Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kesempatan Kedua

Kesempatan Kedua

AR_Merry

5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
1
Bab

Harap bijak memilih bacaan!! Cerita ini mengandung adegan dewasa 21+ Oktavia Annastasya tidak pernah berpikir akan kembali bertemu dengan seorang laki-laki yang menyakitinya di masa lalu. Namun takdir seolah mempermainkannya saat ia kembali ke tanah air. “Via?” gumam laki-laki dengan setelan jas berwarna Navy yang termangu menatap gadis yang ia cari keberadaannya. Di seberang sana, seorang wanita yang sangat ia kenali tampak menggandeng pria dengan mesra. ....................................................................................... “Satu hal yang tak kuinginkan adalah bertemu denganmu!” ucap Oktavia dengan lantang dan tegas. Tristan tersentak saat mendengar ucapan Oktavia. Laki-laki itu menyadari kesalahannya memang sangat besar. “Berikan aku kesempatan sekali lagi, Via,” “Dan membiarkan kau menyakitiku lagi!” cemooh Oktavia. “Itu tidak akan pernah terjadi, Tuan Tristan Sagara! Sesuatu yang telah kau buang tak akan bisa lagi kau miliki!” Oktavia berlalu meninggalkan Tristan yang termenung meresapi perkataannya. ....................................................................................... Akankah takdir berpihak kepada Tristan untuk mendapatkan hati wanita yang sempat ia sakiti? Dan bagaimanakah perasaan Oktavia yang sesungguhnya?

Bab 1 Hal Tak Terduga

Suara kicauan burung di dekat kamar, membuat gadis dua puluh sembilan tahun itu menggeliat di balik selimut yang mengubur tubuhnya.

Gadis bernama lengkap Oktavia Annastasya yang baru saja pulang dari Singapura sejak satu bulan lalu mulai mengerjapkan matanya. Menyesuaikan cahaya matahari yang menerobos kain penutup jendela di kamarnya.

Ia kembali ke tanah air karena permintaan sang ayah yang sering sakit-sakitan semenjak kepergiannya tiga tahun yang lalu.

“Aku harus segera bangun dan menyapa ayah,” gumam Oktavia seraya menyibak selimut dan melipatnya sebelum beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Oktavia turun dari lantai satu menuju dapur, menemui sang ayah yang mungkin telah menunggunya. Dan benar saja, dia melihat Bambang sedang sibuk dengan koran di meja makan.

Oktavia menyunggingkan senyumannya karena Bambang benar-benar membuktikan janjinya akan menunggunya di meja makan setiap pagi. Sikap pria paruh baya itu membuat Oktavia yang biasa dipanggil Tata, menjadi enggan menolak setiap permintaannya. Apalagi jika sang Ayah memintanya menikah, ia akan pusing memikirkan jawaban yang tak menyinggung perasaannya.

“Selamat pagi, Ayah,” sapa Oktavia seraya memeluk sang ayah dari belakang. Kegiatan rutin saat pagi sebelum ia berangkat kerja dan menghabiskan waktu liburannya di rumah.

Pria paruh baya yang sedang membaca koran itu hanya melirik sesaat dan kembali berkutat dengan bacaannya. “Kamu rapi sekali? Bukankah hari ini libur?” tanya Bambang heran.

“Ayah benar, tapi Tata ada janji sama Alena dan Keisha keluar sebentar.” jawab Oktavia seraya mengambil tempat duduk kosong di sebelah ayahnya. “Ibu di mana, Yah?” Ia mulai menaruh beberapa sendok nasi goreng ke piringnya.

“Ibumu ke pasar dengan Bibi. Kakakmu akan datang bersama anak dan istrinya, menginap sampai lusa.”

“Tumben nginep lama?” gumam Oktavia sebelum memasukkan nasi satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Karena kakak iparmu lagi ngidam dan ingin menginap di sini,” tambah Bambang seraya meletakkan koran di meja.

Kedua mata Oktavia membulat sempurna. Ia menelan nasi goreng di mulutnya sebelum memekik antusias.

“Yes!” binar-binar kebahagiaan terukir jelas di wajah putih Oktavia.

Bambang menggeleng melihat tingkah anak bungsunya yang sampai saat ini belum mau menikah.

“Lalu, kamu kapan mau memberi cucu untuk Ayah?” tanya Bambang kemudian.

Seketika wajah Oktavia menjadi pucat. Ya, dia paling menghindari pertanya sang ayah yang akan membuatnya berpikir keras untuk memberikan alasan. Selama ini bukannya tak ada pria yang melamar atau menyatakan perasaan padanya, hanya saja ia belum tertarik untuk kembali menjalin kasih dengan pria lain.

“Tata?” panggil Bambang.

“Nanti dulu deh, Yah. Untuk saat ini Tata belum punya pikiran ke sana. Tata masih mau menikmati masa muda sampai puas.” jawab Oktavia seadanya.

“Sampai kapan?” desak Bambang.

“S-sampai Tata menemukan orang yang tepat pastinya,” jawab Oktavia gugup.

“Nak Haykal? Dia kandidat terbaik dan paling bagus menurut Ayah,” ujar Bambang tak mau kalah.

“Tata dan Mas Haykal itu bos dan karyawan, yang mana ada peraturan di perusahaan tidak memperbolehkan ada hubungan lain selain rekan kerja.” jawab Oktavia santai.

“Tapi Nak Haykal ‘kan bosnya? Bisa saja dia menghapus peraturan itu kalau kamu mau menerima lamarannya,” sanggah Bambang cerdas.

Oktavia hanya bisa meneguk ludahnya sendiri mendengar perkataan sang ayah yang semakin melantur ke mana-mana. Pembahasan tentang kekasih, suami, dan juga cucu adalah hal sensitif yang tak ada habisnya meski dikupas seperti bawang merah. Ia sendiri selalu menghindari topik itu.

“Bagaimana? Mau menerima Nak Haykal? Ayah sudah merestui loh. Begitu juga dengan Kakak dan Ibumu,” tanya Bambang beruntun.

“Tata nggak mau, Yah,” tolak Oktavia.

“Kenapa? Dia ‘kan baik dan menyukaimu. Kamu akan bahagia jika bersamanya, Tata,” ucap Bambang dengan nada tidak ramah.

“Cinta nggak bisa dipaksa, Yah. Tata nggak pernah menaruh perasaan lebih pada Mas Haykal. Tata nggak mau menikah tanpa cinta,” tolak Oktavia menggebu-gebu.

“Nggak kenyang kamu kalau cuma mengedepankan cinta, Tata. Lihat, Ayah dan Ibu! Kami tetap bahagia meski menikah tanpa cinta.”

“Tata tetap nggak mau. Aku nggak mau pernikahanku berantakan hanya karena tidak ada perasaan saling mencintai antara kami,” tolak Oktavia mempertahankan argumennya.

Bambang menghembuskan napas kasar dengan wajah memerah. “Terserah kamu saja! Toh meskipun Ayah merestui kalau kamu tidak mau, Ayah tidak bisa memaksa. Tapi ingat! Ayah dan Ibu sudah semakin tua. Kami hanya ingin melihatmu bahagia sebelum waktu Ayah datang,” ujar Bambang seraya meninggalkan Oktavia terkesiap seorang diri.

“A-ayah?” gumam Oktavia menatap sendu punggung Bambang yang semakin menjauh.

.

.

.

“Lo kenapa Ta? Muka Lo udah kayak setrikaan berbulan-bulan yang kusut tidak terkira gitu!” cetus Keisha yang heran menatap wajah sahabatnya. Dia melirik ke arah Alena yang hanya mengedikkan bahu acuh.

Oktavia yang sejak tadi memikirkan kata-kata Bambang menjadi sering melamun dan tak bersemangat sama sekali. Tak hanya itu, ia merasa sangat bersalah kepada orang tuanya karena keputusannya yang belum ingin menikah.

“Ta ... Tata!” seru Keisha seraya memukul punggung tangan Oktavia di meja.

“Awsh!” pekik Oktavia. “Lo kira-kira dong kalau mukul! Sakit tahu?” Oktavia melotot ke arah Keisha yang tak merasa bersalah.

“Lagian kerjaan Lo melamun mulu, sih! Bikin Gue gemes!” sungut Keisha.

“Lo kenapa sih, Ta? Dari tadi datang diem aja. Ada masalah? Sama siapa? Sama bos ganteng Lo itu? Iya?” tanya Alena beruntun bak kereta malam. Temannya yang satu ini akan bertindak layaknya seorang hakim.

Oktavia menghembuskan nafas kasar. “Sama Ayah.” jawab Oktavia singkat.

“Ah, Om Bambang ya. Kenapa? Beliau mendesak Lo nikah lagi, ya?” tanya Alena hati-hati.

Oktavia mengangguk.

Alena memberi isyarat Keisha agar mengeluarkan candaan. Namun, wanita yang baru saja menikah itu menggeleng pelan. Alena meraih punggung tangan sahabatnya memberi dukungan.

“Terus? Apalagi masalahnya? Cuma mendesak nikah ‘kan? Bukannya dipaksa nikah,” tambahnya.

“Kata-kata Ayah tadi pagi seolah memaksa Gue untuk segera menikah dan pilihannya jatuh pada Haykal,” jawab Oktavia, lesu.

Keisha mengangguk ke arah Alena untuk melanjutkan.

“Lalu?”

“Gue belum bilang iya. Tapi omongan Ayah tadi pagi bikin Gue nggak tenang sama sekali. Kalian tahu ‘kan, kalau Ayah Gue akhir-akhir ini sering sakit? Beliau minta Gue menikah sebelum .... sebelum,” Oktavia tercekat. Suaranya berhenti di tenggorokan.

“Lo sabar, Ta. Tenangin diri Lo dulu! Mungkin Om lagi banyak pikiran,” bujuk Alena.

“Gue pikir, Haykal memang kandidat terbaik ...”

Alena melotot ke arah Keisha yang mulai membuka suara.

“Yang lo katakan sama persis sama perkataan ayah,” ucap Oktavia, lesu.

Alena dan Keisha saling menatap. Alena menggeleng sebagai isyarat agar Keisha tak lagi bicara ngawur.

“Ehm, lo bisa pikirin pelan-pelan ‘deh, Ta. Gimana?” bujuk Alena. Dia berharap Oktavia mendengarkan ucapannya.

“Kita belanja dulu aja, deh! Siapa tahu nanti kita nemuin solusinya setelah pikiran tenang. Gimana?” usul Keisha, antusias.

Alena memutar bola mata malas. Sahabatnya yang baru saja menikah ini paling bersemangat kalau mengajak belanja.

“Gue bayarin, kok. Tenang aja.” ringis Keisha.

“Ayo! Gue mesti cari gaun buat nanti malem,” sahut Oktavia kemudian setelah menimbang-nimbang ucapan sahabatnya.

“Yes!” ucap Alena dan Keisha bersamaan.

.

.

.

Oktavia mematut penampilannya di depan cermin yang berada dalam kamarnya. Gadis yang mempunyai tinggi seratus enam puluh delapan senti itu, memilih memakai high hells lima senti untuk membalut kedua kakinya. Gaun merah menyala yang dipilihkan sahabatnya tadi siang membuat penampilannya menjadi memesona.

“Sudah siap,” gumam Oktavia sendiri di depan cermin. Setelah memastikan tidak ada cela, Oktavia segera keluar dari kamar karena Haykal sudah datang sejak lima belas menit yang lalu.

“Mami Tata,” seru anak berusia enam tahun yang berlari ke arah Oktavia dengan bersemangat.

Oktavia tersenyum menyambut keponakannya yang sangat menggemaskan. Bocah cilik itu sangat lengket kepadanya dan paras Revi mirip seperti dirinya sewaktu kecil. Maka tidak heran jika Oktavia membawa Revi pergi bersamanya, orang-orang akan mengira dirinya sudah mempunyai anak.

Oktavia menyamakan tinggi dengan Revi yang kini memeluknya erat.

“Mami cantik,” puji Revi. Pujian Revi membuat Oktavia menjadi gemas dan mengeratkan pelukannya. Revi terkikik dan tertawa kencang hingga terdengar oleh semua orang yang berada di ruang tamu.

“Opa! Oma! Maminya Revi cantik banget,” seru Revi, antusias seraya menarik tangan Oktavia menuju ruang tamu.

Semua orang yang berada di sana menoleh ke arah Oktavia dan Revi. Tak terkecuali Haykal yang menatap takjub kepada Oktavia, gadis yang sulit ia dapatkan.

“Revi, sini yuk sama Mama dan Papa aja. Mami sama Papi mau ada urusan di luar sebentar,” bujuk Stevy agar putri kecilnya melepaskan Oktavia.

Oktavia terkesiap mendengar kakak iparnya menyebut Mami dan Papi. Apalagi saat dirinya mendapati tatapan Haykal yang tidak berkedip sedikit pun kepadanya, membuatnya seketika gugup.

“Papi?” gumam Revi tak mengerti.

“Iya. Papi Haykal,” sahut Revaldo cepat sambil menunjuk ke arah Haykal berada.

“Om mau jadi Papinya Revi?” tanya Revi polos.

Haykal seketika gugup. Sial! Kenapa juga dia harus gugup diberi pertanyaan oleh anak kecil?

“M-mau dong,” jawab Haykal antusias, tapi tidak dengan Oktavia.

Gadis itu terdiam dengan dada berdetak kencang melihat tatapan anggota keluarganya yang sulit diartikan. Apalagi tiba-tiba sang ayah bertanya tanpa beban.

“Bagaimana Tata? Kapan kamu akan mewujudkan keinginan Ayah?”

.

.

.

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh AR_Merry

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku