Mau di takedown dulu, terima kasih.
Dixi menyeruput secangkir kopi panas di tangan sembari menatap mobil-mobil kecil di bawah kakinya dari balkon apartemen. Dalam hati, dia mengucapkan rasa syukur tidak menjadi bagian dari budak korporat yang diharuskan berangkat pagi-pagi dan menerjang kemacetan yang merayap sepanjang jalan protokol. Gadis berparas ayu yang memiliki gaya maskulin tersebut menikmati setiap bunyi-bunyi yang dihasilkan masing-masing kendaraan, saling bersautan. Mereka terlihat sangat frustasi akan lampu lalu lintas yang sedang bekerja sehingga merasa kalau menekan klakson bisa merubah keadaan.
Padahal sama saja, kan?
Meski di langit masih ada langit, namun Dixi bersyukur bisa menjadi salah satu orang yang tidak melalui semua itu meski dia bukanlah orang kaya raya seperti perempuan mungil yang sedang sibuk di dapur sana.
Caramela Hannie Edison atau panggil saja gadis bersurai hitam panjang tersebut, Cara. Gadis cantik yang sedang menyiapkan sarapan untuk dua orang itu, sangat kontras apabila disandingkan dengan Dixi. Cara begitu feminim, suaranya lemah lembut dan tidak pernah meninggikan suara pada siapapun. Berkebalikan dari Dixi yang tegas, lugas, dan bahkan terlalu maskulin untuk ukuran seorang wanita. Perbedaan antara Cara dan Dixi ternyata dapat mengisi kekurangan mereka masing-masing kala kedauanya memutuskan tingga disatu atap yang sama.
"Makanan siap!!"
Meskipun Cara setengah berteriak, namun bagi Dixi suara tersebut masih lembut terdengar dan keibuan seperti sifatnya. Mengundang Dixi untuk langsung datang ke meja makan tanpa bertanya lagi dan bergadung dengan Cara yang sudah duduk manis. Ia melihat ada roti isi buatan Cara yang semakin menggugah selera dari hari ke hari.
"Gimana sandwich buatan aku hari ini? Makin enak nggak?" Cara terlihat sangat antusias mendengar jawaban lawan bicaranya yang sedang mengunyah.
"Kok enak?" Ujar Dixi bernada bercanda.
Tetapi Cara menanggapi candaan tersebut dengan serius sehingga menimbulkan tanya. "Berarti yang kemarin-kemarin nggak enak, dong?"
"Enak kok," Dixi terkekeh berhasil menggoda Cara. "Sandwich buat kamu selalu enak, aku suka."
"Makasih," Ujar Cara, mengembangkan senyuman yang cantik di wajah. "Hari ini kamu mau berangkat ke bengkel jam berapa?" tanya Cara yang kini berfokus pada piringnya sendiri agar bisa menyantap roti.
Dixi hanya menaik-turunkan bahi sebagai jawaban. Entah, itu artinya tidah tahu atau tidak peduli. Cara sudah hafal betul akan kelakuan gadis maskulin di hadapannya jika sudah bersinggungan dengan topik bernama 'pekerjaan' yang sedang tidak ia nikmati akhir-akhir ini.
"Kamu jangan males begini, Dixi. Apa yang udah kamu korbankan selama beberapa tahun ini akan jadi sia-sia kalau kamu males. Nanti papi akan ambil alih kerjaan kamu dan berpotensi sakit jantungnya kumat karena dia paksain tubuhnya lagi untuk kerja. Kamu enggak maukan kejadian 4 tahun lalu terulang lagi?"
Dixi mengangguka pasrah seraya berkata. "Iya sayang, makasih kamu udah mau selalu ingetin aku."
Dixi tersenyum tipis setiap kali diingatan tentang tujuannya bekerja oleh wanita yang dicintainya. Ya, mereka berdua bukanlah sepasang sahabat atau sekedar roomate biasa, melainkan sepasang sejoli dalam hubungan yang terlarang.
Hubungan mereka sudah berjalan 3 tahun dan baik keluarga Dixi maupun Cara, sudah mengetahui hubungan mereka berdua. Tidak ada yang melarang hubungan ini berjalan dari pihak keluarga namun mereka baru berani tinggal bersama selama satu tahun belakangan atas ajakan Cara. Bahkan apartemen yang ditempati mereka adalah milik kakak pertama Craa, Kenzo. Dia meminjamkannya karena lokasi apartemen yang dekat dari kantor Cara bekerja.
Pertemuan pertama mereka berdua di pesta keluarga Edison yang dikenal sebagai pembisnis besar. Ayah Cara sendiri yang memperkenalkan Cara kepada keluarga Dixi, lalu mereka berdua terlibat perasaan yang sama. Perasaan jadi anak yang terpaksa memenuhi keinginan Ayah mereka demi segudang alasan. Dixi terpaksa membuang mimpinya jadi arsitek dan Cara harus menghentikan karirnya sebagai aktris meski sedang berada di puncak kejayaan, demi mendapat gelar anak berbakti. Mereka melakukannya demi keinginan Ayah mereka.
Perasaan yang muncul akibat kesamaan situasi, ternyata memicu menyusulnya perasan-perasaan yang lain termasuk cinta.
Ddddrrrttttt... dddrrrrrtttt..
Di tengah Cara dan Dixi yang asik menghabiskan sarapan mereka, salah satu ponsel yang ada di meja bergetar. Itu milik Cara. Bergetar terus menerus, menandakan panggilan telepon sedang masuk dari Kenzo.
"Halo kak.."
[Halo Car, kamu tahukan kalau Chris lagi marah sama Papa?]
"Aku tahu, ada apa kak?"
[Kamu bisa gantikan dia diperjalanan bisnis kita pagi ini nggak?]
"Aku? Kakak yakin mau ajak aku? Akukan cuma wakilnya kak Chris aja kak,"
[Habis mau gimana lagi, Car? Chris nggak mau dibujuk untuk ikut keperjalanan bisnis hari ini. Papa bilang, perjalanan bisnis kali ini penting, lho.]
"Tapi kak__"
[__Aku mohon Car, bantu kakak. Hanya kamu harapan kita untuk menggantikan posisi Chris yang lagi kosong sementara.]
Air wajah Cara berubah seketika kala mendengar permohonan Kenzo. Seakan sedang berpikir keras, gadis itu sempat terdiam selama beberapa saat sebelum melanjutkan percakapan.
"Aku minta izin sama Dixie dulu ya, kak?"
[Okey! Tapi aku yakin kalau Dixi pasti izinin kamu pergi. Sejauh ini dia nggak pernah melarang apapun yang menyangkut persoalan keluarga kita, dia anak yang pengertian.]
"Iya kak,"
[Yaudah, kalau kamu bisa tolong kabarin secepatnya supaya kakak bisa urus semua keperluan kamu di sana. Bye, Cara.]
Pip.
Cara menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkannya dengan kasar. Dixi yang berada di sampingnya sangat tahu, apa yang sedang diperangi Cara dalam lubuk hati. Perasaan berat akan beranjak namun tidak kuasa untuk menolak. Sebuah paksaan yang secara sukarela harus dilakukan demi julukan 'berbakti kepada orangtua' sungguh menyiksa. Apa boleh buat, Cara tidak lepas tanggung jawab begitu saja jika berhubungan dengan keluarga dan bisnis, apalagi keduanya sudah bercampur.
Jalan pintas apapun akan menjadi buntu sekarang.
Perusahaan keluarga Cara, Eds Corporation yang termasuk golongan bisnis raksasa. Mereka pasti akan kehilangan muka apabila salah melangkah atau bertindak suka-suka. Perjalanan berat yang harus dilalui Cara terus disaksikan Dixi sampai detik ini. Mereka saling menguatkan yang sedang lemah dan berpegangan agar tidak jatuh bersama.
"Aku akan pergi keperjalanan bisnis kali ini," Cara mengumpulkan segala keberanian untuk mengatakan keputusannya yang terpaksa diambil.
"Tumben kamu yang diminta? Karena Chris kabur lagi dari rumah?" Tanya Dixi, penuh kehati-hatian. Terlebih Cara hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala yang terkesan lemah lesu.
Chris adalah kakak kedua Cara yang tidak berguna sama sekali sejak awal dia bekerja. Posisinya sebagai direktur keuangan malah menguntungkan pria tak dewasa itu untuk menghambur-hamburkan uang dengan tidak bijak. Menyewa kupu-kupu malam, pesta pora setiap hari dan menjadikan berbelanja barang-barang tidak penting sebagai hobi. Perilaku mengerikan seperti Chris malah bermimpi ingin menjadi pelukis handal, lalu melawan orangtua.
Lihat akhirnya, Cara dan Kenzo juga yang harus membereskan kekacauan pria itu.
"Ini udah kejadian yang keribuan kali dalam setahun, seharusnya papa kamu tahu harus berbuat apa? Blokir semua kartu ATM, kartu kredit dan ambil semua fasilitas."
"Semua udah papa lakukan, tapi kita harus pergi hari ini. Dan Chris sampai sekarang belum pulang ke rumah, mungkin dia udah mempersiapkan semuanya termasuk uang tunai makanya sampai sekarang dia belum pulang."
Dixie menggelengkan kepala keheranan. "B*jing*n itu pembawa bencana banget,"
"Setiap ada pemaksaan pasti ada pemberontakan, Sayang. Akupun walau kelihatannya menuruti keinginan papa, tapi dalam hatiku berontak terus. Aku tahu ini bukan mauku, tapi aku bisa apa?" Ujar Cara yang tersenyum getir.
Itu pasti. Baik Cara maupun si pembangkang Chris, tidak ada yang bisa merubah keputusan kepala keluarga Edison jika sudah bersabdah. Bahkan Kenzo yang dijadikan anak emas Ayah mereka saja, terpaksa membuang jauh-jauh harapannya untuk menimba ilmu di sekolah kedokteran meski ia memiliki potensi. Terkesan egois namun kekuatan Ayah mereka memang terlalu besar hingga akan sangat sulit dilawan.
"Aku tahu," Dixi terdiam sesaat sebelum kembali membuka mulut. "Perjalanan bisnis kali ini kamu bakalan ke mana?"
Cara mengangkat bahu sembari berkata. "Enggak tahu, aku cuma bisa ikutin ke mana komandonya papa. Kamu izinin kamu pergi, kan?"
"Iya, dengan syarat kamu harus kasih tahu aku pergi ke mana dan jangan pernah hilang kabar dari aku. Deal?" Ucap Dixi mengacungkan jari kelingkingnya.
"Deal," Cara mengaitkan kelingking mungil miliknya dengan Dixi.
Cara memeluk Dixie. Mereka berpelukan cukup erat, terlebih Dixie yang meresapi pelukan hangat tersebut sebelum pujaan hatinya pergi. Mereka akan berpisah sementara waktu untuk pertama kalinya. Biasanya dalam urusan bisnis apapun Cara selalu akan ditugaskan di kantor bukan perjalanan bisnis seperti sekarang.
"Uuwweeekkk!" Cara tiba-tiba melepaskan pelukan Dixie dengan tangan yang mendekap mulutnya. Ia seperti ingin muntah.
"Kenapa sayang?" Ujar Dixie khawatir.
Dengan senyuman yang jahil, Cara berkata. "Kamu belum mandi, bau acem!"
Buku lain oleh Anandhashan
Selebihnya