Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
4.5
Komentar
1.2K
Penayangan
15
Bab

Freya Hanna, seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, harus menyaksikan sendiri kematian tragis kedua orang tuanya. Hanna, begitu biasa dirinya dipanggil, mengalamani nasib malang, divonis mengalami gangguan mental, dan didakwa sebagai pembunuh kedua orang tuanya. Dia pun dijebloskan ke penjara anak-anak dan terpaksa menjalani terapi. Umur 19 tahun, Hanna melarikan diri dari penjara, dan menjalani kehidupan di jalanan. Kerasnya dunia hitam pun dirasakannya. Tanpa sengaja dia bertemu dengan teman sekolahnya dahulu. Hanna pun bergabung dengan komplotan temannya untuk melaksanankan rencana balas dendam kematian orang tuanya. Sayangnya, Hanna malah mencintai anak dari pembunuh orangtuanya sendiri. Mampukah Hanna melancarkan aksi balas dendamnya? Bagaimana kisah cinta panas Hanna dengan sang putra musuh, pembunuh kedua orang tuanya?

Bab 1 Pembunuhan di Kediaman Tuan William

Hanna terbangun karena mendengar suara berisik dari ruang kerja ayahnya. Gadis kecil itu, duduk di sisi ranjang, dan berusaha menajamkan pendengaran. Di kuceknya mata, yang masih sedikit mengantuk.

Perlahan bocah sembilan tahun itu, turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Dia merasa heran melihat keadaan rumahnya yang berantakan. Rasa penasaran, semakin menyelimuti hatinya, membuat gadis kecil itu melangkah lebih cepat. Kamar kedua orang tuanya, menjadi tujuan.

Sesampai di depan pintu kamar, Hanna sangat terkejut melihat ada bekas darah yang tercecer di lantai. Seketika wajah putihnya menjadi pucat. Dengan gemetar, Hanna memegang handle pintu, membukanya perlahan, lalu mengintip ke dalam. Disana dia melihat pemandangan yang sangat mengerikan.

Ibunya, Stephanie tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Ada luka tusukan di perut dan di dada sebelah kiri Stephanie, ibunya. Hanna mematung, melihat kondisi orang tuanya, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya berdiri memandang ibunya, dengan lutut lemas, bibirnya gemetar memanggil sang bunda.

“Mom,” panggilnya lirih, hampir tak terdengar. Tak ada jawaban. Bocah malang itu, semakin takut. Lututnya tak mampu lagi menopang tubuh kecilnya, hingga dia tersungkur dan jatuh luruh ke lantai. Setelah mengumpulkan tenaga, dia memberanikan diri, dan merangkak lebih dekat. Di sentuhnya tubuh ibunya, dengan jari telunjuk. Sedikit mencolek, lalu menunggu. Tak ada gerakan. Di sentuhnya kembali, kali ini dia mencoba mengguncang tubuh itu.

“Agrrh!” ibunya mengerang lemah, lalu mata itu sedikit terbuka. Hanna bergeser lebih dekat, saat melihat bibir ibunya komat-kamit, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tangan itupun kemudian melambai lemah, meminta Hanna untuk lebih dekat lagi.

“Iya, mom! Hanna disini!” ujar gadis kecil itu, terisak di samping ibunya. Disekanya air mata yang jatuh di pipi, dengan ujung tangan, lalu mendekatkan telinga, ke bibir wanita yang melahirkannya itu, agar bisa mendengar lebih jelas apa yang di ucapkan ibunya.

“Se-m-bu-nyi!” ucap Stephanie terbata.

“Mom?” Hanna hendak mengatakan sesuatu, tapi tangan lemah Stephanie mendorong tubuh bocah itu agar menjauh dari sana. Wanita yang sudah sekarat itu melambai-lambaikan tangan, menyuruh putrinya pergi. Hanna memandang tubuh ibunya dengan air mata yang meleleh membasahi wajah, dan bajunya. Dia menggeleng kuat, menarik-narik Stepahanie, berharap bisa menolong ibunya, dan pergi bersama. Namun, usahanya sia-sia. Tubuhnya terlalu kecil, untuk membantu Stephanie.

***

Di ruangan lain rumah itu, tampak seorang pria setengah baya, sedang duduk berlutut, dalam keadaan terikat, di hadapan seorang pria lain, yang memakai pakaian serba hitam dan topeng di wajah. Wajah pria paruh baya itu penuh dengan luka pukulan.

“Katakan, dimana tempatnya!” pria bertopeng itu menghunuskan sebuah samurai ke depan wajah pria yang sedang berlutut di hadapannya. Pria paruh baya itu diam saja.

“Katakan, tuan William! Atau kau ingin melihat jasad anak dan istrimu terlebih dahulu, hah!” pria paruh baya, bernama William, yang tak lain adalah suami Stephanie, ayah Hanna itu, bergeming, membuat pria bertopeng tadi naik pitam.

“Kau sangat keras kepala! Baiklah, kalau itu maumu. Aku akan mengirim anak dan istrimu ke neraka di depan matamu.” Pria itupun menyeret William dengan kasar, hingga kemeja yang dipakainya sobek.

Mereka keluar dari kamar, dan sampai di ruangan tengah rumah itu. Tubuh William yang terikat di tangan dan kaki, tidak bisa bergerak dengan leluasa. Dia hanya bisa pasrah, saat pria tinggi besar itu menyeret tubuhnya, yang sudah babak belur, dan kehabisan tenaga.

Pria bertopeng itu kemudian melangkah ke arah kamar tidur William dan Stephanie, dimana istri dan anak William berada.

Stephanie yang mendengar suara ribut di luar, menyuruh Hanna untuk bersembunyi di kolong ranjang. Hanna menggeleng keras. Dia terus saja menggenggam tangan ibunya, dengan air mata berlinang.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Stephanie mendorong Hanna sekuat tenaga, ke bawah tempat tidur, tepat saat pria bertopeng itu, masuk ke dalam kamar. Hanna yang ingin berontak, langsung terdiam dan menahan nafas, saat melihat sepasang kaki melangkah mendekati tubuh ibunya.

“Ayo! suamimu ingin bertemu denganmu.” pria itu pun menyeret Stephanie keluar dari kamar. Stephanie yang sudah sekarat memandang Putri nya, dibawah ranjang. Air mata wanita itu menetes dari sudut matanya yang lebam dan mengeluarkan darah, namun bibirnya masih sempat menyunggingkan sebuah senyum. Seolah ingin mengatakan, semua akan baik-baik saja.

Hanna memandang tubuh ibunya menghilang di balik pintu. Setelah memastikan suara sepatu itu menjauh, dia merangkak keluar dan mengintip dari celah pintu. Di sana, dia melihat ayahnya merangkak, berusaha menggapai ibunya, yang sudah tidak bergerak lagi. Bocah itu bahkan mendengar tangisan ayahnya, yang mengutuk perbuatan pria bertopeng itu.

“Manusia terkutuk! Iblis!” William mengutuk pria bertopeng itu, yang malah menertawakannya.

“Ini semua salahmu, William! Jika saja, kau mau membuka mulut mu, mungkin sekarang, istrimu yang cantik ini masih bernafas.” Pria bertopeng itu terkekeh, disamping jasad Stephanie, yang sudah tidak bernyawa.

“Tidak usah banyak bicara! Kau dan aku sama-sama tahu, bahwa kau di perintahkan untuk menghabisiku, setelah misi mu selesai.”

“Hahaha! Ternyata kau sudah tahu. Baiklah! Itu artinya, aku sudah tidak perlu lagi bermain-main denganmu.” Selesai berkata begitu, pria itu langsung menyabetkan samurai di tangannya, ke arah William.

Brrukk!

Tubuh William terkapar dengan leher hampir putus, terkena sabetan pedang pria bertopeng tadi. Darah segar memercik ke segala arah, dan mengucur deras dari leher William. Melihat ayahnya terkapar, Hanna menjerit histeris, membuat pria tadi mengalihkan pandangannya, ke arah Hanna.

Mengetahui dirinya dalam bahaya, buru-buru Hanna mengunci pintu dan mencari benda yang dapat dipakai sebagai penahan, agar pria itu tidak bisa mendobraknya, dan masuk ke dalam kamar.

“Brakk, brakk, brakk!

Suara pintu di dobrak dari luar. Hanna mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan melihat meja rias ibunya. Dia lalu mendorong meja itu, dengan sekuat tenaga. Keringat bercucuran dari dahi dan pelipisnya. Selesai mendorong meja, Hanna mencari ponsel ibunya, dan menelepon polisi.

Telepon tersambung, seorang petugas menyapa di seberang sana. Dengan panik, Hanna menceritakan kejadian di rumahnya secara singkat. Petugas itu menyuruh Hanna untuk tenang, dan menanyakan alamat bocah itu. Setelah memberikan alamatnya, petugas di seberang sana, meminta Hanna untuk tidak mematikan sambungan telepon sampai polisi datang. Hanna pun menyanggupinya.

Dia duduk di bawah jendela, dengan kedua kaki di tekuk, menghadap ke arah pintu. Sementara tangannya tetap memegang ponsel di telinga. Gedoran dan dobrakan di pintu semakin kuat, sedikit demi sedikit meja itu mulai bergeser. Daun pintu itu, bahkan sudah sedikit terbuka sekarang. Tiba-tiba saja, sebuah tangan terulur, masuk melalui celah pintu.

“Yuhuuu! Anak manis, ayo buka pintunya, sayang! Aku tau kau ada disana. Hehehe!” suara orang itu membuat Hanna semakin takut.

Hanna yang panik, kembali menjerit histeris, dan menjatuhkan ponsel di tangan. Dia bangkit dan mendorong meja itu sekuat tenaga.

Tangan itu terjepit pintu, membuat pria di luar, berteriak kesakitan. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.

Hanna, melihat tangan itu, bergerak-gerak, berusaha untuk lepas dari sana. Sejenak dia terpaku, menatap tangan yang baru saja membunuh ayahnya itu. Ada sebuah tato dengan bentuk matahari, setengahnya saja. Saat bengong seperti itu, tiba-tiba pria bertopeng mendorong dengan kuat. Hanna yang sedikit lengah, terjatuh, kepalanya membentur ujung meja.

Dia meringis kesakitan, lalu meraba pelipisnya yang sedikit perih. Ternyata kepalanya mengeluarkan darah. Pandangan Hanna menjadi buram, dan dia terhuyung dengan rasa pusing yang sangat, lalu gelap.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku