/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
Xenia Gentarini. Sebut saja seorang gadis dengan rambut ikal pirang sebahu tersebut. Badannya yang ramping berjalan dengan tegap. Suara derap langkah sepatu stilettonya terdengar bernada di telinga.
Dia tampak santai berjalan di tengah-tengah kerumunan orang-orang. Terlihat tidak sabaran saat dihadapkan pada antrean sebuah toko perhiasan.
Xenia langsung menyerobot masuk begitu saja. Perilaku tercelanya telah banyak diketahui orang. Sehingga sudah biasa baginya untuk dikomentari orang banyak, terutama jika sedang berbelanja seperti ini.
"Hei, Xenia! Tolong jaga sikap kamu!"
Sebuah tangan tiba-tiba mencekal tangan Xenia. Menyebabkan Xenia harus beringsut menghadapkan tubuhnya pada tangan yang telah menariknya. Xenia mengerutkan kening begitu tahu siapa yang telah menariknya.
"Aduh. Apa-apaan ini. Lepaskan aku, Juan!" kata Xenia.
"Lepaskan, lepaskan. Enak saja kalau bicara," kata pria yang mencengkram tangan Xenia.
Diketahui bila pria itu adalah teman baik dari Xenia Gentarini. Namanya adalah Juan Tigor. Panggil saja Juan. Sejak dulu Juan memang tidak suka dengan kelakuan Xenia yang sering seenaknya.
Namun apa boleh buat, Xenia juga adalah sahabatnya. Mana bisa dia membenci kelakukan sahabatnya sendiri.
"Juan! Sakit. Lepaskan aku," kata Xenia memohon.
Dia memberot dan minta untuk dilepaskan tangannya oleh Juan. Tidak kalah sengitnya, Juan masih menggenggam tangan Xenia dengan kuat. Hal itu membuat Xenia meronta dan merengek agar dilepaskan.
"Juan! Aku mohon. Aku mau belanja. Jangan ganggu aku," kata Xenia.
Tak lama kemudian, Xenia mencemberutkan mukanya. Setetes air mata bening jatuh dari sudut mata kirinya. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa itu adalah air mata buaya yang sering Xenia teteskan untuk merayu Juan.
"Aku mohon. Jangan halangi aku," kata Xenia memelas.
Juan langsung menengok ke arah sekitar. Dia merasa malu karena dilihat oleh banyak orang. Juan segera melepaskan genggaman tangannya. Xenia bisa bernapas lega sekarang.
Tanpa banyak bicara lagi, Xenia langsung membalikkan tubuhnya. Dia ngeloyor pergi begitu saja. Suara derap sepatu stilettonya terdengar menggema di ruangan.
Hal itu membuat Juan menggelengkan kepala. Dia memegangi kepalanya yang tidak sakit. Dia merasa malu karena kelakuan Xenia.
Jika bukan karena Xenia adalah temannya, mungkin Juan tidak akan mau menemani Xenia berbelanja. Juan merasa bodoh karena mau menerima ajakan Xenia untuk menemaninya berbelanja.
Xenia telah berada jauh di depan. Dia tampak asyik melihat-lihat deretan perhiasan di meja kaca. Tak lama kemudian, Xenia memanggil salah seorang pelayan. Terjadi cengkrama di antara mereka.
Merasa penasaran, Juan langsung berjalan mendekati Xenia. Juan beberapa kali melewati orang yang mendesuskan kelakuan Xenia. Mereka tampak kasak-kusuk membahas sikap Xenia yang tampak sok kaya.
Aduh. Ini anak bikin malu saja. Batin Juan.
Juan masih terus berjalan hingga akhirnya sampai di dekat Xenia. Juan memperhatikan wajah Xenia yang terlihat ceria. Matanya berbinar dengan cerah.
"Ada apa kamu melihatku seperti itu," kata Xenia galak.
"Buset. Galak banget," kata Juan.
Xenia hanya tersenyum miring begitu mendengar perkataan Juan. Dia merasa senang dan puas karena bisa menang dari Juan. Xenia seperti mendapatkan angin sekarang.
"Oh iya. Kalau sudah tidak mau menemani, kamu boleh pulang sekarang," kata Xenia seenaknya.
Juan langsung menepuk dahi Xenia dengan keras. Seketika itu juga Xenia langsung mengerang kesakitan.
"Nyuruh orang pulang seenak jidat. Tadi siapa yang suruh temani ke sini," kata Juan marah.
"Oh iya. Aku lupa kalau aku yang menyuruh kamu ke sini," kata Xenia sambil mengusap-usap dahinya yang ditepuk oleh Juan.
"Permisi, Nyonya. Ini barang yang Nyonya pesan," kata pelayan wanita.
/0/10480/coverorgin.jpg?v=0b2fb937b710fc6ebebb72ddc37c529d&imageMogr2/format/webp)