icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CINTA SANG MAFIA : Kembali Mencinta

CINTA SANG MAFIA : Kembali Mencinta

SmallAngel

5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
46
Bab

Kesalahan serta pengkhianatan yang dialaminya tiga tahun lalu mengubah pribadi hangat William Ferdinand menjadi sosok dingin dan menyendiri. Dia membenci dan tidak pernah lagi percaya akan sebuah cinta, dan memilih terjun ke dalam dunia mafia. Shirley Smith, istri yang terpaksa dinikahinya di atas kertas kembali ke tanah air dan mendatanginya dengan segala sifatnya yang menggemaskan. Perlahan pribadi hangat William kembali, tetapi hanya ditujukan untuk Shirley seorang. "Shir, ganti pakaianmu. Aku tidak mengizinkanmu ke luar dengan pakai seperti itu!" "Shir, kamu dilarang berbicara dengan lelaki lain di belakangku!" "Shir, aku lebih suka kamu ke luar dengan dandananmu yang mengerikan itu!" Sikapnya yang dominan membuat Shirley memberenggut kesal. "Tuan William, anda sudah bersikap layaknya seorang suami!" William tertegun. Shirley tidak tahu jika mereka sudah menikah! Mohon maaf cerita ini tidak berlanjut, dan akan berlanjut di aplikasi Noveltoon!

Bab 1 PENYESALAN

"Tidak peduli apa pun keadaan kamu, aku janji akan menerima kamu apa adanya, Karina."

"Loe gila, tau nggak, Le! Emang loe udah tahu siapa dia sebenarnya? Keluarganya? Pekerjaannya? statusnya?"

"Kenapa loe lakuin ini ke gue?"

"Karena kamu bermarga Ferdinand. Ha ha ha! Kamulah penyebab mereka semua mati, Bule!"

Satu persatu kematian mereka mulai bermunculan di hadapannya. Baju tidur William sudah basah oleh keringat, sementara tubuhnya mengejang kesakitan.

"Apakah kamu masih merasa pantas hidup di dunia ini, Bule! Kamu penyebab kematian mereka!"

Kamu penyebab kematian mereka!

Kamu penyebab kematian mereka!

Pemuda blesteran itu menjerit, terbangun di tengah malam dengan kepala kesakitan. Perutnya bergejolak karena rasa mual. Dengan tubuh lemah dan tertatih dia pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.

***

Jika saja nyawa dapat dibeli setiap kesalahan pasti akan mudah untuk diperbaiki, hingga tiada lagi yang namanya penyesalan. Dan jika setiap orang mau berpikir berulang kali dalam melakukan sebuah tindakan, mungkin penyesalan itu tak akan pernah datang untuk menghantui. Namun, memang seperti itulah hakikatnya hidup di dunia ini. Kesalahan serta penyesalan sudah menjadi hal yang lumrah untuk terjadi.

William Ferdinand tak pernah lagi merasakan ketenangan itu setelah kesalahan yang terjadi tiga tahun lalu. Untuk yang kesekian kalinya selama tiga tahun terakhir, pemuda tampan berdarah Indo-Jerman tersebut tak pernah bisa tertidur dengan lelap. Dia selalu terbangun di tengah malam dengan napas tersengal-sengal dan keringat membasahi tubuh, karena mimpi buruk yang berkepanjangan. Rasa bersalah itu tak kunjung pergi meski berulang kali dia mencoba untuk berlapang dada dan menganggap semuanya sebagai takdir dari yang Mahakuasa.

William berdiri terpaku memandangi sebuah nisan bertuliskan nama 'Ananta Permana Ridho'. Satu-satunya teman serta orang terdekat yang terakhir kali dia miliki, tetapi juga harus pergi meninggalkannya, membuat William hidup sebatang kara. Ini adalah makam keempat yang dikunjunginya hari ini, setelah makan mamanya, saudara kandungnya dan mantan teman kerjanya.

William sebenarnya sudah lelah menyalahkan diri sendiri atas setiap kejadian yang telah merenggut nyawa mereka. Meski begitu perasaan bersalah itu rasanya tak mungkin bisa pergi. Dia merutuki kebodohannya yang terlalu impulsif dalam menjalin sebuah hubungan, hingga pada akhirnya harus berujung kehilangan.

Jika saja waktu dapat diputar kembali, jika saja dia tidak tergesa-gesa dan menyelidiki terlebih dahulu status dari wanita yang telah membuatnya jatuh cinta, mungkin saja saat ini Anan dan Algo masih berdiri dan tertawa bersamanya.

"Maaf."

Entah sudah berapa banyak kata yang berkecamuk dan ingin dia tumpahkan dari dalam kepalanya. Namun nyatanya hanya satu kata tersebut yang berhasil terucap dan memecah keheningan.

William meletakkan sebuket bunga di atas makam Anan, lalu mengusap batu nisan itu dengan lembut.

"Aku berjanji akan lebih sering menjengukmu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Tak ada yang pernah lebih disesalinya dari kehilangan seorang sahabat akibat ulahnya sendiri.

William berdiri dengan berat hati berbalik dan meninggalkan makam yang pagi itu terlihat sangat sepi.

Di sepanjang jalan pemakaman, ingatan William meraba-raba kembali pada kejadian tiga tahun lalu. Kejadian ceroboh karena keputusannya yang terlalu impulsif. Di mana dia jatuh cinta pada seorang wanita tanpa mengetahui jati dirinya, yang pada akhirnya menyeretnya pada sebuah petaka.

"Jika saja saat itu aku dapat mengontrol diri, apakah kehidupanku saat ini akan berbeda?" gumamnya dalam hati.

Mata biru jernih pemuda tampan itu menengadah pada langit-langit, menerawang kembali ke masa lalu.

***

🔪Tiga Tahun yang Lalu🔪

Kemerlip lampu ibukota menambah indahnya suasana jalanan kota K. Binar sang rembulan menyinari angkuhnya kegelapan malam. Seorang pemuda berdarah campuran tengah mengamati wanita cantik bertubuh mungil yang terlihat berjalan tergesa menuju sebuah ruang apartemen di mana dirinya berada. Pemuda itu bersembunyi di balik tembok, mengintip wanita yang saat ini sedang terpaku menatap sebuah kertas merah muda yang dilipat dengan rapi dan ditempel pada pintu apartemen tersebut.

Wanita bermata sayu itu tersenyum geli. Di jaman yang sudah secanggih ini, masih ada juga orang yang mau repot-repot menulis pada selembar kertas. Setengah ragu, jemari lentik itu terulur untuk mengambil dan membukanya secara perlahan. Mata sayu itu berbinar kala membaca setiap rangkaian aksara yang tersusun dengan begitu rapi dan juga indah. Sesekali dia tersenyum kecil, pancaran rasa haru terselip jelas dari sorot matanya.

Kata-kata puitis yang sudah bisa dia tebak siapa pemiliknya itu mampu menggetarkan lubuk hatinya. Dia terpejam, antara percaya dan tak percaya jika kata-kata itu memang sengaja dirangkai untuknya.

"Bolehkah aku terlalu berharap?" batinnya.

Wanita berparas sunda tersebut menggeleng pelan, lalu berdecak dengan kesal." Tidak mungkin kata-kata ini dirangkai untukku, bukan? Kamu hanya terlalu naif, Karina," lirihnya.

Sudut bibir William melengkung mendengar kalimat tersebut. Dengan langkah pelan dia berjalan mendekat, lalu berdehem padanya.

"Ekheem!"

Deheman itu dalam sekejap membuyarkan lamunan wanita bermata sayu tersebut. Dia berbalik dan tertegun saat melihat pemuda tampan yang sudah setahun ini dekat dengannya, dia tengah tersenyum manis padanya.

Karina menatapnya dengan sedikit linglung. Belum sepenuhnya percaya jika orang yang beberapa hari ini sering mengantarnya pulang, benar-benar tengah berdiri di hadapannya. Penulis aksara indah yang sedari tadi dipikirkannya itu berada tepat di depan mata.

"Will, kamu ...." Karina menghentikan ucapannya. Dia menggigit bibir bawahnya, menatap dengan canggung pada pemuda bertubuh tinggi tegap yang kini tengah berjalan menghampirinya.

Pemuda yang akrab disapa Bule oleh teman satu kostnya itu terkekeh melihat sikap canggung wanita yang baru saja membaca puisi miliknya. Puisi yang sebenarnya memang sengaja dia tempel di sana, hanya untuk mengejutkan wanita yang diam-diam menjadi dambaan hatinya.

Karina Larasati. Dialah satu-satunya wanita yang berhasil masuk dan mengusik kehidupan seorang William, hingga selalu hadir dalam mimpi indahnya dan merenggut semua ketenangan yang dia miliki.

Pertemuan yang cukup intens di restoran tempat William bekerja membuat keduanya tanpa sadar saling menyapa, saling memperhatikan hingga terlibat dalam keakraban dan akhirnya terjerumus dalam sebuah kata bernama asmara.

"Apakah ini yang dinamakan cinta sejati?" Karina berpikir.

"Itu memang untukmu, Karina," tegas William seakan telah memahami isi pikiran Karina.

Wanita itu tersenyum haru. Tak perlu bertanya kembali, dengan membaca dan menghayati setiap aksara yang telah dituliskan William untuknya, dia tentu paham sedalam mana perasaan pemuda tersebut terhadapnya.

"Tapi ... kenapa, Will? Kenapa harus aku?"

Dia penasaran. Dari sekian banyak wanita, kenapa bule tampan itu justru memilih dirinya?

"Semesta yang telah menjunjung rasa ini untukmu, Karina. Sang Hyang Widhi yang menuntun hatiku padamu."

Ada setetes embun yang tiba-tiba hadir dan tertahan di kedua pelupuk mata sayu Karina ketika mendengar jawaban dari William. Kata-kata asisten chef dari salah satu resto terkenal ibukota K itu berhasil membuat dadanya berdetak, seakan ada bunga-bunga yang tengah bermekaran di dalam sana.

Katakan bahwa saat ini dia tengah serakah. Meski ada rasa tak pantas yang seringkali hadir dalam diri Karina, nyatanya, untuk pertama kalinya dia benar-benar merasa sangat bahagia. Binar matanya tak mampu berbohong, ia menunjukkan itu semua.

William benar. Cinta bisa datang dan pergi tanpa permisi, pun hadir secara tiba-tiba tanpa pernah diminta. Seperti saat ini, seperti apa yang telah terjadi padanya meski dia tahu itu salah. Cinta mereka hadir di waktu yang tidak tepat.

Sayangnya, William tak menyadari itu semua.

"Aku harap, semua rasa ini dapat terbalas, Karina. Aku harap, perasaan rindu ini datang di waktu yang tepat."

Deg!

Sebuah rasa tak kasat mata yang seketika mencubit hati Karina kala menangkap kata-kata terakhir yang diucapkan oleh William.

Sekali lagi, pemuda itu benar. Cinta mereka datang di waktu yang kurang tepat.

Namun, melihat pemuda itu yang tiba-tiba membungkuk lalu menyerahkan sebuket bunga padanya layaknya seorang pangeran, Karina memilih untuk mengingkari logikanya.

Dia menginginkannya, sesuatu yang mungkin tak akan pernah datang untuk yang kedua kalinya.

"Will, kamu ...."

"Karina. Kita jadian, ya."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku