Wanita Malam
at, dan telat. Niat enggak s
keluarkan. Satu teman karyawanku juga terlihat santai sambil duduk menunggu pembeli. Biasanya bila ti
akso, laper. Ibu
l dengan urat leher kebiruan itu perlahan meliri
tai memasuki warung bakso yang berada tepat di depan toko Ibu Helni. Jaraknya sekitar sepuluh meter dan hanya dipisahkan jalan raya yang
ku
lu tiba-tiba, lebih lagi saat mendapati sosok yang menjadi pemilik tangan itu. Lelaki bermanik mata hijau dengan ramb
ini kam
siapa?
n pura
a aku dan dia di angkot ini? Apa ia baru saja m
ma, Anda salah
hon
cekalan. Lelaki ini benar-benar kurang ajar, apa ia
us kerja. Jangan halang
i meninggi. Lengan berkali-kali coba aku hentakkan, te
kannya. Apa ingatanmu sepend
, dadaku mak
h? Omong kosong! S
makin lekat, dapat aku temui k
h sampai suaramu juga
apa kali Saya katakan,
ikan dulu. Aku akan mele
t lalu mendorongnya. Sudah itu aku memilih keluar dari angkot dengan tubuh setengah melonca
*
an, meski akhirnya Ray tidak mengejarku, tetapi aku lebih memilih lari. Apa pun tope
ken
a baru saja melayani pelanggan, ia bahkan belum selesai membuang tumpukan sampah yang ku
. Wanita itu sudah merengut lagi padaku, mungkin karena baksonya gagal aku beli. Aku tidak ma
a menyakini aku seb
mbari sedikit mengibaskan tangan di depannya. Ini bukan pertama
na, Ra. Ntar bisa dituduh pelacur lo. M
u itu-itu saja.
Yang ia tahu aku hanya bekerja di sini dan bekerja sampingan di sebuah c
ikum cinta
ikum kekasi
kat, tetapi sebelumnya sudah memilih ke kamar mandi. Dari Ray, tumben dia ha
sa mene
nada yang sama tiap kali ia meminta Nona Bintang melayaninya, tetapi aku Rahma, saatnya menjadi Rahma. La
gar aku? Please ..
apa dengannya? Apa sikapku yang meng
, 'kan, aku punyak
ita tidak pernah sehari pun melewatkan waktu
ara
etif, apa ia hendak melakukan sesuatu karena masih menyakini tentang dugaan tadi? Apa ia akan memaksaku mengaku kalau