Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dendam Seorang Pelacur

Dendam Seorang Pelacur

Dinda sukmadewi

5.0
Komentar
59
Penayangan
25
Bab

Siapa bilang wanita itu mahluk yang lemah...? Wanita itu mahluk yang bisa menjadi sangat kuat saat Ia tersakiti. Begitu juga dengan Felisha, dengan ikut Agency The Angel menjadi wanita panggilan elite ia menjalankan misi balas dendamnya. Bersama Shasya Adiknya, Felisha mencari pembunuh orang tuanya meskipun mereka harus menjadi seorang pelacur.

Bab 1 Di Gankbang Di Gudang

“Bos! Gadis itu terikat di dalam mobil, mau dibawa ke tempat biasa sekarang?” tanyanya. Langkah kakinya tegap bak seorang lelaki jantan. Sedetik kemudian, asap tebal dari dalam mulutnya terbang ke udara setelah ia menengadahkan kepalanya ke atas, lalu dengan cepat membuang semua asap rokok yang sempat memenuhi rongga paru-parunya.

“Bagus! Bawa sekarang kesana!” ucap Fredi tegas, lalu bergerak cepat ke arah selatan, menuju gudang yang ia sediakan untuk menyimpan stok minuman-minuman yang keras sampai paling keras. Di gudang itu pula ia menyiapkan dua ruangan khusus. Satu kamar untuk mengumpulkan gadis-gadis yang ia culik dari beberapa kampung, dan satu lagi kamar khusus dengan sebuah ranjang kayu lengkap dengan kasur busa berwarna putih untuk menjajal gadis-gadis malang itu.

Fredi memang tidak pernah tanggung dalam mengerjakan apapun. Cita-citanya sedari kecil ialah menjadi orang kaya, bagaimanapun caranya. Perkara haram tidak jadi soal, asal bisa mendatangkan uang yang sangat banyak. Sejak Fredi masih berumur 12 tahun, ia sudah mulai jadi pencopet, bandar obat dan barang-barang terlarang sampai merampok rumah orang-orang kaya di kota. Semuanya pernah ia lakukan seorang diri, sampai akhirnya sekarang ia jadi mafia penjual wanita.

Di dalam kamar gudang, tercium bau menyengat dari daun cannabis yang sudah dilinting menjadi sebatang rokok dengan ukuran yang cukup besar, terselip diantara jari-jari Fredi yang duduk di tepian ranjang menunggu gadis yang dibawa Ellee, wanita yang tadi ia temui di depan halaman warung remang-remangnya. Sesuai perintahnya, Ellee membawa gadis malang itu setelah beberapa hari melakukan pengintaian yang cermat.

Gadis itu adalah anak orang kaya yang dulu sempat menangkap dan mem-persekusi Fredi karena ketahuan sedang menggasak perempuan pacar ayah perempuan itu. Fredi ingin membalaskan dendam, ia akan menghancurkan anak gadisnya itu seperti perlakuan ayah gadis itu yang telah membuat Fredi hampir mati digebuki orang-orang satu kampung.

“Masuk!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Ellee, ia tampak mendorong tubuh gadis itu hingga terhuyung tepat di depan Fredi . Dengan tawanya yang mengekeh kencang, Fredi segera menangkap tubuh gadis itu dan melemparkannya ke atas ranjang.

“Bluugh!”

“Arrgh! Toloooong!” teriak gadis itu dengan kencang dan terdengar histeris ketakutan.

“Diam! Percuma teriak, tidak akan ada yang bisa mendengar!” bentak Fredi , matanya tampak mengamati gadis itu dengan seksama sebelum ia bertanya lagi kepadanya, “Hmmm, siapa nama kamu, gadis cantik?!” tanya Fredi , menatap ke arah tubuh gadis itu dengan mata yang berputar-putar mengelilingi setiap sudut dari tubuh gadis malang itu.

‘Felisha , Bos!” Sahut Ellee, setelah gadis itu lama tidak menjawab pertanyaan Fredi . Gadis itu hanya menundukan kepalanya sembari menangis histeris di antara dua lipatan tangan yang melingkari kedua lututnya.

“Hemmm... Felisha , ya... nama yang bagus, sesuai dengan wajah dan tubuh sempurna yang kamu miliki....” ucap Fredi , lalu kembali menghisap sebatang cannabis ditangannya sebelum kemudian ia menyerahkannya kepada Ellee sembari memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar Ellee segera angkat kaki dari sana.

Ellee menganggukan kepala, setelah mengambil sebatang cannabis yang disodorkan Fredi , ia pun pergi meninggalkan Fredi dan Felisha berdua di dalam kamar gudang.

“To-tolong ja... ja-jangan....” ucap Felisha terbata-bata, untuk telinga orang waras, isak tangisnya benar-benar terdengar mengkhawatirkan, Felisha berusaha menghindar, memundurkan letak duduknya hingga sampai terpojok di ujung ranjang saat Fredi mulai mendekatinya.

Sembari melangkah pelan ke arah Felisha , Fredi terlihat sedang melepaskan satu persatu pakaian yang dikenakannya, hingga yang tersisa hanya celana kolor berwarna merah menyala. Kedua paha Felisha yang sempat terbuka saat ia bergerak mundur, membuat rok yang dikenakan Felisha tersingkap, melihat putih dan mulusnya kulit paha gadis itu, napas Fredi seketika terdengar cepat memburu, ia tampak sudah tidak sabar ingin segera mencicipi keindahan tubuh gadis malang itu.

“Bagus juga paha kamu gadis cantik....” ucap Fredi sembari menelan air liurnya. Lalu, satu detik kemudian, ia mulai naik ke atas ranjang dan siap menerkam Felisha yang sedari tadi berteriak-teriak dengan histeris. Tendangan dan pukulan yang melayang dari tangan dan kaki Felisha sama sekali tidak berarti, Fredi dengan sangat mudah meringkusnya.

Tangan dan kaki Felisha terkunci dibawah himpitan tubuh Fredi yang tinggi besar, Felisha hanya bisa menghabiskan air matanya. Ia kembali menjerit sejadi-jadinya saat kedua tangan Fredi merobek-robek semua pakaian yang dikenakannya.

“Aaaaarrrghhh! Toloooooong!!!”

Felisha berteriak hingga suaranya terdengar parau dan serak. Fredi sama sekali tidak menghiraukannya, ia terus saja menarik, merobek dan melemparkan kain-kain yang terkoyak dari tubuh Felisha ke bawah lantai sembari merasakan libido yang semakin mendidih di dalam tubuhnya.

“Fredi sama sekali tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat tubuh Felisha nyaris tidak lagi terhalang suatu apapun. Hanya beberapa detik saja, yang tersisa dari tubuh Felisha hanyalah beberapa helai kain terkoyak yang masih menempel dan melindungi tubuh gadis malang itu.

Tetapi, hal itu tidak lama. Dengan sekali renggut, sisa pakaian yang sudah terkoyak itu pun terlepas seluruhnya dari tubuh bagian atas gadis itu. Tiba-tiba, suara jeritan Felisha terdengar semakin menipis, tangisannya pun mulai perlahan menghilang. Fredi tidak ingin lawannya hanya diam tanpa perlawanan, dengan segera ia menampar pipi Felisha hingga membuat gadis itu kembali tersadar dan menjerit histeris. Ketakutan yang teramat sangat tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat pasi.

“To...to-tolong... le-lepasin sayaa... le...le-lepasin sa-sayaa.... “ ucap Felisha , suaranya terdengar lemah, ia benar-benar merasa putus asa, rasanya ia lebih baik mati daripada diperlakukan seperti itu.

“Diam! Pasrah dan nikmati saja gadis cantik... kamu pasti suka....” desis Fredi , napasnya kian terdengar cepat. Lalu dengan gerakan penuh napsu, ia mulai menjelajahi buah di dada Felisha yang tampak ranum, muda dan masih kencang bulat sempurna tanpa goresan noda sedikitpun. Bahkan, sebutir daging kecil di atas puncak bukit itu masih berwarna merah muda dan menantang.

Liar bibir Fredi menyambar kedua buah di dada Felisha . Dengan rakus ia menjilat, menghisap dan menciuminya. Sementara itu, kedua telapak tangannya seolah tidak ingin hanya berdiam diri, dengan cepat kedua tangan Fredi bergerak ke segala arah menyusuri lekuk tubuh indah dari gadis itu. Mulai dari meraba wajah cantiknya, lalu turun ke dada, hingga akhirnya bermuara di tengah-tengah pangkal paha Felisha , lalu dengan gerakan memaksa, Fredi menarik satu-satunya yang tersisa dari pakaian Felisha paling dalam hingga terlepas dari tubuhnya, melewati kedua kaki Felisha yang meronta-ronta dengan tenaga yang semakin melemah.

“Ja... ja-jangan.... to... to-tolong jaaangaaan! Arrrrghhh huhuhuu....”

“Diam!” bentak Fredi , ia tampaknya sudah tidak dapat lagi menahan berahi yang meletup-letup di atas puncak ubun-ubunnya.

“Aaaarrrrrrghhh! Huhuhuhu....”

Felisha kembali menangis histeris, suaranya benar-benar semakin habis. Terdengar serak, parau dan mulai menipis. Setipis napas yang terasa sesak dalam dada.

Untuk sesaat, Fredi menciumi kain berbentuk segita milik Felisha sebelum melemparkannya ke bawah lantai. Tenaga Felisha benar-benar kalah telak saat ia berusaha menahan tangan Fredi yang menarik paksa celana paling dalam miliknya. Satu detik lalu, celana berbentuk segitiga miliknya masih melindungi area paling sensitif dari tubuhnya, kini area sensitif dari tubuhnya sudah terbuka dengan sangat bebas, membuat dentuman di dalam dada Fredi semakin meletup-letup, seolah ingin meledakan diri saat itu juga.

Dengan mudah, Fredi membuka kedua paha Felisha lebar-lebar, hingga satu gundukan yang dipenuhi bulu-bulu halus di tengah-tengah kedua pangkal pahanya terlihat dengan sangat jelas di mata Fredi . Dua garis daging lembut berwarna merah muda tampak benar-benar menyegarkan kedua matanya.

Sembari menelan air liurnya, ia segera mengarahkan bagian dari tubuhnya yang sudah sedari tadi berdiri dengan sangat tegak hingga lurus ke atas dengan gagah.

Saat hentakan pinggul Fredi mendesak maju, kedua mata Felisha tampak terbelalak. Suara jeritannya sudah tidak lagi terdengar kencang, teriakannya benar-benar hampir menghilang. Sebelum Felisha menutup kedua matanya, Fredi mendorong pinggulnya dengan sangat keras dan cepat, hingga tubuhnya benar-benar menyatu dengan tubuh Felisha yang hanya mampu menggigit bibir bawahnya sembari menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat benda tumpul itu merobek selaput daranya.

“Aaaarrrrrggghh! Le... lepasssskaan.. huhuu...”

Fredi tidak menghiraukan raut muka Felisha yang tampak kesakitan, ia terus saja mendorong dan menarik pinggulnya secara bergantian dan berulang-ulang. Jepitan dari rongga kecil yang masih original itu benar-benar menghisap dan mengurut batang kelelakiannya. Fredi memejamkan kedua matanya meresapi kenikmatan darah perawan yang berhasil ia raih dari tubuh anak gadis lurah kampung sebelah yang pernah menangkap dan menyiksanya.

“Ssshhhh... Aaaaakhhhh cantik... punya kamu ternyata masih di segel, yaa... enak bangeetttt... Aaaaakkhhh...”

Ediie mulai meracau, sembari menarik dan mendorong pinggulnya dengan kecepatan yang mulai bertambah, kedua tangannya menjulur meraih kedua bukit kembar yang membusung di atas dada Felisha . Ia meremas, memeluk dan memelintir secuil daging di atas puncak bukit pada tubuh Felisha yang terguncang mengikuti irama hentakan pinggul Fredi .

Entah sudah berapa lama Fredi menghentakan pinggulnya. Keringat mulai membasahi kening, sementara napasnya terdengar semakin tersenggal-senggal seperti orang yang tengah berlari mengelilingi stadion.

Beberapa saat kemudian Fredi menjatuhkan tubuhnya dan menindih tubuh Felisha , lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir Felisha yang dengan segera melipat dan menutup bibirnya kuat-kuat. Merasa ia tidak diberi akses untuk menjelajahi rongga mulut gadis itu, Fredi dengan kasar mencekik leher Felisha dan menampar pipinya.

“Buka mulut kamu!” ucap Fredi dengan nada yang menggeram.

“Aaaaargh!” Felisha berteriak kecil dan merintih, lalu tanpa sadar mulutnya terbuka, melihat itu dengan cepat Fredi kembali menyambar bibir Felisha dan menjelajahi rongga mulut Felisha dengan lidahnya yang begerak liar di dalam rongga mulut Felisha . Sementara pinggulnya masih saja menghentak, lagi dan lagi terus berulang hingga akhirnya Fredi merasa ia sudah akan sampai di puncak.

Fredi tampak mempercepat gerakan pinggulnya, tubuh Felisha bergoyang mengikuti dorongan pinggul Fredi yang menusuk dan menarik batang kelelakiannya dengan cepat, kemudian kembali menikamnya dengan batang kelelakiannya yang semakin mengeras di dalam rongga kewanitaan gadis malang itu.

“Aaaaaakhhhh... cantiiikkk! A.. a-aku ma-mau sampaaaii!”

Fredi berteriak saat tubuhnya tiba-tiba menegang sebelum akhirnya melemas saat lahar putih panas dari dalam tubuhnya menyembur beberapa kali dengan kencang memenuhi rahim gadis itu.

“Aaaakhhhhh.... Ssssshhhh... Enaaaakk banggettt cantiik....”

Fredi mendesis panjang, sebelum ia menarik tubuhnya yang masih menancap di dalam tubuh Felisha , ia mengecup bibir Felisha dengan sangat liar dan penuh napsu yang menggelora. Kedua tangannya lalu merangkum kedua buah di dada Felisha dan meremasnya hingga beberapa kali sampai akhinya ia melepaskan diri dan terkulai di samping tubuh gadis itu.

“Ini belum selesai, cantik... malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang... hahahaa...” ucap Fredi sembari tertawa, lalu mengatur deru napasnya. Felisha tampak membuka kedua matanya setengah, berusaha untuk memicingkan mata dan kembali berteriak ke arah Fredi , tetapi tenaganya sudah benar-benar habis, ia tidak mampu melakukan itu.

Sebelum Felisha kembali menjerit dan mengeluarkan segala caci maki, Fredi sudah berdiri dan mengambil pakaiannya yang tergeletak sembarang di bawah lantai lalu kembali mengenakannya. Untuk beberapa detik, Fredi tampak mengabaikan Felisha yang masih terkulai lemas di atas ranjang, ia mengambil ponsel di dalam saku dan mengetik satu pesan singkat di grup whataspp dan mengirimkan foto telanjang Felisha.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Dinda sukmadewi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku