Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SENYUM MARISSA
5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
10
Bab

Aku dan suamiku, mas Hendra sudah menikah selama enam tahun. Banyak orang bilang, kalau kami pasangan serasi, bahagia dan harmonis. Istri cantik dipadu suami yang tampan dan rupawan. Awalnya, aku sangat tersanjung dengan pujian pasangan harmonis. Namun, saat ini semua berubah.Bagaimana tidak? Selama hampir enam tahun pernikahan kami, aku belum juga mengandung. "Asyik dong, masih belum punya anak! Masa pacaran dan mesra-mesraan nya makin panjang. Dijalanin aja dulu, Risa. Dinikmatin! Nanti, kalau kamu sudah punya anak, boro-boro mau mesra... kemana-mana juga repot sama anak!" aku hanya tersenyum kecut, saat seorang rekan kerja dikantor berkata demikian. Alih-alih memberi semangat dan menghiburku, kata-katanya malah membuatku semakin tambah sedih. Sudah hampir puluhan klinik dan Rumah sakit aku datangi. Dan setiap dokter yang aku temui, memberikan jawaban yang sama. Bahwa aku sehat dan normal. "Marisa..., apa mungkin suamimu yang mandul?" lagi-lagi, Ibu menanyakan hal yang sama. Hingga aku hafal, untuk memberikan jawaban yang membuat Ibu berhenti bertanya lebih jauh. "Mas Hendra normal kok, bu.. Kami memang belum dipercaya saja... Doakan saja yang terbaik untuk kami," Ibu menatapku sendu sambil mengusap-usap pelan tanganku, "Doa Ibu tentu yang terbaik buatmu. Kamu nggak usah minta didoakan, Ibu juga sudah pasti akan meminta yang terbaik buat kamu, juga suami mu." Sejujurnya, yang bermasalah adalah mas Hendra. Dua Tahun yang lalu, saat aku menerima hasil tes, dokter menjelaskan bahwa aku tidak bermasalah, sehat dan normal. Seperti kata dokter-dokter yang pernah aku temui sebelumnya. Hanya saja, hasil tes mas Hendra yang membuat ku kaget. Secara medis, mas Hendra sehat dan normal. Hanya saja, kuantitas sperma mas Hendra kurang.

Bab 1 MARISSA DEWI

PoV

MARISSA DEWI

Namaku Marissa. Usiaku saat ini memasuki 31 tahun. Seminggu yang lalu, aku baru saja merayakan ulang tahun bersama suamiku tercinta. Sebuah makan malam kejutan yang sangat istimewa, tentu saja aku bilang istimewa, karena suamiku sendiri yang memasak semua hidangan untuk acara makan malamnya, tanpa dibantu oleh siapa pun. Aku hanya diperbolehkan duduk manis sembari menonton dirinya yang serius memasak di dapur, yang kalau dilihat sepertinya sangat menguras segenap tenaga dan juga pikirannya.

Selama hampir dua jam lebih, suamiku berjibaku dengan berbagai macam peralatan memasak dan aneka bahan masakan.

Meski kenyataannya hasil masakan suamiku jauh dari kata sempurna, tapi syukur lah masih layak untuk dimakan. Semua hidangan itu tetap terasa nikmat, karena aku yakin sekali suamiku sudah menambahkan segenap rasa cinta ke dalam masakannya.

Aku dan suamiku, mas Hendra sudah menikah selama enam tahun. Banyak orang bilang, kalau kami pasangan yang sangat serasi, keluarga bahagia dan harmonis. Istri yang cantik dipadu suami yang tampan dan juga rupawan. Awalnya, aku merasa sangat tersanjung dengan pujian keluarga harmonis yang mereka elu-elukan. Namun, untuk saat ini, rasanya semua berubah. Bagaimana tidak? Selama hampir enam tahun pernikahan kami, aku belum juga mengandung.

"Asyik dong Risa, masih belum punya anak! Masa pacaran dan mesra-mesraan nya makin panjang. Dijalanin aja dulu, Risa. Dinikmatin! Nanti, kalau kamu sudah punya anak, boro-boro mau mesra-mesraan ... kemana-mana juga udah repot duluan sama anak!" aku hanya tersenyum kecut, saat seorang rekan kerja dikantor berkata demikian. Alih-alih memberi semangat dan menghiburku, kata-katanya malah membuatku semakin bertambah sedih.

Sudah banyak klinik dan Rumah sakit aku datangi. Dan setiap dokter yang aku temui, memberikan jawaban yang hampir selalu sama. Bahwa aku sehat dan normal.

"Marissa ..., apa mungkin Hendra ... suamimu itu yang mandul?" lagi-lagi, Ibu menanyakan hal yang kurang lebih selalu sama. Hingga aku hafal, untuk memberikan jawaban yang membuat Ibu berhenti untuk bertanya lebih jauh.

"Mas Hendra normal kok, bu.. Kami, Ehm, mungkin memang belum dipercaya saja, belum saatnya Marissa dan Mas Hendra dipercaya mengasuh anak ... Doakan saja yang terbaik untuk kami, ya. " Ibu lantas mengusap-usap tanganku, "Doa Ibu tentu selalu yang terbaik buatmu. Kamu nggak usah minta didoakan, Ibu juga sudah pasti akan meminta yang terbaik buat kamu ... juga suami mu." Entah kenapa aku merasa kalau kalimat terakhir ibu seperti dipaksa untuk diucapkan.

"Iya, Bu. Terima kasih atas doa dan dukungannya buat Marissa dan Mas Hendra."

"Oh iya, ke mana Hendra? Tumben dia nggak ikut ke sini?" Tanya Ibu sambil meraih cangkir teh hijau di hadapannya.

"Ooh, ehm ... itu, Mas Hendra sedang ada meeting dengan klien. Waktu mau jemput Marissa, mendadak kliennya telepon minta ketemuan." Ucapku sambil ikut meraih cangkir teh yang disajikan oleh Ibu.

"Ibu pikir dia sengaja nggak mau ke sini. Males ketemu Ibu yang bawel." Ibu menyesap teh hijau di cangkirnya perlahan.

"Ah, Ibu ini ... kenapa mesti berprasangka buruk pada Nak Hendra." Bapak yang baru saja ikut duduk di teras belakang langsung menimpali. "Meskipun kenyataannya memang kamu bawel, tapi nggak mungkin Nak Hendra seperti itu." Imbuh bapak.

Aku diam saja. Tak ingin menjawab atau ikut menimpali ucapan Ibu. Meski sebenarnya memang nyatanya demikian. Mas Hendra memang sengaja tidak mengantarku ke rumah Ibu dan Bapak. Bukan atas kemauan Mas Hendra sendiri. Justru akulah yang melarang Mas Hendra ikut datang berkunjung. Aku hanya tidak ingin mendengar ibuku terus menerus memojokkan suamiku.

"Makanya Mar, kamu itu mbok ya jangan terlalu capek capek. Bisa jadi, karena kecapekan lho, makanya sampai sekarang ini kamu susah sekali untuk punya anak." Ujar Ibu sambil menatap ku serius.

Aku menghela napas panjang. Selalu saja begini, jika sudah selesai dan bosan menyalahkan Mas Hendra, sekarang giliranku yang jadi bahan kesalahan.

"CK! Bu ... bisa nggak, jangan bahas soal punya anak terus! Marissa itu niatnya datang ke sini untuk kangen-kangenan sama Ibu bapaknya! Bukan untuk kamu salah salahin!" Nada suara bapak sedikit naik. Membuat Ibu hanya mencebik kesal. "Daripada kamu bahas soal punya anak terus terusan, sudah sana buatkan aku kopi." Titah bapak disambut dengan omelan Ibu.

"Hemm, ya wajar saja to Pak, kalau aku bahas soal anak sama Marissa. Terus terang, Aku itu iri sama Bu Ani yang tiap hari pamer cucunya ke aku. Aku kan juga kepingin bisa gendong cucu sambil jalan pagi keliling komplek! " Ucap ibu sambil berjalan masuk ke dalam rumah untuk membuatkan kopi, seperti yang diminta oleh bapak.

Bapak lalu tersenyum simpul melihatku yang terdiam. "Nggak usah dipikirin ya, Nduk. Omongan ibumu memang kadang begitu ... suka kelewatan. Nggak usah kamu masukkan hait dan jadikan beban. Punya anak atau tidak, buat bapak, kamu tetap cah ayu kesayangan bapak."

"Makasih, Pak." Ucapku lirih.

Aku paham sekali bagaimana perasaan iri yang baru saja dibilang dan dirasakan oleh Ibu. Karena aku sendiri juga kurang lebih merasakan hal itu. Merasa iri dengan mereka yang nampak bahagia saat menimang-nimang buah hati tercinta.

Sejujurnya, yang bermasalah adalah mas Hendra. Satu tahun yang lalu, saat aku menerima hasil tes, dokter menjelaskan bahwa aku tidak bermasalah, sehat dan normal. Seperti kata dokter-dokter yang pernah aku temui sebelumnya. Hanya saja, hasil tes milik mas Hendra yang membuat kami berdua cukup kaget.

Secara medis, Mas Hendra dinyatakan sehat dan normal. Sayangnya Mas Hendra ternyata mengalami Oligospermia. Yang menurut penjelasan dokter adalah jumlah sp erma yang rendah, dimana jumlah sp erma milik Mas Hendra dinyatakan lebih sedikit dari jumlah normal.

Sejak mendapatkan hasil diagnosa yang seperti itu. Mas Hendra sepertinya diliputi perasaan bersalah padaku. Padahal buatku, hal itu sama sekali tidak menjadi masalah. Sayangnya, tidak demikian dengan mas Hendra. Bagi mas Hendra diagnosa dari dokter bagaikan vonis yang fatal dan tidak bisa diubah.

⚜️⚜️⚜️

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yuna Izmaya

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku