menghentikan menggeser kerikil dengan flat shoes-nya, kemudian menepuk-nepuk kepalanya karena sempat berpikir iya-iya. "Kayaknya gue beneran harus berhenti baca cerita romance, deh. Otak gue jadi mesum."

Tapi, saat lelaki itu kembali membawa dua plastik hitam, seluruh hormon-hormon seperti bekerja sama untuk menciptakan khayalan-khayalan yang membuat Nina bergidik ngeri. Menggeleng lagi, ia memejamkan mata kuat, mengenyahkan pikirannya yang sudah berlebihan.

"Ini." Resky menyerahkan plastik bertuliskan nama toko yang ia datangi.

"Makasih banyak, Pak," ucap Nina kikuk.

Berdehem pelan, Resky meninggalkan Nina. Nina pun membuka isi plastik di tangan. Ingin rasanya ia menangis sekarang saat membaca ukuran pembalut yang Pak Dosen beli. "What?! 39 cm?!"

Dibuka lagi plastik satunya lagi, kekesalan Nina makin membesar. Karena di sana ada kemeja hitam size XXL dan secarik kertas bertuliskan, "Saya nggak tahu ukurannya. Jadi, saya pilih yang paling besar. Nggak perlu diganti. Ini gratis."

"Ini orang niat nolongin nggak, sih?" dumel Nina. Namun, meski demikian, ia tetap melangkah menuju toilet untuk berganti pakaian.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Itnasusatir

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku