Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PENGAKUAN ANAKKU

PENGAKUAN ANAKKU

Ovi Fadila

5.0
Komentar
24.8K
Penayangan
43
Bab

Berbuat baik tidak selalu di balas dengan kebaikan, ada kalanya perbuatan baik malah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Seperti yang di rasakan oleh, Larissa. Seperti memberi air susu, di balas dengan air comberan.

Bab 1 01 - Tak Bermoral.

"Dila juga pernah lihat, Ayah mimik susu sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan Mah?" ucap polos, anakku.

----

"Kenapa tidak kamu suruh saja, Hella tinggal disini." ucapan Mas Rudi--suamiku menghentikan aktifitas, yang sedang memasukan buah-buahan segar kedalam plastik.

"Mas tidak keberatan?" tanyaku memastikan.

"Tidaklah, dia kan Adikmu." jawabnya santai diiringi senyum manis khasnya. "Dari pada setiap bulan kamu repot meski bulak-balik kerumahnya, lebih baik dia tinggal disini. Sekalian jaga Dila, rumah pun jadi ramai." tambahnya.

Aku bergeming sesaat, mencerna kata-kata Mas Rudi.

"Dila juga jadi ada teman main, Hamdan pasti senang tinggal disini." tambahnya.

"Iya, nanti aku coba tanya sama Hella. Dia mau tidak tinggal bersama kita." jawabku gamang.

"Aku cuma kasihan sama kamu, sudah enam bulan ini kamu membantu keuangan Adikmu. Belum lagi bayaran kontrkan, kalau Hella dan anaknya tinggal disini kamu tidak perlu pusing memikirkan kontrakan mereka."

Hati menyetujui ucapan Mas Rudi, meski sebenarnya aku tidak keberatan membantu Hella. Toh Hella Adikku, meski tidak kandung.

"Ya sudah, nanti pulang kerja aku langsung ketempat Hella." sahutku sambil meneruskan memasukan buah, mengikat ujung plastik dan membawanya kedalam mobil.

Sebelum berangkat aku kembali memasuki kamar, menengok Dila anak perempuanku yang berusia lima tahun.

"Mamah kerja dulu ya, sayang." bisikku lembut lalu mencim pucuk kepalanya. Dila sedikit bergeliat, lalu kembali terlelap dalam tidurnya.

"Bik Narti, Dila masih tidur. Uang jajan aku taruh ditempat biasa ya." ucapku ramah pada perempuan setengah abad asisten keluarga, yang sedang sibuk menyapu lantai.

"Baik, Neng." jawabnya sambil tersenyum.

"Yah, aku jalan duluan ya. Ada metting pagi soalnya." ucapku seraya meraih tangannya dan mencium dengan takzim.

"Iya, Mah. Ayah mau sarapan dulu. Hati-hati ya," sahutnya seraya melempar senyum.

Namaku Larisa, aku bekerja sebagai salah satu staff di Mall besar yang ada di kota ini. Aku sudah bekerja sejak masih gadis, bahkan sebelum mengenal Mas Rudi. Sayang jika harus keluar bekerja, disaat karirku sedang bagus-bagusnya.

Sementara Mas Rudi, dia bekerja sebagai operator pabrik otomotip dengan gaji yang lumayan.

Sepulang dari memeras keringat aku langsung melajukan kendaraan menuju kontrakan Hella, dia terlonjak senang saat membuka pintu dan menemukan kehadiranku.

"Mbak Risa," Hella melepas Hamdan yang ada didalam gendongan, menaruh bocah mungil itu diatas kasur lantai, lalu memelukku dengan erat.

"Maaf aku selalu merepotkanmu, Mbak." ucapnya lirih. Perempuan berparas Ayu itu menundukan wajah, gurat kesedihan nampak jelas diwajahnya.

"Aku mau pulang kerumah Ibu saja, Mbak. Usaha online ku tidak ada kemajuan. Tabungan sudah sangat menipis. Aku tidak mau terus-terusan menjadi beban untukmu." ucapnya pelan namun sangat jelas.

"Suttt! Kamu bicara apa sih, aku datang bukannya disuruh duduk dikasih minum, malah bicara yang tidak-tidak." ucapku lembut sambil mengusap pundaknya.

"Duduk, Mbak." Hella berjalan lemas menuju sofa, mengambil boneka mobil dan menaruhnya didepan Hamdan.

"Hamdan sudah bisa jalan, La?" tanyaku. Hella menggeleng lemah, tangannya mengusap lembut kepala plontos Hamdan.

"Padahal sudah delapan belas bulan. Tapi masih takut jalan, masih merambat-rambat saja megangi tembok." jawab Hella.

"Sabarlah, nanti juga jalan. Anakkan beda-beda pertumbuhannya." sahutku.

"Ini, Mbak bawa buah," aku meletakan plastik buah diatas meja.

Aku menatap sendu wajah Hella yang tiada bersemangat. Diusianya yang masih muda, dia harus menanggung beban yang menurutku lumayan berat. Diusia yang ke dua puluh lima tahun harus menyandang status sebagai janda. Suaminya Fajar, meninggal Dunia dalam kecelakaan mobil sepuluh bulan yang lalu.

"Hidup tanpa suami berat ya, Mbak." keluhnya.

"Aku tidak sanggup, terus-terusan hidup seperti ini, Mbak." sambungnya sendu. "Apa aku pulang kerumah Ibuku saja ya, Mbak?" wajahnya mendongkak kearahku.

Aku menggeleng pelan, senyum simpul tersemat dibibirku.

Bukan niat untuk melarang, hanya saja pulang kerumah Ibu yang Hella maksud bukan pilihan yang tepat. Mengingat disana, kehidupan Ibunya juga terbilang lebih memprihatinkan.

Hella diurus oleh kedua orangtuaku saat dia berusia delapan tahun, saat itu Ibu Hella yang sedang mengandung besar tengah memukuli Hella dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas.

"Dasar bocah edan. Jajan terus fikirannya! Tidak tahu orang tua lagi pusing, hah!" pukulan kembali melayang, suara jerit tangis Hella menggugah perempuan yang sudah melahirkanku.

Mamah datang dan melerai, memeluk tubuh kecil Hella untuk menghalangi pukulan yang akan mendarat ditubuhnya.

Keluarga Hella bisa dibilang kurang mampu, Bapaknya hanya penjual agar dan mainan anak-anak dengan keuntungan seribu perak. Sementara Kakak dan Adik-Adik Hella begitu banyak. Terhitung ada tujuh dengan yang dikandung Ibunya saat itu.

Berbekal selembar kertas dan materai yang sudah diisi dengan perjanjian dan tanda tangan, akhirnya Mamah dan Bapak membawa Hella pulang kedalam rumah kami setelah memberi beberapa lembar uang, tentu saja pada keluarga Hella.

Saat ini kedua orangtuaku sudah tiada. Hanya Hella satu-satunya keluarga yang aku punya, jadi mana mungkin aku membiarkannya hidup susah. Sebisa mungkin, jika bisa aku akan membantunya.

Aku biarkan Hella menangis, melepas lelah hati yang mungkin tersimpan dengan rapih didalam lubuk hatinya. Setelah dia mulai tenang, perlahan aku mulai membicarakan maksud tujuanku untuk membawanya tinggal dirumah bersama keluarga kecilku.

"Gimana dengan, Mas Rudi? Apa tidak keberatan?" tanya Hella setelah mengusap jejak air mata dipipinya.

"Mas Rudi tidak masalah, Mbak juga tidak memaksa kamu. Kalau kamu memang mau pulang kerumah Ibumu, Mbak tidak bisa mencegah." ucapku kemudian.

Setelah berfikir beberapa saat, akhirnya Hella mau ikut denganku. Mungkin memang tidak ada pilihan, meningat dia terbiasa hidup dalam kemudahan. Karna di Kampung, belum tentu dia bisa hidup seperti disini.

Dua koper besar masuk kedalam garasi mobil, Hamdan berceloteh riang saat mobil melaju membelah jalan.

"Trimakasih, Mbak. Mbak memang malaikat penolongku," ucap Hella dengan mata berbinar-binar penuh keharuan.

"Ya." jawabku singkat. Karna memang aku orang yang tidak banyak bicara.

"Wah ... ada Dedek Hamdan!" seru Dila, sangat antusias melihat Hella yang menggendong Hamdan kedalam rumah.

"Hamdan mau nginep disini, Mah?" tanya Dila saat melihat aku menurunkan koper dari bagasi.

"Iya sayang. Suka tidak?"

"Sukaaa." jawabnya riang, lalu menuntun masuk Hella beserta anaknya.

Benar ucapan Mas Rudi, suasana rumah menjadi lebih ramai. Gelak tawa dan celoteh Hamdan membuat rumah ini semakin hidup.

***Ofd

"Kamu tidak mau nambah anak, Mah?" tanya Mas Rudi saat kami selesai menuntaskan hasrat.

"Mm ... nanti dululah, Yah. Dila juga masih kecil," jawabku sambil menarik selimut lalu memejamkan mata.

Tak terasa sudah tiga bulan Hella dan anaknya tinggal dirumah, Hella selalu bersikap baik kepada anak dan suamiku.

"Mah, apa tidak sebaiknya Bik Narti diliburkan saja?" Mas Rudi bicara saat dia keluar dari toilet, handuk melilit dibagian bawah pusar membuat dada kekarnya terlihat dengan jelas. Aroma sabun menguar saat dia berjalan melewatiku. Sexy.

"Kenapa, kok diliburkan?" tanyaku.

"Ya menurut, Mas. Sudah ada Hella dirumah ini. Dia pandai mengurus rumah dan menjaga Dila. Lumayan kan, uang gaji Bik Narti bisa kamu tabung?" jawabnya sambil mengambil kaus dari dalam lemari dan memakainya.

"Kasihanlah si Hella, dia juga repot ngurus Hamdan." sahutku.

"Ya itu sih terserah Mamah, aku hanya menyarankan. Ayah lihat juga setiap hari Hella yang masak." jawabnya.

Aku mengerenyit, pasalnya hanya beberapa kali saja Hella membantu Bik Narti.

Mas Rudi menjatuhkan bobot disampingku, menoleh dengan senyum manis seperti biasa.

Ekor mataku tak sengaja menangkap tanda merah yang ada dilehernya, meski samar aku bisa pastikan tanda merah itu adalah tanda ...

Tiba-tiba hatiku berdesir, karna aku sama sekali tidak pernah melakukan hal itu pada Mas Rudi.

"Lehermu kenapa?" tanyaku dengan wajah serius. Mas Rudi yang tadi melebarkan senyum, wajahnya berubah datar lalu dia bangkit dan melangkah menuju lemari.

"Eh, kenapa ya? Paling digigit semut, Mah." ucapnya setelah melihat pantulan dirinya didalam cermin.

"Semut?" ucapku ragu.

"Iya. Kemarin aku habis nyiram tanaman. Mungkin semut atau nyamuk, terus aku garuk-garuk jadi merah." sahutnya sedikit gugup.

"Oh ..." aku melangkah mendekat kearahnya. Saat ingin memegang lehernya, Mas Rudi sedikit menghindar.

Dada berdebar hebat, jelas ini bukan gigitan serangga. Aku tahu betul. Tidak ada tanda bekas gigitan. Biasanya ada lentingan kecil khas digigit semut. Ini tanda ... Ah! Kepala pusing memikirkannya.

Apa Mas Rudi bermain gila dibelakangku?

Saat aku ingin menyentuh lehernya, suara ketukan pintu terdengar dari luar disusul suara Dila yang memanggil namaku.

"Mah ... sarapan sudah siap. Ayok makan," ucap bocah manis itu.

"Iya, sayang." Mas Rudi lalu berjalan menuju pintu. Aku masih mematung melihat punggung belakang Mas Rudi keluar dari pintu.

"Silahkan, Neng." Bik Narti menaruh segelas teh hangat didepanku. Wajah Bik Nar terlihat tegang, sesekali dia melirik pada Hella dan Mas Rudi ragu-ragu.

Hella terlihat mendelikkan mata, saat aku menoleh kearahnya dia langsung tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya, lalu menyeruput pelan isi didalam gelas.

Ada apa sih. Kenapa aku jadi tidak nyaman begini. Aishh ... mungkin hanya perasaanku saja.

"Mah, aku duluan ya. Sudah ditunggu sama Tony." Mas Rudi bangkit dari kursi, meneguk sisa kopinya lalu beranjak meninggalkan meja makan.

"Enak tidak, Mbak nasi gorengnya?" tanya Hella dengan suara riang.

"Eh enak." ucapku sambil memasukan satu sendok nasi goreng kedalam mulut. Hella tersenyum penuh semangat, tapi entah mengapa dimataku dia seperti sedang menertawakanku.

***Ofd.

"Mah emang Ayah bisa pijit ya?" tanya Dila saat aku menemaninya memakai pakaian.

"Ah tidak juga, emang kenapa Dil?" sahutku, sambil menyapukan bedak bayi diwajahnya.

"Ayah sering masuk kedalam kamar Tante Hella." gerakan tangan langsung berhenti, jantungku berdegup kencang mendengar ucapan Dila.

"Ayah bilang badan Tante pegal-pegal jadi Ayah bantu pijit." jawab bocah polos didepanku.

"Di-la lihat sendiri, Ayah mijit Tante?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Tidak. Ayah selalu mengunci pintu dari dalam. Kasihan ya Tante Hella, sampai teriak-teriak setiap kali Ayah pijit badannya."

Hatiku memanas, kepala seolah terbakar mendengar pengakuan Dila.

Belum lagi aku menormalkan detak jantung, pengakuan Dila membuat nafasku tercekat kehabisan oksigen.

"Dila juga pernah lihat, Ayah mimik s*su sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan, Mah?"

***Ofd.

Next?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku