Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Apa kau tersesat?"
Baju yang lusuh dan bau amis darah yang menempel pada tubuhnya menarik sekumpulan lalat. Di tengah-tengah kesadarannya yang semakin menipis, sosok dirinya muncul di hadapannya.
''Apa yang kau takutkan? Sejak awal kau bukanlah siapa-siapa. Kau tidak memiliki nama, masa lalu, maupun rekan. Kau tidak dibutuhkan oleh siapapun bahkan oleh 'dia' yang kau anggap sebagai keluarga."
''Diam.''
''Menyerahlah dan jangan bang-"
''ARRGGGHHHH!!''
''Siapa......?"
"Aku ini.... Siapa....? "
Rasa sakit yang tak bisa ia jelaskan meluap tak tertahankan bersamaan dengan hilangnya sosok tersebut yang meninggalkan rasa frustasi yang berlebihan. Rasa takut akan kesendirian terus menghantuinya.
***
Perlahan aku membuka mataku. Yang kulihat bukanlah daun-daun yang menghijau melainkan sebuah tembok putih besar. Aku memalingkan wajahku untuk melihat sekelilingku. Ini bukanlah sesuatu yang bisa ku sebut sebagai tempat tidur karena di hadapanku berdiri beberapa orang dewasa yang terlihat sangat terlatih. Jika hitunganku benar totalnya adalah 200 orang.
Lalu di balik kaca itu berdirilah beberapa orang berbaju putih sambil mengamati kami.
''Hey, bocah kau terlambat bangun. Aku sampai bosan menunggu.''
''Katakan dimana aku.''
"Apa itu penting? Toh kau akan mati.''
''Apa-''
''Mulai.''
Terdengar sebuah suara yang seperti memberikan aba-aba untuk memulai sesuatu. Dengan perintah tersebut, beberapa dari mereka bergerak maju sambil melayangkan tinjunya padaku. Aku berusaha menghindari setiap serangan mereka dengan memanfaatkan ruangan yang cukup luas untuk diriku.
Lima orang kembali maju dengan membentuk lingkaran bermaksud mengepungku. Logikanya adalah kekuatanku tidak sebanding dengan satu orang dewasa terlatih apalagi jika lebih dari satu. Aku juga berpikir demikian karena bagaimana pun itu adalah logika yang paling masuk akal. Tapi, entah bagaimana tubuhku dengan sendirinya bergerak menghindari serangan mereka.
Beberapa orang juga sangat ahli dalam melakukan seni bela diri seperti Judo, Kungfu, dan Jet Kune Do. Sejujurnya aku sama sekali tidak paham akan istilah itu, namun rasanya itu terdengar familiar.
''Jangan meremehkannya. Dia itu ******. Serangan biasa tidak akan mempan untuknya. Bentuk formasi D.''
''Siap.''
Dari serangan yang acak dan membabi buta kini berubah menjadi lebih terstruktur. Sepuluh⎯ tidak, 54 orang mengandalkan kecepatan, 98 menggunakan kekuatan dan sisanya adalah pendukung. Satu orang di belakang menjadi otak dari semua serangan yang di lakukan.
Dari gestur, bentuk tubuh, dan cara dia memberi perintah memberiku spekulasi bahwa dia yang paling lemah di antara semuanya. Sejak kemunculan mereka pria itu terus berpindah-pindah tempat dan berbaur dalam kerumunan untuk menyembunyikan dirinya. Setiap kali aku mendekatinya anggota yang lain akan berusaha menghadang.
''Kau melihat kemana bocah.''
Kepalan tangan yang kuat mencoba mengincar area perutku di ikuti dengan tendangan lain yang mengarah pada kepalaku.
''Kau terlalu berisik."
BUUGH
KRAAKK
''Arrrggghhhhhhhhhhhhh.''
"Lemah. Hanya ini kemampuanmu?"
''Untuk seukuran bocah kau sombong juga. Aku akan mengabulkan permintaanmu.''
***
Dalam sekejap bentuk serangan mereka berubah. Kali ini menggunakan senjata sebagai alat pendukung.
''Tembak.''
Dorr
Door
Sniper. Lawan yang cukup merepotkan.
Utara 3, Barat 9, Selatan 5. Jumlah snipernya cukup banyak, tapi anak itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut justru kini wajahnya di hiasi dengan senyuman aneh.
Wajahnya berkata bahwa ia sungguh menikmatinya.
Kini, lantai yang tadinya berwarna putih berubah menjadi lautan darah. Dari total 200 anggota kini hanya tersisa 38 yang masih hidup.
''Ba-bagaimana bisa kau-''
''Ti-tidakkkk!''
''Tolong!!!!!''
''Arrrgggghhh!!"
''Haah....Haah...Haahh.....''
"Bangun. Apa yang kau lihat? Aku di sebelah sini.''
Lautan darah kini memenuhi seluruh ruangan. Warna dasarnya tidak lagi terlihat. Temboknya terlihat seperti baru saja di cat dengan warna merah. Terlihat indah jika apa yang terletak di lantai tidak terlihat. Ribuan potongan tubuh berserakan dimana-mana. Tidak ada satu pun anggota tubuh yang terlihat utuh.
Pria yang sejak tadi memberikan instruksi kepada timnya hanya meringkuk ketakutan setelah melihat apa yang terjadi. Satu per satu anggota tim yang ia banggakan di bunuh dengan brutal oleh seorang anak kecil berumur 5 tahun hanya dengan tangan kosong. Di lihat dari sudut manapun, suatu kemustahilan bagi seorang bocah memenangkan pertarungan dengan 200 prajurit terlatih yang di lengkapi dengan senjata. Namun, faktanya bisa. Dari total 200 kini hanya tersisa 1 orang yang masih hidup.
''A-ampun. Ku mohon ampuni aku. Aku tidak mau mati. Kumohon.''
Tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan kepadanya selain permohonan untuk hidup. Sekitar beberapa jam yang lalu ia masih bercengkerama dengan teman-temannya. Tertawa, minum bersama, dan merayakan kesuksesan bersama yang akan datang pada misi selanjutnya. Rasanya itu bagaikan mimpi. Sekarang mereka semua telah mati.
Hanya saja ia tidak ingin mati mengenaskan seperti rekan-rekannya. Setidaknya ia mati dengan layak setelah masa tuanya.
''Kau tahu, rekanmu mati karenamu. Tanggunglah dosa itu hingga ajal menjemputmu.''
"Ya. Itu aku. Aku yang membunuh mereka. Jika saja aku menolak misi ini mungkin mereka masih hidup. Ha...Hahaha...Hahaha....Aku membunuh mereka...AKU MEMBUNUH MEREKA....HAHAHAHA.''
Rusaknya mental lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Pria itu tidak bisa dikatakan hidup juga mati, tapi otaknya tak berfungsi dengan semestinya. Yang ia pikirkan hanyalah rasa bersalah akan kematian rekan-rekannya.
Tap...Tap...
Suara langkah kaki menghentikan tindakan bocah itu. Tatapan dinginnya seperti siap menangkap mangsanya.
Dua orang berpakaian jas putih mendekat. Betapa tercengangnya salah satu pria tersebut setelah melihat genangan darah yang menghiasi ruangan tersebut. Ini seperti berada di dalam kandang monster.
''Ini terlalu mengerikan. Tim 10 adalah tim terbaik yang kita miliki dan di akui juga oleh musuh. Tapi ini....''
''Bagaimana hasil rekamannya?''
"Dia membantai mereka dengan tangan kosong.''