Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Partner Satu Malam Jadi Istri Kontrak

Partner Satu Malam Jadi Istri Kontrak

Arta Pradjinta

5.0
Komentar
10.5K
Penayangan
76
Bab

Saat remaja Alessa Camelia Amarei digadangkan memiliki masa cemerlang sebagai figure ice skating tapi ketika dewasa masa depannya malah harus kandas karena dipaksa oleh ayahnya untuk menjual dirinya kepada pria misterius selama satu malam dan membayarnya dengan mahal. Semua itu dilakukan untuk membayar hutang-hutang kalah judi ayahnya yang menumpuk. Keesokan paginya, Alessa buru-buru meninggalkan pria itu sebelum dia bangun. Tiga minggu setelah kejadian malam itu. Alessa dinyatakan positif hamil. Alessa yang malang justru diusir oleh keluarganya. Alessa yang kebingungan hanya bisa hidup luntang lantung hingga seorang wanita baik memungutnya. Alessa yang naif semula hanya percaya tapi dia menghantarkan hidupnya pada penderitaan baru. Wanita yang menolongnya justru menjebak Alessa hingga keguguran janinnya. Waktu berlalu Alessa yang menjalani hidup yang baru bertekad membalaskan dendamnya oleh Pria kaya raya yang memiliki reputasi baik dari keluarga Heide. Alessa yang membawa dendamnya justru sengaja mendekati Jovian Arsenio Heide, pria yang tak lain menikmati malam bersamanya hingga membuatnya hamil. Tak disangka Jovian malah meminta Alessa jadi istri kontraknya agar bisa menghindari wanita-wanita yang ibunya jodohkan. Usai menikah semua anggapan Alessa terhadap Jovian sirna. Jovian justru memperlakukan Alessa dengan baik dan terhormat tapi Ibu Mertua yang kejam itu selalu jadi penghalang bagi Alessa yang senantiasa membuatnya menderita, apa lagi hadir sosok wanita lain yang terobsesi pada Jovian. Apakah Alessa tetap membalaskan dendamnya atau justru terbuai oleh perlakuan manis Jovian?

Bab 1 1. Petaka Satu Malam

“Ingat ya say, kau harus memuaskan pelanggan kita karena Dia sudah membayar kontan pada bapakmu,” ucap Wanita berpakaian seronok pada gadis muda yang bertampang lugu itu.

Gadis itu mengangguk patuh tapi tampak gelisah. Dia merasa tak nyaman bahkan sesekali menutupi kedua lututnya yang menggunakan rok mini itu. Gadis itu menarik ujung rok menutupi kedua kaki jenjang yang putih itu.

“Jawab kalau mengerti!” Bentak Wanita dengan riasan tebal itu pada si Gadis itu.

“Iya, Madam,” sahut Gadis itu.

“Gih, ke kamar soalnya tuan itu sudah sampai di kamar pesanannya,” suruh Wanita paruh baya itu.

Gadis muda bermata cokelat terang itu berjalan dengan gugup menuju sebuah kamar VVIP yang dijaga oleh dua penjaga berjas hitam. Dia memegang gagang pintu kemudian mendorong pintunya. Di sana sudah ada seorang Pria yang duduk bersandar di sebuah sofa. Kepalanya bersandar di ujung sofa kemudian wajahnya menegadah menatap langit-langit kamar hotel.

“Cepat, puaskan aku,” perintah Pria itu.

“B-baik, Tuan.” Gadis itu berjalan kaku mendekati Pria itu. Dia duduk berlutut di depan sang Pria. Gadis itu hanya memandanginya karena tidak memiliki pengalaman. Gadis muda berambut hitam ini bahkan terpaksa menjual dirinya karena bapaknya.

“Apa-apaan ini! Kenapa kau diam saja!” bentak Pria itu.

“Kumohon, Tuan, aku akan mencobanya lagi.”

“Ya, seharusnya memang begitu karena aku sudah membayarmu dengan mahal.”

Sang gadis yang duduk berlutut di depan Pria yang tengah duduk di sofa mahal itu. Wajahnya memerah malu, belum lagi kedua matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Dia menyelipkan helaian rambut yang jatuh mengenai wajahnya ke daun telinga. Kedua tangannya gemetar ketika menyentuh kedua kaki Pria itu. Perlahan-lahan mendekati Pria berambut Pirang itu.

“Kau benar-benar,” decak Pria itu sembari meraih rambut hitam panjang Gadis itu dengan kasar. “Jangan bersikap seolah kau gadis perawan!” bentak Pria itu.

“Ampun, Tuan,” ringgis sang Gadis seraya memengangi tangan kanan Pria itu yang tengah meremat seluruh rambutnya. Gadis itu nyaris saja menangis tapi dia berusaha menahannya.

Sang pria bermata biru menatapnya dengan tajam. Dia melepaskan rambut Gadis itu tapi menggantinya dengan mengangkat tubuh Gadis muda itu kemudian melemparnya ke atas ranjang kasur. “Jangan harap untuk merengek seperti gadis baik-baik, ingatlah, aku sudah membayarmu untuk malam ini.” Pria itu berbisik di daun telinganya.

Sang gadis tak berdaya berada dalam kungkungan Pria itu. Dia hanya terisak dalam diam membiarkan Pria itu menggerayangi dirinya. Pria itu tak melewatkan bagian darinya justru melahap setiap inci dari Gadis itu. Sang gadis hanya bisa terus berharap jika pagi segera tiba agar semua malam penderitaannya berakhir.

Pagi pun tiba bahkan mentari masih malu-malu menyapa hari. Sang gadis terbangun kemudian menatap ranjang kasur yang sudah berantakan. Dia juga melihat sprei putih yang terdapat noda kemerahan. Gadis itu kini melirik Pria bertubuh kekar bertelanjang dada yang masih pulas terlelap dalam tidurnya. Gadis itu beranjak pelan-pelan dari kasur karena tak mau membangunkan Pria itu kemudian memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Dia berjalan tertatih-tatih kemudian buru-buru keluar dari kamar ini.

Matahari yang baru terbit bahkan udara masih dingin. Lalu lalang kendaraan masih sepi di jalan raya. Sang gadis tertatih berjalan dipinggiran trotoar. Dia memberhentikan sebuah taxi kemudian membawanya pulang ke rumah. Raut wajahnya berantakan sama seperti tubuhnya. Dia tiba di sebuah rumah kontrakan. Gadis itu buru-buru masuk ke rumah kemudian langsung berjalan ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya.

Air dingin yang mengguyurnya tak Ia perdulikan. Dia menggosok tubuhnya dengan kasar berulang kali berharap semua sentuhan Pria itu akan bersih darinya. Berkas kemerahan menjadi corak pada kulit putih bersihnya. Gadis itu terisak karena melepaskan kesuciannya dengan cara seperti ini. Dia pun sembari meruntuki nasibnya. Lima belas menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan raut wajah kusut. Gadis sudah memakai pakaian barunya.

“Alessa, untung saja, berkat dirimu hutangku terbayarkan,” ucap Pria paruh baya sembari menepuk pundak Gadis itu. “Lain kali, hiburlah pria-pria kaya seperti itu dengan baik, tadi malam Kamu sempat diprotes tapi untung saja uangnya sudah masuk ke rekeningku.” Pria itu berucap sambil duduk di kursi kayu kemudian menghidupkan televisi.

“Alessa, buatkan Bapak kopi,” suruh Pria itu tanpa memerdulikan keadaan Alessa.

“Baik, Pak.” Alessa mengangguk patuh. Dia pergi ke dapur untuk merebus air dan membuatkan kopi seperti yang ayahnya inginkan.

Pranggg! Ketika membawa secangkir kopi panas. Alessa tak sengaja menjatuhkan cangkir itu sampai membuatnya pecah dan berserakan di lantai. Alessa buru-buru membersihkan pecahan kaca dari cangkir itu. Saat Ia sedang membereskan pecahan kaca. Seorang Wanita paruh baya baru tiba di dapur.

“Alessa, dasar bodoh!” Wanita itu membentak Alessa sembari melayangkan pukulan pada wajah manis Alessa. “Kau memecahkan cangkir mahalku, dasar anak tidak berguna!” hardik Wanita itu.

“Aduh, ampun Bi, Alessa tidak sengaja,” ucap Alessa sembari melindungi kepalanya.

“Tidak berguna, bapakmu, dan kau, sama-sama benalu di rumahku!” omel sang Bibi sambil memukuli Alessa dengan ujung penyapu. Puas melampiaskan amarahnya dia malah menyuruh Alessa lagi.

“Hey, apa kau mau diam saja!” bentak Seorang Wanita paruh baya. “Cepat jual dagangan itu, dasar pemalas,” perintah Wanita itu sembari beranjak pergi meninggalkan Alessa sendiri di dapur.

“Baik, Bi.” Alessa mengangguk sembari memengangi kedua kakinya yang sudah penuh dengan lebam. Alessa berdiri dengan perlahan sembari memengangi dinding. Alessa membuatkan kembali kopi untuk bapaknya. Setelah itu Alessa pun mengangkat dua buah keranjang berisi makanan camilan yang dibuat oleh bibinya. Alessa setiap hari menjual camilan itu ke kampusnya sembari berkuliah.

Alessa mengangkat keranjang makanan yang berat itu menuju halaman rumah. Alessa berjalan dengan pincang karena semasa remaja mengalami cedera pada kedua kakinya. Dia meletakkan dua keranjang ke motor maticnya. “Tidak apa-apa, hari ini pasti laku,” ucap Alessa menghibur dirinya sendiri.

“Oh, iya, aku lupa membawa hasil revisian skripsi di kamar,” ucap Alessa sembari kembali ke dalam rumahnya.

Dia sempat berjalan melintasi ruang tamu. Kedua mata cokelat Alessa membelalak kala Ia mendapati bapaknya yang sudah mengambil mendali emas milik Alessa dari lemari pajangan. “Bapak, mau dibawa kemana mendaliku?” tanya Alessa.

Bapaknya itu tidak memerdulikan pertanyaan Alessa. “Banyak bicara saja kau, uangmu semalam kurang jadi bapak akan jual mendalimu ini,” ketus bapaknya.

Alessa meletakkan keranjang makanan kemudian menghadang bapaknya yang hendak ke luar rumah. “Jangan, Pak, Alessa mohon, itu satu-satunya prestasi Alessa pak,” mohonnya. “Pak, Alessa tidak bisa bermain skating lagi, hanya itu satu-satunya kenangan yang Alessa miliki Pak.” Alessa berucap sembari terisak. Dia menarik lengan bapaknya yang hendak keluar dari rumah itu. Alessa tak rela mendalinya akan dikorbankan juga demi uang seperti dirinya ini.

Pria itu mendorong tubuh Alessa sampai Ia terjatuh. “Kau anak pembangkang!” Pria itu mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Alessa.

“Kau sudah cacat, lagi pula mendali emas ini tidak ada gunanya jika jadi pajangan saja, lebih baik dijual untuk membayar hutang bapakmu ini,” ketus Pria itu sembari pergi meninggalkan rumah. Dia membawa mendali emas milik Alessa untuk dijual, tak lain agar melunasi hutang-hutangnya bermain judi.

“Apapun Pak, asal jangan jual mendali yang Alessa susah payah dapatkan.” Alessa memengangi kedua kaki bapaknya agar mencegah Pria itu beranjak pergi membawa mendali yang Ia menangkan dulu dalam kejuaraan olimpiade grand prix lima tahun lalu. Mendali itu sangat berarti bagi Alessa yang mengingatkannya akan perjuangannya.

“Kalau begitu malam ini kau harus mau melayani Tuan Kaya itu lagi.”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku