Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
BAHAGIA SETELAH DUKA

BAHAGIA SETELAH DUKA

JOSEPHWANG99

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
150
Bab

Pernikahan Gabriel dan Nadya ditentang oleh keluarga besar, karena perbedaan keyakinan yang dianut keduanya. Gabriel yang beragama lain memilih untuk menjadi imam terbaik dalam hidup sang calon istri demi menikahi Nadya yang beragama taat. Dampak dari keputusannya itu membuat nama Gabriel harus dicoret dari ahli waris Indofarma grup.

Bab 1 Meminta Restu

“Ma ....”

“Tidak!”

“Ma, biarkan aku menyelesaikan dulu ucapanku!”

“Tidak! Mama bilang sekali tidak ya tidak!” Gloria Liem menyentak. Nada bicaranya kian tinggi dan ketus.

Gabriel mengusap wajah piasnya yang terasa kebas. Skenario ini memang sudah dipikirkannya sejak tadi, sebelum dia datang ke rumah ini. Pasti jelas keluarga besar takkan setuju atas keputusan yang diambilnya. Seharusnya Gabriel juga tidak perlu datang ke sini, malam ini. Buat apa? Buang-buang waktu saja. Toh, pada akhirnya, tetap saja—Mama, Papa, Cici dan adiknya takkan setuju dengan hal ini.

Rencana meminta restu buat menikahi perempuan muslim sebaik dan secantik Nadya, pilihan Gabriel bukanlah perkara mudah. Nyatanya, dia takkan pernah dapat restu dari kedua orang tuanya. Sejak awal mereka memang tidak pernah menyukai Nadya. Bagi keduanya, Nadya hanyalah penghambat masa depan Gabriel.

Gabriel melirik Nadya yang duduk di sebelahnya. Gadis itu meremas lutut. Mukanya kelihatan tegang, menahan segalanya. Mulai dari rasa takut, gugup, berdebar dan bergetar hingga panas dingin karena ujung-ujungnya rencana minta restu untuk menikah tidak dikabulkan. Gagal total. Tidak sesuai harapan.

Gabriel menatap Liem Ko-en—Papanya, kemudian. “Pa ..., tolong izinkan aku menikahi Nadya!”

Koen Liem menggeleng. “Tidak, Gabriel. Kami tidak akan merestui pernikahan kalian. Kamu seharusnya tahu kalau sejak awal kami tidak akan pernah setuju dengan rencana ini!”

“Tapi aku mencintai Nadya, Pa!” Gabriel menekan kata-katanya. Dia menegaskan bahwa tidak ada wanita yang lebih baik daripada Nadya saat ini untuk menjadi calon istrinya. Tidak akan pernah ada!

“Cinta macam apa yang berani menentang restu orang tua, Iyel? Cinta macam apa, itu?” Gloria berseru kesal. “Kalau kamu mencintai dia dan dia mencintai kamu, seharusnya kalian mengerti kalau kalian tidak akan pernah bersama. Perbedaan agama yang kita anut akan jadi penghalang besar dalam perjalanan rumah tangga kalian. Seharusnya kamu paham itu!”

Gabriel menggeleng, muka tegangnya kian memerah. “Tidak, Ma. Ini tidak akan menghalangi kami. Aku ....”

Gabriel menelan ludah tercekatnya sekali, ditatapnya wajah kedua orang tua. Gloria sejak tadi menahan tangisan dan kesal bersamaan, kemudian Koen Liem diam tidak bersuara karena dia bosan mendengar perdebatan soal pernikahan yang tidak kunjung berakhir sejak berminggu-minggu lalu. Cici Gina dan Gamaliel hanya memerhatikan, tidak sanggup berkomentar sejak tadi. Lagi pula, kata-kata apa yang hendak mereka katakan malam itu.

Tak ada. Sebab suara mereka takkan diterima oleh Gabriel. Saat ini yang pria itu butuhkan adalah restu dari Koen Liem dan Gloria. Itu saja. Tidak banyak. Dia juga tidak datang ke rumah ini karena menuntut harta warisan. Jauh dari itu semua, Gabriel tidak butuh harta.

“Aku telah pindah keyakinan. Aku yakin aku akan menikahi Nadya. Jadi aku memutuskan akan masuk ke dalam agama Islam, meninggalkan kepercayaan keluarga kita!” Gabriel melanjutkan ucapannya. Jelas ketika dia mengatakan itu, reaksi pertama orang-orang yang menatapnya adalah terkejut bukan kepalang.

“Apa?” Gloria berteriak lantang. Lantas reflek berdiri. “Apa kamu gila, Gabriel? Kenapa kamu melakukan itu, hah? Kenapa hanya mau menikahi dia, kamu sampai-sampai meninggalkan agama kita. Kamu tahu Gabriel, kita adalah penganut agama Kristen yang taat. Tidak sepatutnya kamu meninggalkan semua ini hanya karena ingin bersama dia. Kamu benar-benar bodoh, Gabriel!”

“Ma .... Jika itu satu-satunya cara supaya aku bisa menikah Nadya, maka itu cara satu-satunya juga yang harus aku lakukan agar bisa bersama dia. Aku yakin atas keputusan yang aku ambil sekarang!”

“Di luar sana banyak wanita yang jauh lebih baik dari Nadya, Gabriel. Banyak! Bahkan kalau kamu mau, kamu bisa memilih satu-persatu. Theresia juga adalah pilihan yang terbaik. Tapi tidak dengan perempuan ini! Mama bilang ya, dia memang cantik. Dia baik. Dia berpendidikan. Dia masuk tipe keluarga ini sebagai calon menantu. Mungkin dia menantu idaman buat para mertua di luar sana. Tapi latar belakang agama kita beda, Gabriel! Maka dari itu Mama tidak akan pernah setuju dengan rencana kamu yang tolol ini!”

“Ma ...!”

“Keluar!” Gloria berseru marah. Amarahnya saat ini benar-benar menggebu tak tertahan. Bahkan suasana terasa mencekam manakala dia tidak bisa menahan emosi.

Sekali lagi Gabriel mengusap wajah piasnya yang terasa kebas. Beginilah jadinya jika dia berusaha meminta restu. Alih-alih dapat restu, dia malah dimaki dan diteriaki kasar. Hal paling tidak enak didengar ini memang sudah Gabriel pikirkan sejak berhari-hari lalu.

“Pa ....” Gabriel kembali menatap Koen Liem, berharap ayahnya itu bisa menerima keadaan ini. Sayangnya, jawaban Koen Liem masih sama. Dia setuju dan sepemikiran dengan Gloria.

“Apa yang kamu harapkan dari Papa, Gabriel? Kamu berharap Papa akan setuju dengan permintaan kamu? Memangnya apa yang kamu dapatkan setelah pindah agama.” Koen Liem mengembuskan napas sengal-samar, “Jika itu keputusan kamu, sebaiknya kamu pergi dari sini. Karena kami tidak akan pernah memberikan restu sama sekali.”

Gabriel mengeraskan rahangnya. Sejujurnya dia kesal.

Namun tidak bisakah Papanya tidak mengatakan hal itu di depan Nadya atau bahkan di depan mukanya? Mau bagaimanapun saat ini Gabriel telah memilih memasuk Islam, bukan lagi beragama Kristen seperti yang dianut kedua orang tuanya. Tidak perlu menghina begitu. Apalagi di depan Nadya, calon istrinya. Baiklah, jika itu keputusan mereka, maka Gabriel akan tetap pada pendiriannya.

“Papa boleh mengatakan segala keburukan tentang aku. Tetapi tolong, jangan pernah mengatakan apapun tentang keyakinanku saat ini. Karena itu tidak ada kaitannya dengan semua ini.” Gabriel menelan ludahnya sekali lagi. Kemudian dia berdiri, tangannya menggamit tangan Nadya. “Aku tidak butuh restu kalian lagi saat ini kalau pada akhirnya masih saja begini keputusan kalian. Aku bisa melakukan segalanya sendiri, bahkan tanpa kalian. Jika ini keputusan yang kalian pilih, maka aku juga akan memilih keputusanku sendiri.”

“Ya, silakan. Tapi perlu kamu ingat, Gabriel. Setiap apa yang kamu inginkan pasti ada konsekuensinya. Kamu harus tahu ini.” Koen Liem mengingatkan.

Gabriel yang akan beranjak pergi selintas melirik sang Papa. Nada bicara orang tua ini kedengarannya seperti mengancam. Namun Gabriel tidak ambil pusing sama sekali. Apa yang akan terjadi kedepannya, dia akan menanggung segala resiko itu.

••••

“Soal tadi ....”

“Jangan dipikirin!” Gabriel memotong kalimat Nadya.

Dua orang itu sudah berada di dalam mobil, menuju kepulangan. Gabriel akan mengantar Nadya pulang selepas keluar dari rumah kedua orang tuanya. Kendaraan yang Gabriel kemudi sudah masuk di jalan tol dalam kota. Jalan agak lengang, langit hitam bertabur bintang gemintang nan terang. Kota kami bermandikan cahaya malam itu.

Nadya menghela napas sengal. “Setelah aku pikir-pikir, sepertinya lebih baik kita batalkan saja acara pernikahan ini. Aku tidak bisa melawan restu. Papa dan Mama Koko tidak menerima keadaanku dan itu menjadi bumerang untukku. Jadi sebaiknya, lebih baik kita akhiri saja rencana ini. Aku tidak bisa melanjutkannya kalau ada pihak yang tidak setuju dengan pernikahan kita!”

Mendengar ucapan Nadya barusan, Gabriel yang sedang mengemudikan mobilnya segera menepikan kendaraan ke bahu jalan. Untungnya jalan tidak terlalu ramai lalu lalang kendaraan lainnya. Gabriel menatap tak senang wajah Nadya, calon istrinya malam itu. Wajah Gabriel kentara geram.

“Kamu bilang mengakhiri? Kamu bilang kita usai di sini? Kamu serius?”

“Aku hanya tidak mau mengambil kamu dari Tuhan kamu, Ko. Dan begitu sebaliknya. Mama kamu benar soal tadi. Cinta kita terhalang oleh tembok pembatas yang berbeda.”

“Tapi aku yang memutuskan, Nad. Kamu harus tahu, perjuanganku buat mendapatkan kamu itu sulit. Belum lagi meyakinkan Abi (ayah Nadya) kalau aku serius ingin menikahi kamu. Meyakinkan Mas Angga. Juga satu keyakinan demi bisa bersama kamu. Demi bisa pernikahan kita diterima negara, dicatat oleh pengadilan agama. Dan demi bisa se-amin dan seiman dengan kamu. Bahkan aku tidak peduli kalau harus meninggalkan Tuhanku. Aku telah memikirkan segalanya. Namun apa yang kamu bilang barusan? Kamu bilang mau mengakhirnya. Coba kamu pikir, jadi di sini hanya aku sendiri yang berjuang buat kita? Cuma aku yang peduli soal pernikahan ini?”

Gabriel men-jeda kalimatnya sejenak. Menatap mata sendu Nadya yang tidak melontarkan secuil kalimat apapun.

“Nad, aku bisa sampai ditahap ini karena kita. Karena kebersamaan kita. Aku tidak peduli tentang Mama dan Papa yang tidak setuju soal pernikahan kita. Bahkan kalau dunia menolak pun, aku akan tetap memilih bersama kamu. Aku nggak masalah kalau aku menjadi anak pembangkang, itu semua kulakukan demi kamu. Tapi coba kamu pikirkan langkah kita sejauh ini, masa harus berhenti begitu saja. Berhenti setengah jalan!”

“Ko ....”

“Setop, Nad. Kamu nggak usah bilang apapun. Kamu pasti kecapean karena kepikiran ucapan Mama dan Papa tadi. Aku akan cepat mengantar kamu pulang. Kamu butuh istirahat.” Gabriel lagi-lagi memotong kalimat Nadya.

Otomatis ucapan pria ini membuat Nadya harus menahan semua perkataan yang hendak dilontarkan. Gabriel melanjutkan perjalanan kendaraan, sebentar lagi mereka akan tiba di rumah Abi, ayahnya Nadya. Gadis ini tinggal berdua bersama ayahnya, tanpa sang ibu. Karena Nadya sudah menjadi anak piatu sejak kecil. Sedangkan Mas Angga, dia tinggal bersama istrinya, di rumah lain. Mereka kan mandiri.

Nadya itu anak seorang yang taat beragama. Abi seorang dosen agama sekaligus dewan kemakmuran mesjid di tempat tinggal mereka. Mas Angga seorang pengusaha, yang sama-sama punya ilmu pendidikan agama yang tinggi. Nadya pun sama. Mereka dididik untuk taat pada perintah Tuhan.

Melihat betapa damainya keluarga Nadya, Gabriel yang notabene-nya seorang keturunan Tionghoa penganut kepercayaan protestan, merasa bahwa apa yang dipilihnya sudah tepat. Nadya adalah perempuan yang sempurna untuk Gabriel, bukan Theresia yang dijodohkan Mama untuknya.

“Oke, kita jangan bahas apapun saat ini.” Nadya berkata lirih. Gabriel melanjutkan perjalanan kendaraan. Sudah tugasnya mengembalikan Nadya ke rumah Abi sebelum pukul sepuluh malam.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh JOSEPHWANG99

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku