Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Benci Jatuh Cinta

Benci Jatuh Cinta

Joya Janis

5.0
Komentar
74
Penayangan
10
Bab

Kisah seorang anak yatim bernama Panji yang diasuh oleh Terryn dan Deva. Kebencian ibu Imelda nenek Sheira kepada Panji menular pada Sheira yang harus membuat Panji bertahan dan menjadi sosok yang tangguh. Kejadian yang menghebohkan terjadi dalam keluarga Danuarta dan hanya Panji yang sanggup menyelamatkan nama baik Deva Danuarta. Meskipun menerima perlakuan yang tidak layak oleh Sheira, jiwa besar dan kesabaran Panji membuatnya tetap bertahan sebagai menantu keluarga Danuarta. Hingga suatu hari kebenaran tentang Sheira terungkap terkait dengan kematian calon istri Panji. Sekali lagi Panji diuji dengan kepergian ibu angkatnya, dilemanya bersama Sheira serta kemunculan Indah, ibu kandungnya. Panji benar-benar harus bertahan di antara masa lalu dan masa depan.

Bab 1 Kehamilan susah payah Terryn

Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.

Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.

“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.

“Anak-anak kemana semua sih? Pintu dibiarkan terbuka lebar gitu aja.” gumam Ibu Imelda dengan keheranan. Ibu Asih yang melihat pintu samping terbuka segera menyusul ke sana, perasaannya mulai tidak enak ketika melihat ada pot yang tumbang. Ibu Asih mendekat dan memekik kaget melihat Terryn terbaring di lantai teras samping yang basah.

“Anakkuuu!” pekiknya dengan sangat panik, ibu Imelda segera menyusulnya dan turut panik juga.

“Astagaaa … Terryn Sayang! Kenapa bisa jadi begini? Suamimu mana? Terryn?” ibu Imelda menepuk pelan pipi Terryn.

“Dartoooo! Dartoooo! Kesini cepaaaat … Kami ada di teras samping!” ibu Imelda berteriak memanggil sopir pribadinya. Tak lama laki-laki paruh baya itu datang dengan tergesa-gesa.

“Iya, Nyonya ada … Yaa Tuhan! Nyonya Terryn kenapa ini?” Darto pun terkejut melihat Terryn yang terbaring tak sadarkan diri.

“Bantu angkat ke mobil, bawa menantuku ke rumah sakit cepat!” ibu Imelda dan ibu Asih gemetar mereka takut terjadi sesuatu yang buruk pada Terryn dan kandungannya. Mereka tidak tahu sudah berapa lama Terryn terbaring di sana dengan wajah yang sudah sangat pucat itu.

Bergegas Darto mengangkat sendirian tubuh Terryn yang tidak terlalu berat, kedua ibu itu pun menyusul dengan cepat. Ibu Asih menutup dan mengunci semua pintu lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.

“Ayo cepat Darto, cari rumah sakit terdekat, aku takut menantuku kenapa-kenapa!” ibu Imelda kembali mencoba menelpon ponsel Deva. Sementara yang punya ponsel sedang berkeliling mencari buah mangga pesanan istrinya di pasar buah.

“Adoooh … Kemana siih anak itu?! Aku sudah bilang jaga istrinya baik-baik, ini ditinggal sendirian, itu bi Ira kemana kok gak keliatan juga?” sungut ibu Imelda dengan kesal. Ibu Asih tidak banyak bicara dia hanya memeluk tubuh putrinya yang dingin.

Jalanan desa yang belum diaspal membuat mereka terguncang di atas mobil, ibu Asih mempererat pelukannya pada Terryn.

“Hati-hati Darto! Kamu tahu ‘kan kalau menantuku sedang hamil!”

“I-iya, Nyonya Besar, maaf jalanannya memang kurang mulus.” Jawab Darto takut-takut.

Mungkin sudah puluhan kali ibu Imelda mencoba menghubungi Deva tapi tak kunjung juga putranya itu menjawab panggilan ponselnya. Mobil mereka nyaris saja berpapasan, mobil Deva baru saja masuk arah jalan desa setelah beberapa menit yang lalu mobil ibu Imelda berbelok berlawanan ke arah rumah sakit pinggir kota.

“Yiiin! Aku udah pulang niih … Bukain dong pintunya, Sayang!” seru Deva berulang kali ketika ketukannya serta salamnya tidak dapat sahutan Terryn. Deva merogoh kantong celana serta kantong jaketnya, ponsel yang dicarinya tidak ditemukan. Mangga yang dibawanya diletakkan di lantai, dia bergegas mencari benda itu di dalam laci mobilnya. Dahinya berkerut ketika melihat dua puluh empat panggilan tidak terjawab dari ibunya.

“Halo, Bu. Kenapa telp—“

“Segera susul ibu ke rumah sakit dekat gerbang kota, istrimu kami bawa ke sana. Dia kami dapati tergeletak pingsan di teras samping rumah, sepertinya Terryn terpeleset dan jatuh. Cepat!”

Deg …

Jantung Deva rasanya tidak berdetak di tempatnya, Terryn terjatuh dan pingsan. Dia sudah tidak mendengar kata-kata ibunya lagi. Ponselnya di lempar ke jok mobil di sampingnya. Lalu melajukan mobilnya seperti orang kesetanan.

“Terryn Arunika … Aku baru meninggalkanmu sebentar saja dan sudah celaka seperti ini?” nafas Deva nyaris tertahan, beberapa penduduk desa berhenti di sisi jalan ketika melihat mobilnya melaju dengan kencang. Mereka sudah tahu siapa pemilik mobil itu tapi untuk melihatnya melaju seperti sedang balapan para penduduk itu menatap mobil Deva yang melintas kencang dengan heran.

Ibu Imelda dan ibu Asih menghembuskan nafas lega mereka setelah dokter menyatakan jika Terryn baik-baik saja. Namun, dokter menyarankan untuk tetap menginap dan melihat perkembangan janin dalam rahim Terryn yang sempat mengalami flek. Terryn tidak diperbolehkan banyak bergerak dan tekanan darah Terryn yang cukup rendah membuat Terryn harus istirahat total.

Dengan nafas yang memburu Deva masuk ke dalam kamar perawatan Terryn, laki-laki itu cukup lega ketika melihat Terryn sudah sadarkan diri.

“Kau nyaris membunuhku Terryn … yaa Tuhaaan … Aku baru saja meninggalkanmu sebentar, sebentar saja Terryn dan kau sudah begini? Bagian dari mana kata ‘jaga dirimu baik-baik’ yang tidak kamu pahami hah?” Deva menyugar rambutnya gemas. Deva tidak sadar jika telah mengomeli Terryn di depan ibu dan ibu mertuanya.

“Maaf, Kak. Terryn gak tahu kalo di situ licin, Terryn cuma mau benerin pot yang tumbang karena angin dan—“

“Pot? Pot yang tumbang? Pot itu tidak lebih berharga dari nyawamu dan nyawa calon anak kita, Sayaang. Saat aku pulang nanti semua pot yang ada di teras samping akan aku singkirkan!” seru Deva sambil berjalan mondar mandir di ujung tempat tidur Terryn. ibu Imelda berdehem beberapa kali untuk memberitahu Deva agar dia sedikit tenang.

Deva berhenti seketika dan menoleh pada ibunya, ibu Asih dan dokter yang sedang bersama ibunya.

“Maaf … Dok, sa-saya gak tahu ada Bu Dokter di sini, saya sangat cemas dengan istri saya.” Deva mendadak menjadi salah tingkah dan sedikit malu. Dia begitu emosi atas sikap Terryn yang tidak mendengarkan kata-katanya sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya.

“Tidak apa, wajar kalau suaminya cemas. Sejauh ini ibu Terryn baik-baik saja, tapi tetap harus menginap dulu yaa karena ada sedikit flek yang dialami oleh ibu Terryn. Semoga tidak berlanjut dan ibu Terryn boleh pulang. Oh ya, saya ingin bicara sebentar dengan pak Deva, kita ke ruangan saya ya?” dokter itu pun mempersilakan Deva.

“Aku belum selesai denganmu, Terryn Arunika!” desisnya sebelum Deva berlalu dari hadapan Terryn.

Terryn benar-benar takut melihat Deva yang sangat marah besar padanya. Ibu Imelda hanya geleng-geleng melihat putranya yang mengomel sementara ibu Asih hanya menghela nafas mendengar penuturan putrinya.

“Mana Terryn tahu, Bu, kalau Terryn bakalan jatuh kayak gitu. Kalau Yin tahu bakal jatuh Yin gak mau pergi ke teras samping. Baru kali ini Yin liat kak Deva ngamuk kayak gitu.” Wajah Terryn tertekuk dia tidak terima diomeli suaminya.

“Sepertinya istri Anda memiliki riwayat penyakit paru-paru yaa? Tolong pertimbangkan kondisi istri Anda, semakin besar kehamilannya maka akan semakin sulit juga istri Anda untuk bernafas. Keadaan ini akan mengganggu asupan oksigen yang dibutuhkan oleh ibu Terryn dan janinnya. Apa Pak Deva sudah mengantisipasinya? Dengan tabung oksigen di rumah mungkin?” tanya dokter itu dengan raut wajah serius.

“Iya, Bu Dok. Kami menyiapkan tabung oksigen portable di rumah, Terryn sudah menggunakannya beberapa kali.” jawab Deva yakin.

“Sebaiknya Pak Deva membawa ibu Terryn tinggal di kota sementara. Jarak yang jauh dari rumah sakit akan memakan waktu yang lama jika sesuatu terjadi lagi pada istri Anda. Saya khawatir jika paru-paru istri Anda tidak akan bertahan lama seiring kehamilannya yang masuk ke trimester akhir nanti. Dia harus berada dalam pengawasan ketat dokter ahli.”

“Saya juga sedang mempertimbangkan itu, Bu Dok. Kebetulan rumah kami di kota tidak jauh dari rumah sakit tempat dia kontrol. Terima kasih atas sarannya.” Deva tersenyum ramah pada dokter cantik di depannya itu, kemudian dia berdiri menyalami dokter itu sebelum meninggalkan ruangan.

Terryn pura-pura tertidur ketika Deva masuk ke dalam kamar perawatannya, matanya dibuka sedikit untuk mengintip di mana suaminya itu duduk. Wajah Deva sangat kusut setelah keluar dari ruangan bu dokter tadi.

“Bu, sepertinya Deva harus bawa Terryn kembali ke kota. Sulit untuk mengontrol kondisi Terryn jika kami masih tinggal di desa. Dokter tadi menyarankan agar Terryn benar-benar dalam pengawasan dokter, paru-paru Terryn sudah cukup mengkhawatirkan seiring berkembangnya janin dalam kandungan Terryn.”

“Ibu dukung yang terbaik menurut kalian saja, Ibu akan lakukan apapun jika kau butuh sesuatu dari Ibu.” ibu Imelda menepuk lembut punggung tangan putranya.

“Ibu juga Nak Deva dan tolong ijinkan Ibu untuk tinggal bersama kalian yaa, Ibu ingin menjaga Terryn sebaik mungkin. Anak itu memang bandel.” sahut ibu Asih dari ujung sofa.

“Terima kasih Bu, Deva baru saja mau meminta supaya Ibu bisa ikut tinggal bersama kami. Deva takut kejadian ini akan terulang lagi, ketika Deva tidak ada si bandel itu akan berjalan-jalan lagi mengurus hal yang tidak penting.” Deva sengaja mengeraskan suara agar Terryn mendengarnya.

“Yaa sudah … Kasihan Terryn dari tadi kamu omelin, kamu udah kayak emak-emak merepet ke anaknya aja!” ibu Imelda meminta Deva menahan emosinya, hormon wanita hamil itu tidak stabil dan tidak baik jika putranya membuat menantunya itu menjadi bersedih.

Mereka bertiga pun berbincang membicarakan persiapan mereka kembali ke kota nanti setelah Terryn keluar dari rumah sakit. Terryn mendengarkan dengan seksama semua hal yang diatur oleh suaminya dan dia juga mendengar jika Deva meminta sejumlah asisten rumah tangga untuk membantu mereka mengurus rumah dan keperluan Terryn.

Hari ini benar-benar membuat Deva merasa kacau. Jantungnya masih belum terasa normal karena mendengar Terryn terjatuh di teras samping. Dipandanginya wajah Terrryn yang masih memucat, juga selang oksigen yang menempel di hidungnya. Terryn akhirnya benar-benar tertidur.

“Jangan seperti ini lagi, Terryn aku benar-benar seperti akan mati mendengarmu kenapa-kenapa. Aku tidak ingin sesuatu menimpamu, andai semua kejadian buruk bisa ditimpakan saja kepadaku. Aku rela menggantikan tempatmu untuk menahan semua rasa sakit dan sesak.” Deva mengelus kepala istrinya dan mengecup dahi Terryn dengan lembut.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Joya Janis

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku