/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
"Bodo amat sama komentar anda ya, yang suka nyelonong aja kerjaannya di wall orang. Yang jelas sekarang, saya sangat bahagia sama kehidupan saya. Yang jelas, di sini antara saya dan pasangan saya saat ini, nggak ada istilah dipaksa atau pemaksaan ya. Jodoh, maut, rezeki Tuhan yang ngatur bukan anda! soal hati nggak bisa dipaksakan dan nggak ada yang bisa ikut campur ya! Jadi, buat anda jadi manusia nggak usah sok suci ... jatuhnya kamu MUNAFIK!!! Paham...?"
Begitulah sebuah status yang terpampang di beranda ketika pagi ini aku membuka salah satu aplikasi yang populer di negeri ini. Diposting semalam dengan menandai sepuluh orang. Salah satunya adalah suamiku.
Postingan itu sudah disukai oleh hampir lima puluh orang dan komentar juga mendekati angka seratus. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semua itu. Aku memang tidak berteman dengan pemilik akun tersebut karena dia menandai orang-orang yang berteman denganku otomatis mampir juga ke berandaku.
Namun, jariku tak bisa berhenti sampai di situ. Jiwa kepoku melonjak-lonjak dan harus segera diikuti maunya. Aku pun berkelana di kolom komentar.
"Kata-kata mutiaranya indah banget, say."
"Hajar Bund."
"Jangan kasih kendor, Sist!"
"Wiiih, disuguhi cerpen untuk pengantar tidur."
"Orang kayak gitu mah jangan dibaik-baikin, nanti ngelunjak."
"Ada ya manusia model begitu?"
"Ih, julid banget tuh orang."
"Orang kayak gitu kudu dikasih pelajaran. Biar kapok!"
"Moga orang itu dapat hidayah, ya, jeng."
"Sabar, say. Pertahankan orang yang kamu cintai. Jangan dengerin orang-orang syirik."
"Berasa baca novel deh pagi-pagi."
"Bunda cantik ternyata bisa ngomel juga. Jangan diambil hati bun, orang syirik abaikan aja."
Begitulah rata-rata komentar yang bertebaran di sana. Memojokkan sosok 'anda' yang dimaksud pada postingan itu. Aku merasa miris, entah kenapa orang-orang cepat sekali menghujat padahal sebagian dari mereka tidak tahu apa yang mereka komentari.
Hampir semua komentar dibalas atau pun ditanggapi dengan stiker oleh si pemilik postingan. Bahkan pada beberapa komentar terjadi saling balas yang cukup banyak sehingga sedikit banyak terkuaklah beberapa hal yang seharusnya tidak dikonsumsi publik.
Aku sangat tahu bahwa postingan itu ditujukan padaku. Dan ini sudah untuk kesekian kalinya. Sepertinya memang sudah hobinya begitu, bikin status tandai beberapa orang kerabatnya kemudian mereka akan berkomentar beramai-ramai. Habis-habisan menyudutkan pihak yang berseberangan itu. Seolah-olah merekalah yang paling benar dan paling segalanya.
"Dasar keluarga norak, bar-bar, malu-maluin. Padahal semua komentar itu cocoknya untuk dia tapi nggak nyadar diri juga." Aku bergumam lalu menyimpan ponsel ke tempat yang aman karena sebentar lagi Hendi, suamiku yang juga sudah menjadi suami wanita itu akan datang ke sini. Pasti postingan itulah yang akan dibahasnya. Jika nanti berujung pertengkaran, jangan sampai ponselku menjadi korban lagi seperti beberapa waktu lalu. Secepat mungkin harus kuamankan.
Perkiraanku tepat, terdengar suara mesin kendaraan di luar. Tak lama seseorang mengucapkan salam. Aku segera keluar kamar dan kami berpapasan di ruang tengah.
"Kamu bikin gara-gara apalagi sama Nadia sampai-sampai dia buat postingan begitu?"
Tanpa basa-basi, Hendi langsung menodongku dengan pertanyaan itu.
"Ya kamu tanya aja sama istri barumu itu! Ngapain nanya aku?" jawabku sesantai mungkin. Padahal dalam hati aku sangat geram.
"Nadia tidak akan mungkin begitu kalau bukan kamu yang mancing-mancing!" Hendi sedikit meninggikan suaranya.
Aku tercengang, beberapa saat setelah itu aku pun berucap pelan dengan menyipitkan mata sebagai bentuk keherananku.
"Aku?"
/0/14636/coverorgin.jpg?v=888c69f49a2f856d33586726848ecbde&imageMogr2/format/webp)