Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
Penayangan
2
Bab

Hidup Veronica penuh dengan harapan palsu, bahwa reynan akan kembali berenkarnasi sebagai manusia untuk bertemu dengannya lagi. 500 tahun pun terlewati, Veronica akhirnya lelah menunggu kehadiran reynan. Ia berniat untuk menjadi manusi, mengakhiri penantiannya selama ini. Lalu apakah Veronica bisa bertemu dengan reynan? Akankah reynan kembali muncul dalam hidup Veronica? Lalu, apa yang akan dilakukan Veronica saat bertemu dengan reynan nanti?

Bab 1 Janji

500 tahun yang lalu

[Negara sin city, 500 tahun yang lalu]

Tetesan air hujan membasahi kota sin city dengan deras, hanya membutuhkan waktu 5 menit saja untuk membuat seisi kota menjadi basah. Aroma tanah bermunculan menyambut indra penciuman manusia.

Udara menjadi lembab dan panas, membuat beberapa orang menjadi gerah karena baju mereka yang basah. Suara cipratan air beradu dengan suara hujan yang deras, beberapa orang berteduh dan juga kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Musim hujan di sin city selalu membuat semua orang kewalahan. Hujan tersebut selalu datang tiba-tiba, dan akan berhenti dalam waktu yang sama lama. Musim hujan yang menyulitkan, tapi tidak dengan wanita berambut oren kemerahan itu.

Rambutnya basah karena hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Pakaian hitamnya melekat pada tubuhnya yang dingin. Angin bertiup dengan kencang ke seluruh tubuhnya, berada di atas bukit tidak begitu menguntungkan untuknya.

Tapi ia tetap berdiri disana, menatap ke arah kastil besar berwarna abu-abu. Kastil itu berjarak cukup jauh darinya, tapi Wanita itu tahu hanya dengan kekuatannya, dirinya bisa saja berada di kastil itu dalam hitungan detik. Wanita itu membiarkan dirinya basah kuyup, berharap air hujan itu akan membawa rasa sakitnya pergi.

Pergi untuk selamanya, dan tidak kembali lagi.

[Sekarang atau tidak sama sekali, Vero.]

Suara itu menyadarkan wanita itu dari pikiran kosongnya.

Hembusan nafas keluar dari mulut merah itu, lalu terbuka dan tertutup lagi. Wanita itu merapalkan mantra dengan matanya yang terpejam, " Pakeiskite Vietas!"

Tanpa menunggu lama, mata birunya terbuka perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah lorong beton yang berwarna abu. Kepala wanita itu menoleh ke arah kiri. Langit berwarna abu-abu, berembun di berbagai sisi, tapi wanita itu masih bisa melihat bukit yang sebelumnya ia pijaki.

Lorong tersebut berbelok ke arah kanan, menuju ke satu ruangan yang sering ia datangi. Ruangan yang selalu membuatnya bahagia. Ruangan yang selalu ingin ia kunjungi. Langkah kakinya akan sangat ringan saat berjalan ke ruangan itu, tapi tidak untuk hari ini. Kakinya terasa berat untuk melangkah, seperti ada rantai batu yang menahannya.

Tetesan air yang berasal dari baju hitamnya, menetes meninggalkan jejak setiap kali kakinya melangkah dengan lemas ke arah belokan lorong itu. Beberapa orang berada di depan ruangan itu, melihat ke dalam ruangan besar tersebut dengan tatapan sedih. Sama seperti tatapan wajah wanita itu.

Penampilannya yang basah memicu semua mata melihat ke arahnya, tapi ia tidak peduli.

Tujuannya berada di sini bukanlah untuk bertemu dengan mereka, tetapi dengan pria yang tengah berbaring lemas di atas kasur besar itu. Ruangan besar itu diisi dengan beberapa orang yang sedang menangis dengan pilu.

Tangan putih wanita itu terkepal di sisi tubuhnya dengan kuat, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri agar tidak terpengaruh dengan suara itu. Matanya mengerjap beberapa kali saat pria itu menatapkan dengan lembut sambil tersenyum lemas.

Wanita yang ia benci berada di samping pria itu sambil menggengam tangannya dengan erat. Keriput-keriput terlihat sangat jelas menghiasi wajah wanita itu, tidak luput dengan pria itu.

Perasaan benci muncul di hatinya, tapi dengan cepat ia tepis jauh- jauh. Karena hari ini ia datang bukan untuk wanita tua itu.

Pria itu berbisik kepada salah satu anak laki-lakinya. Tatapan laki-laki itu menatap ke arahnya, sambil mengangguk kecil untuk merespon ucapan Ayahnya, Dengan suaranya yang serak, semua orang berjalan keluar melewati wanita yang basah itu. Wanita itu tidak bergeming, tubuhnya tetap berdiri kaku di hadapan kasur besar itu.

Tubuh basah itu berbalik melihat ke arah pintu besar yang masih terbuka dengan lebar. Beberapa pasang mata melihat ke arahnya dengan bingung dan penasaran, tanpa pikir panjang tangan kanannya bergerak. Seketika pintu besar itu tertutup dengan sendirinya.

la tidak peduli jika orang-orang itu tahu siapa dirinya. Ia tidak peduli lagi.

"Kemarilah, Veronica." Suara itu kecil dan lemah, memanggilnya untuk duduk di atas kasurnya.

Untuk beberapa saat wanita itu ragu. Takut jika pertahanannya akan runtuh, takut jika ia akan terlihat lemah. Wanita itu tidak ingin ada yang tahu bahwa dirinya lemah, apalagi sampai mengeluarkan air mata.

"Veronica..." panggil pria tua itu lag

Dengan pelan wanita itu terduduk di atas kasur. Seketika kasur tersebut menjadi basah karena bajunya. Tangannya berada di atas pangkuannya saling bertaut satu sama lain dengan gelisah. Begitu juga dengan tatapannya yang tidak berani melihat mata hitam yang menatapnya dengan lembut.

"Aku tahu kau akan datang. Aku sudah menunggumu selama berminggu-minggu." Ucapnya lagi. Tangan pria itu menggengam kedua tangan wanita itu.

Satu tetesan air turun mengenai punggung tangan pria itu. Air itu bukan berasal dari rambut orennya yang basah atau baju hitamnya yang lembab, tapi dari mata birunya.

Bahunya bergetar, bibirnya tertutup dengan rapat. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengeluarkan suara isakan tangis. Kini pertahanannya sudah runtuh, air mata menetes tanpa henti membasahi pipi wanita itu dan juga tangan yang berada di bawah wajahnya itu.

"Aku merindukkanmu, Vero." Mendengar ucapan itu, kepalanya bergeleng kecil. Menolak kenyataan pahit bahwa itu akan menjadi kalimat yang tidak akan pernah ia dengar lagi.

"Maaf... seharusnya aku tidak terlahir sebagai manusia. Seharusnya aku terlahir sepertimu, agar kita bisa hidup selamanya."

"Tutup... tutup mulutmu," ucap Wanita itu di sela-sela isakannya. Berusaha menahan kata-kata yang akan keluar lagi dari mulut pria itu. Kata-kata yang tidak ingin ia dengar sama sekali "Aku selalu ingin kau menjadi istriku, Vero. Selalu."

"Kumohon diam," ucapannya bergetar, lalu tangannya membalas gengaman tangan itu dengan erat.

"Aku tahu kau tidak jahat. Kau hanya terluka, maaf telah melukaimu," Suara pria itu semakin melemah, tapi wanita itu masih tidak ingin melihat kearahnya.

"Veronica, aku mencintamu." Akhirnya 1 kalimat itu keluar. Kepalanya terangkat, iris birunya bertemu dengan iris hitam legam yang sedang menatapnya dengan tulus.

"Jangan pergi... kumohon." Mohon wanita itu.

Wajahnya sudah basah dengan air mata yang tidak ada henti- hentinya menetes. Walaupun ia tahu, pria itu akan meninggal sebentar lagi, tapi wanita itu tidak akan pernah rela kehilangannya. Cinta sejati yang membuatnya merasa senang dan juga sedih dalam waktu yang bersamaan.

Sesekali bibir wanita itu mengecup jari-jari tua itu, berharap kekuatannya bisa membuat pria itu bertahan hidup. Sayangnya kekuatannya adalah menyembuhkan bukan memperpanjang usia.

"Mari kita bertemu lagi," mata sayu itu terangkat begitu juga dengan senyuman yang akan selalu menawan di mata wanita itu. Senyuman yang akan selalu membuatnya jatuh cinta tanpa henti, senyuman terakhir untuk dirinya.

"Tidak..." ucap wanita itu dengan suara parau. "Jangan tinggalkan aku," kepalanya bergeleng kecil, menolak takdir yang sudah mengatur hidupnya selama ini.

Senyuman itu tetap terulas di wajah pria itu, tapi matanya, mengeluarkan air mata kesedihan. "Mari kita bertemu di kehidupan selanjutnya. Ayo berjanji." Ucap pria itu sambil memberikan jari! kelingkingnya di hadapan wanita itu.

Dengan lemas, wanita itu mengaitkan jari kelingkingnya yang mungil. "Cepat hidup kembali. Aku akan menunggumu sampai kita bisa bersama lagi." Sesekali wanita itu menelan ludahnya untuk mempertahankan suaranya agar terdengar jelas.

"Aku janji." Ucap pria itu dengan lemas, sebelum akhirnya mata hitam legam itu tertutup sepenuhnya.

Mulut wanita itu kembali tertutup rapat, menahan isakan tangisnya yang ingin pecah sekarang juga. Tubuhnya bergetar dengan hebat, saat tahu cinta sejatinya telah pergi selamanya meninggalkan dirinya yang tidak akan pernah menua karena waktu. Suara isakannya beradu dengan suara air hujan yang mengenai jendela-jendela yang berada di ruangan itu.

Untuk kesekian kalinya, rasa kosong kembali hadir dihidupnya. Kesepian dan kehampaan akan selalu mengikutinya kapan pun dan dimana pun, sampai dirinya berrenkarnasi menjadi manusia. Tujuan awalnya adalah menjadi manusia, tapi sekarang semuanya berubah. Tujuannya kini berubah drastis.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku