/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
"Ayolah, sekali lagi saja." Sebuah bisikan terdengar rendah dan memerintah, dipenuhi dengan urgensi.
Saat Rachel Marsh berbaring dengan keringat bercucuran karena kelelahan, tubuh lembutnya diangkat lagi. Gerakannya cepat, didorong oleh kebutuhan yang mendesak.
Meskipun suasana saat ini sedang kacau, dia berhasil menenangkan diri, mengangkat kepala sedikit, dan bertanya dengan nada memohon, "Bagaimana kalau kita berhenti menggunakan pengaman?" Suaranya terdengar lembut tapi bersungguh-sungguh. "Aku berpikir ... untuk memiliki bayi."
Brian White, tunangannya, tertegun untuk beberapa sesaat, ekspresinya tidak terbaca. Namun, keraguan itu tidak bertahan lama. Dia mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyentuh telinga wanita itu, dan dia menjawab dengan nada dingin yang cuek, "Memiliki anak akan membuat semuanya menjadi terlalu rumit. Aku belum siap untuk itu."
Rachel menggigit bibirnya, matanya yang memerah berkaca-kaca karena air mata yang belum menetes. "Tapi kita akan segera menikah," ucapnya, suaranya bergetar karena gejolak emosi. "Orang tuamu juga sangat menginginkan cucu. Apa benar-benar tidak bisa?"
Menikah dengan Brian dan membangun keluarga bersamanya adalah impian Rachel sejak dulu, tapi sikap Brian yang dingin dan tak kenal kompromi membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.
Dia menatap wajah dingin Brian, memahami emosinya, lalu pada akhirnya dia mengangguk perlahan. "Baiklah, kita akan bicarakan tentang memiliki anak nanti."
Ekspresi Brian sedikit melunak seolah ketegangan di antara mereka mulai mereda. Tapi sebelum dia sempat berbicara, ponselnya berdering, tiba-tiba memotong momen rapuh itu.
Suara lembut dan ragu-ragu terdengar melalui pengeras suara segera setelah Brian menjawab. "Brian, maaf mengganggumu selarut ini ... aku tersandung dan jatuh di ruang tamu dan kakiku terasa sangat sakit. Jika kamu sibuk, aku akan ...."
Yang menelepon adalah Tracy Haynes, cinta pertama Brian. Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Brian menyela, suaranya terdengar tegas tapi lembut. "Tunggu sebentar, aku akan segera ke sana."
"Oke, Brian … aku tidak mengganggumu dan Rachel, kan? Jangan sampai dia salah paham, aku bisa naik taksi saja," jawab Tracy.
"Tidak mengganggu," ucap Brian meyakinkannya, suaranya terdengar lembut dan tenang. "Jangan terlalu banyak berpikir."
Rachel yang mendengar percakapan itu benar-benar sangat ingin tertawa.
Di kamar mandi yang remang-remang, uap mengepul tebal. Tubuh mereka berdekatan, basah kuyup, dan keintiman di antara mereka tidak dapat disangkal. Segala sesuatunya sudah pada tempatnya, dan suasana pun tercipta sempurna. Inilah yang dimaksud Brian dengan tidak mengganggu.
Namun, saat Rachel berdiri di sana, dia menyadari sesuatu yang menghantamnya bagai sebuah fakta yang dingin. Menjadi orang yang disukai adalah sebuah hak istimewa yang tidak akan pernah dia dapatkan. Itu tentang pengecualian, tentang melanggar setiap aturan demi seseorang.
Rasa sayang, perhatian, kepedulian, dan cinta Brian semuanya diberikan pada wanita lain, pada wanita yang selalu disayanginya, wanita yang selamanya akan memiliki hatinya, dan itu bukan dirinya. Ironi ini terasa sangat menyesakkan.
Tak lama kemudian, Brian melilitkan handuk besar ke tubuh Rachel, kainnya yang lembut membungkus tubuh rampingnya. Gerakannya tidak kasar, nyaris lembut saat dia mengeringkan tubuhnya.
"Aku akan menggendongmu ke ranjang," ucapnya, suaranya terdengar sangat lembut. "Kamu tidurlah dulu."
Namun, kata-katanya terasa seperti siraman seember air dingin, melenyapkan kehangatan yang tersisa di antara mereka. Hati Rachel langsung tenggelam. Apa pria ini akan pergi untuk menemui Tracy lagi?
Kedua tangan Rachel mengepal dengan erat, tubuhnya menjadi kaku karena tegang.
Setelah beberapa saat, sesuatu terlintas dalam benaknya. Dia melangkah maju, perlahan mendekat dengan langkah kecil, lalu melakukan gerakan yang menurutnya sangat gila hingga dia sendiri tidak dapat memercayainya.
Tanpa berpikir panjang, dia mengulurkan tangan, memeluk Brian erat-erat, suaranya terdengar lembut tapi bergetar. "Tetaplah bersamaku malam ini ... tolong jangan pergi, oke?"
Brian tercengang, tubuhnya menegang sejenak karena terkejut. Namun, keraguan itu hanya berlangsung sedetik. Dia segera menenangkan diri dan membelai rambut Rachel dengan lembut, suaranya terdengar tenang tapi tegas. "Jangan bersikap keras kepala, Rachel. Dia terluka, ini bukan hal kecil."
"Tapi aku juga sangat membutuhkanmu," pinta Rachel, matanya memerah dan berkilauan karena air mata yang belum menetes. Dia menggigit bibirnya begitu keras hingga berdarah. "Aku tidak ingin kamu pergi."
Brian menghela napas, suaranya terdengar melembut tapi tetap tegas. "Rachel, kamu selalu bersikap pengertian. Jangan membuat ini sulit."
Namun malam ini, Rachel tidak ingin bersikap pengertian. Dia hanya ingin Brian tetap tinggal bersamanya.
"Brian ...," bisiknya, cengkeramannya menguat saat dia menatap ke matanya, keputusasaan terukir di wajahnya.
Brian menggelengkan kepala, suaranya menjadi lebih dingin. "Menurutlah, Rachel, lepaskan."
Rachel menggelengkan kepalanya, jantungnya berdebar kencang, tidak mau menyerah.
/0/23532/coverorgin.jpg?v=4e60e3d262b3b2fb557ac9f345e1d24c&imageMogr2/format/webp)