Aku gemuk, gak cantik dan doyan makan. Mau bagaimana pun orang menilai, aku ya aku. Aku percaya diri denga keadaanku. Sampai aku mengenal jatuh cinta.
Jilbab? cek! Baju? Cek! Semua? Cek! Aku memang gak punya banyak pakaian buat ganti setiap hari, tapi, apa itu penting?
Yang penting aku bisa pergi kuliah dan main setelahnya. Plis. Gak ada yang lebih bagus dari itu.
By the way. Namaku Rima. Gak tahu apa arti namaku itu. Yang jelas, aku tahu kalau aku ditakdirkan gak bisa kurus, tapi punya tingkat percaya diri yang wahidun.
Sekarang umurku delapan belas. Baru aja aku memasuki dunia perkuliahan dan ya Allah, semua terasa kaya main-main.
Baju warna-warni, tangan pegang laptop, padahal punya tas segede Bagong dan sepatu pun yang aestetic punya. Ya walau aku tahu sepatu ini gak akan aku ganti sebelum rusak.
"Hai, Gendut?" Emh emh. Pagi-pagi, ada aja yang manggil sembarangan. Padahal jelas banget namaku Rima. Rima aja. Gak pake embel-embel kata lain sepanjang tembok besar Cina. Eh, dia malah milih manggil gendut.
Siapa lagi kalau bukan Bagaskara. Cowok terkece tapi gak tahu kenapa bikin aku males deket ama dia.
Dia emang gak bau, sebau-baunya dia, masih bau ketek aku yang mandi pake bilas tiga kali. Mukanya juga gak jelek. Mirip banget sama Bang Chan Stray Kids malah. Tapi ya gitu, gak suka aja dia ada di deketku, apa lagi pake manggil gendut.
Duh. Buruan lari, deh sebelum dia mendekat. Dia tuh seneng banget ngintilin aku ke mana-mana. Udah kaya lintah, woy.
"Sombong amat!" Nah, kan. Ngedeket dia. "Lagian buru-buru banget, sih. Kan jam pertama masih setengah jam lagi."
Aku berbalik dan menggembungkan pipiku yang emang dasarnya udah gembung. Eh dia malah jerit kaya banci dan bikin aku keki.
"Gemes banget pipinya. Pipinya siapa ini? Ututututu!"
"Aaaah! Tolong! Aku dilecehkan!" Jerit dong aku. Abis risi banget. Pipiku sampe dicubit-cubit. Emang dia pikir aku apa? Lap pel kena najis, sampe dicubitin?
Eh dia malah ketawa. "Yuk masuk kelas!" Nah, nah, nah! Tanganku dibawa, dong. Ngapain, sih?
Singkat kata, kita berdua masuk deh di kelas, dan ....
"Happy birthday to you ... Happy birthday to you ... Happy birthday dear Rima ...."
Gua bengong. "Tunggu! Tunggu! Tunggu!" Gerakan tangan aku mencoba menghentikan segala ucapan dan nyanyian di sekitarku. "Yang ulang tahun siapa?"
Semua saling tatap. "Ya elu, Rim. Siapa lagi?" tanya balik si Yoga, anak Betawi asli.
"Ya Allah!" Gua menengok dan melihat Bagaskara sudah berjingkat mencoba melarikan diri. "Bagas! Kamu nih pasti yang bikin prank!"
Bagas lari aja ngiterin ruangan. Ini kekanakan banget gak sih? Atau inerchild Bagas emang jenis yang suka prank gak jelas macam ini, ya?
Untungnya aku gak kuat lari. Bagas udah sampai sudut ruangan, aku udah basah ama keringat.
"Gas?"
"Apa?"
"Sim salabim. Kamu aku kutuk jadi tomat!" Nah kan. Error otakku kalau udah capek.
Bagas terus ketawa. Dia ngedeketin aku dan kasih tisu buat aku seka keringet. "Duduk dulu, Rim. Duduk dulu." Terus dia duduk berlutut di kaki aku. Emang aneh anak ini. Kelakuannya itu loh, bikin semua manusia di ruang kelas kami pada histeris. Terus dia ngambil tisu di tanganku, dia kepel-kepel terus dia tiup dan ....
Ilang.
Tapi aku gak terkejut. Terakhir kali dia kaya gitu, tisunya emang dia telen biar ilang beneran. Aneh gak sih ni anak?
"Cabut, ah!"
"Loh, kok? Loh, kok?"
"Berhenti ikutin aku, Bagas!"
Situasi jadi tegang dan Bagas seperti salah tingkah sendiri. "Rim, jangan marah, dong!"
Terus langkah aku berhenti, badan berputar dan berkata, "Gas?"
"Ya?"
"Cari kursi, dosennya masuk!"
Buru-buru kami lari. Gara-gara Bagas, kami sampai lupa kalau jam pertama bakal dimulai dan dosen kami ini yang paling killer di antara seluruh dosen.
Namanya Pak Amir. Dari awal perkuliahan, dia udah bikin tiga peraturannya. Gak boleh absen, gak boleh ribut dan gak boleh nyontek waktu ujian mata kuliah dia. Kalau salah satu atau semuanya dilanggar, ya udah, D nilainya. Mana ini mata kuliah penting.
Tapi, aku sih gak ada masalah, tuh. Pak Amir ini dosen muda yang ciamik. Pinter ngejelasin, punya rangkuman berbagai buku yang menurutku paling masuk akal dan juga dia ngajar hukum kesehatan. Mata kuliah yang bikin melek hukum apa lagi di jurusanku.
Yang jelas dia cakep.
"Rima!" Pak Amir melirik ke mata aku yang masih seger banget pagi itu. "Coba terangkan, bagian mana dari proses menuju operasi yang akan menyelamatkan petugas medis saat operasi gagal?"
Wah. Gak ada di buku, nih. Aku harus memutat otak yang jelas bikin aku kelihatan cengok.
Berpikir, Rim. Berpikir. Lalu ....
"Kalau tak salah, ada yang namanya hitam di atas putih yang harus ditanda tangani pasien."
Pak Amir menyipitkan mata dan mendekatiku. "Hitam di atas putih? Maksudnya?"
Aku yang grogi sama tatapan itu mulai keringat dingin. "Maksudnya, seperti surat pernyataan bahwa pasien dan keluarga pasien bersedia menerima segala proses operasi. Seperti membiarkan petugas medis melakukan proses medis apa pun yang akan dijalani pasien."
"Cukup." Pak Amir menghentikan ucapanku dan berbalik menatap semua muridnya. "Beri tepuk tangan pada Rima."
Deuh. Kagak penting amat, yak? Tapi gak apa, lah. Itung-itung cari muka.
Lalu waktu berlalu. Seluruh perkuliahan selesai di jam tiga sore. Jadi, ya. Yang belum pernah tahu rasanya kuliah. Kuliah dilakukan gak harus dua belas jam nonstop. Tapi mata kuliah itu disesuaikan dengan ketetapan pihak jurusan dan dosen. Jadi kadang ada yang sehari cuma tiga mata kuliah, ada yang cuma satu. Paling padet ya kuliah semester pertama. Katanya.
Terus, pas aku pulang, lagi enak-enaknya jalan, eh dari belakang ada motor ngebut banget sampe pas ngerem harus ada adegan ngejungkel. Aku loh sport jantung sampai bertanya-tanya siapa yang seedan itu kalau naik motor?
Belum lagi si pengendara pake bangun. Dia ngedeketin aku dengan jalan terpincang dan buka helemnya.
"Astagfirullah! Bagas? Kamu ngapain slebor gitu naek motornya?"
Bagas menyeringai. Udah sarap agaknya dia.
"Aku nyari kamu ke mana-mana. Aku udah duga kamu pulang lewat jalan ini."
Aku mengela napas. "Kan gak harus seslebor itu naek motornya."
Tiba-tiba Bagas berlutut. Dia memberikan sekuntum bunga yang tangkainya patah dan berkata. "Rim, pacaran, yuk!"
Udah gila!
"Apaan, si Gas? Aku itu gak mau pacaran dulu. Aku mau sekolah yang bener, Gas."
Bagas gak peduli. "Kan kita udah kuliah, Rim. Gak sekolah lagi." Tuh, bego kan dia? Abis ngejungkel, sih.
Aku tinggal aja, lah. Dari pada ikutan stres. Dan langkahku pun terayun sampai ....
"Cewek gendut sok cantik! Kamu pikir ada yang suka sama kamu kecuali aku? Rim! Kamu tuh harusnya nerima aku. Kamu tuh gak seharusnya bersikap sesombong itu dengan ngacuhin aku!"
Aku syok banget. Kok dia jadi maki-maki? Kan yang gak mau juga aku. Lagian, emang kenapa kalau aku gendut? Apa aku gak punya hak buat mutusin siapa yang bakal aku cintai?
"Rima gendut! Mencret kamu di jalan!"
Gak tahu kenapa, rasanya gak enak banget disumpahin gitu. Aku meneteskan air mata dan mencoba mempercepat langkah, sampai aku gak lagi bisa mendengar teriakan Bagas.
Bab 1 Semua Bermula Dari ....
11/02/2024