STAIRS IN THE NORTH
arwa terduduk tepat di jendela sambil menatap langit malam yang dipenuhi dengan bintang seraya memainkan gitarnya. Bagi Sarwa, jendela dan malam hari adalah hal terbaik baginy
terlihat berbeda. Seusai memainkan gitarnya, Ia pun membuka sebuah buku note berwarna pink yang tadi siang diberikan oleh Sisi. Sarwa terduduk disana sambil memangku gitar sekaligus membaca tersebut. Buku catatan milik S
g yang aku lalui haru
tinya meskipun aku h
berliku ini, sebuah masa depan dan
ski sakit, aku akan
at dan Ia merasa seperti disemangati secara tidak langsung. Karena, apa yang Sisi tul
melihat c
terus berusaha membu
langit malam, aku ingin be
mereka indah, namun hanya yang t
nya bisa dika
u yang mustahil bisa s
an yang tumbuh
ng datang meski l
it yang tiba-tiba menjadi c
inya seakan menggambarkan keadaan dirinya saat ini? Dirinya yang berusaha menggapai apa yang Ia impikan namun semuanya terhalang dan rasanya sangat mustahil.
lebih dalam lagi, Ia semakin merasa bahwa Sisi seperti dirinya. Ataukah semuanya hanya perasaan Sarwa saja? Namun sepertinya tidak. Terbukti saat ini -seakan mendapat
lirik yang akan Ia jadikan lagu pertamanya. Malam ini, pertama kalinya Sarwa mendapatkan 'nyawa' untuk menuju impiannya. Untuk menggapai i
mimpikan. Membuat sebuah lagu. Namun tanpa Sarwa sadari, sosok pria yang
aja merebut gitarnya tanpa satu kata pun. Sarwa yang awalnya duduk di jend
IN MUSIK
spressi wajah dinginnya dan juga tatapan datar
AB S
n musik aja, Pih. Aku main musik bukan berarti aku akan ninggalin kuliah a
L
a dengan tatapan nyalangnya pertanda beliau benar-benar marah dengan apa yang Sarwa lakukan dan
? Iyakan? Dan entah apa alasannya, papih malah memilih untuk menjadi arsitek disaat papih masih fokus dalam dunia musik." Sarwa menjabarkan apa yang pernah sang ayah lakukan sewaktu
iap beliau tumpahkan pada anak semata wayangnya itu. Papih benar-benar benci jika ada seseo
rasanya, papih ingin kamu tidak t
aku udah ngelakuin apapun yang papih
gsung hingga membuat Sarwa tersentak kaget. "Papih nggak pernah kasih izin kamu untuk
ULU SEORANG P
mperhatikannya dengan tatapan ngeri sekaligus gemetar. Bahu papih naik turun pertanda emosinya sudah diluar bata
uk akal, Pih! Terlebih papih me
jukkan gitar milik Sarwa yang beliau peg
bisa ngertiin papih, atau papih yang nggak bisa ngertiin aku."
endela dan mengambil buku yang Sarwa dapatkan tadi siang. Melihat hal itu, sonta
tajamnya saat Sarwa berhasil mengambil kembali buku y
uku milik Sisi di belakang tubuhnya. Ia tidak mungkin d
buku itu
Pih! Sarwa nggak akan k
AR
itar Sarwa, tapi ng
apa
perlu tau i
iau pun mencengkram erat gitar milik Sarwa yang dipegangnya. "Mulai detik ini, gitar kamu papih
R
uar dari sana. Sedangkan Sarwa, Ia masih terdiam berdiri dan menatap kosong kearah pintu kamarnya. Ia berusaha melupakan perdebatan antara dirinya dengan sang ayah meski sulit karena, ini bukan yang pertama k
asuk dan mengganggunya lagi. Sudah cukup kemarahan sang ayah membuatnya harus kehilangan gitar yang susah payah Ia dapatkan dengan c
L
cahaya -bahkan cahaya ponsel sekalipun- di kamarnya. Bukan tanpa alasan Sarwa seperti itu. Ini adalah kebiasaan Sarwa saat dirinya sudah lelah dengan semua yan
alam dadanya yang semakin lama menjelma dalam bentuk air mata. Gumpalan bening sudah mengumpul di pelupuk mata Sarwa, dan jika saja Sarwa mngerjap meski hanya satu kali,
tuh seketika seiring Ia meneteskan air matanya. Sarwa lemah. Sarwa lelah. Lelah dengan apa yang Ia rasakan selama ini. Selama dua puluh tahun hidupnya yang harus
ya kabut yang tersapu oleh angin. Pundaknya bergetar seiring dengan isak tangis yang Ia keluarkan. Di kamar yang gelap serta dikeheningan malam, laki-laki yang baru beranjak dua puluh tahun itu terisak tanpa suara. Ia terisa