Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Senyum Itu Luka

Senyum Itu Luka

Ciety Ameyzha

5.0
Komentar
756
Penayangan
116
Bab

Kesalahan yang membuat Kamila terusir dari rumah. Mengalami defresi dan menanggung beban sendiri. Di puncak defresinya, ia bertekad mengakhiri hidup. Namun, seorang lelaki datang dan menolongnya. Dua tahun berlalu, segala penderitaan berakhir. Kamila hidup dengan jalurnya sendiri. Mengekspresikan perasaan lewat dunia baking dan menyuguhkan rasa cinta di setiap kue buatannya. Tak disangka semesta mempertemukannya kembali dengan Arga, lelaki penolong di masalalu. Mereka disatukan dengan cara yang sangat memalukan. Bagaimanakah kisah mereka ke depannya?

Bab 1 Bertemu

“Dasar anak tidak berguna!” Sebuah cambukkan mengenai punggung Kamila.

“Cari uang yang banyak, bukannya main!”

Lagi-lagi cambukkan itu Kamila rasakan dari tangan seorang lelaki berstatus Ayah Kandung.

“Maaf, Yah,” ujar Kamila dengan wajah tertunduk dan duduk lesu di atas lantai.

Pak Angga –Ayah Kandung Nina—mengangkat wajah anaknya. Mencekik dengan kencang, sehingga sang Anak sulit mengambil napas. “Lo, itu dilahirkan buat cari uang! Bukan buat main-main nggak jelas!”

Bu Lesti menangis di atas kursi roda. Tak bisa berbuat apa-apa saat anak semata wayangnya disiksa sang Suami.

“I-iya, Ayah.” Kamila hampir kehilangan napas. Cekikan ini terasa kuat untuknya. Untung saja sang Ayah hanya melakukan penyiksaan itu sebentar. Begitu terlepas, ia langsung menghirup udara dengan rakus.

Telunjuk kanan Pak Angga menuding. "Awas, kalau gue lihat lo lagi main! Jangan harap gue lepasin, lo!"

Kamila mengangguk pelan. "Baik, Ayah."

"Mana duit? Gue butuh buat minum malam ini."

"Aku nggak ada uang, Yah."

"Halah, bohong!" Pak Angga merogoh saku baju anaknya. Menemukan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Katanya nggak ada uang! Ini apa? Daun!"

Kamila tersentak. Berusaha merebut uang sisa yang dimilikinya. "Jangan, Yah. Itu buat beli obat Ibu hari ini." Tangannya berusaha menggapai. Akan tetapi, karena tenaganya tak bagus. Ia kalah.

Pak Angga kembali mencambuk punggung Kamila, lalu pergi dengan membawa uang yang didapatkannya.

Tangis Kamila pecah disaksikan sang Ibu Kandung yang duduk di kursi roda karena lumpuh. Ia berusaha kuat. Menahan semua tekanan batin ini asalkan ayahnya tidak menyiksa sang Ibu.

"Sayang, maafin Ayahmu," kata Bu Lesti. Setetes air mata yang keluar dari netra Bu Lesti berubah menjadi deras. Setiap hari penyiksaan ini berlangsung dan sudah hampir setahun. "Kamu yang kuat, Nak."

Dada Kamila sesak. Rasa sakit di punggung sudah bukan hal luar biasa. Bahkan seluruh badannya pun dipenuhi luka.

Bu Lesti mendorong kursi rodanya. Menghampiri Kamila dan menyentuh pucuk kepala sang Anak. "Nak, kalau kamu nggak kuat. Tinggalkan Ibu aja. Ibu, in syaa Allah bisa bertahan."

Kamila menggelengkan kepala. Ia tak boleh menyerah. Gadis itu mengangkat kepala, menatap netra ibunya yang basah karena air mata. "Aku nggak mungkin tinggalin, Ibu. Sampai kapan pun, aku bakal ada di sisi Ibu. Maaf, belum bisa bawa Ibu pergi dari sini. Kerja sampinganku cuma cukup untuk bayar kuliah dan biaya obat."

Hati Ibu mana yang tak teriris tipis menyaksikan anaknya sendiri terluka dan berjuang sendiri. Lelahnya bekerja dan belajar tidak dapat sambutan baik di rumah. Kamila justru disuguhkan penyiksaan yang luar biasa.

Bu Lesti memegang kedua tangan anaknya. Menyatukannya dengan lembut. "Ibu, berdoa semoga hidupmu kelak bahagia. Bisa bertemu laki-laki baik yang menjagamu. Jaga diri baik-baik, Sayang. Kamu wanita berharga."

Kamila mengangguk pelan. Ia menyembunyikan wajah sendunya di pangkuan sang Ibu. Melepas jerit tangis dan meluapkan sakit di sekujur tubuhnya.

Hari-hari berlalu dilewati Kamila seperti biasa. Kuliah, bekerja di minimarket sampai jam delapan malam, dan pulang dengan perasaan was-was.

Tak jarang ia pun harus sarapan dengan pukulan dari sang Ayah yang baru saja pulang minum dengan teman-temannya.

"Mana makanannya?" Pak Angga melempar tudung saji yang berada di meja. Pasalnya, ia tidak melihat satu butir nasi pun di meja itu. "Kamila!"

Teriakan itu membuat Kamila yang sedang mengganti pakaian Bu Lesti terpaksa harus berhenti. Ia keluar kamar, mengayunkan langkah ke arah dapur dan melihat sang Ayah yang tak bisa mengendalikan emos

"Ayah," kata Kamila.

Gadis itu hendak mengambil tudung saji, tetapi ayahnya lebih dahulu menangkap tangan kanannya. Mencengkram kencang.

"Di mana makanannya? Lo, ngapain aja di rumah?" tanya Si Ayah. Sorot matanya tajam dan penuh kemarahan. "Dasar, Anak Nggak Becus!" Pak Angga menghempaskan tubuh Kamila ke tembok.

"Aw, sakit!" Kamila merasakan kepalanya membentur tembok. Rasa pusing pun mulai terasa.

Dengan berjalan sempoyongan Pak Angga mendekati Kamila. Menarik kembali lengan kiri anak gadisnya itu, dan berkata, "Kerjaan Lo apa di rumah ini?"

Kamila ketakutan. Rasanya sulit sekali mengambil napas.

"Ma-maaf, Yah," jawab Kamila.

Pak Angga kali ini membenturkan kening Kamila ke tembok. Mengamuk tak jelas. Pergi keluar dengan keadaan mabuk.

Setiap hari fase ini yang selalu dilewati. Dinikmati Kamila sebagai sarapan maupun makan malam. Menyedihkan bukan?

Kamila menguatkan diri. Balik ke kamar untuk menyelesaikan kegiatannya sebelum pergi bekerja ke minimarket.

Semua selesai. Kamila mendudukan ibunya di kursi roda. Memandangi wajah Beliau dengan sangat lekat. "Bu, Kamila berangkat kerja dulu, ya. Ibu, jaga diri. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Hati-hati di jalan, Nak."

Dengan restu sang Ibu, Kamila pun berangkat bekerja. Upahnya memang tidak seberapa. Hanya saja saat ini pekerjaan tersebut yang bisa ia lakukan. Terkadang ia pun membawa gosokan tetangga ke rumah. Lumayan.

Kamila berjalan kaki dari rumah yang kecil itu. Menapaki jalanan kampung. Ya, dia hanya gadis kampung yang tidak jauh dari hiruk pikuk kota.

Untuk menuju jalan raya, ia perlu berjalan kaki sekitar delapan menit saja. Dari sanalah ia akan menaiki angkutan umum agar bisa sampai ke toko tempatnya bekerja.

Cuaca pagi hari ini terbilang cukup cerah. Kamila berjalan dengan tenang ke arah jalan raya. Hanya tinggal setengah kilo meter lagi. Sebentar. Tidak akan terasa.

Begitu sampai di dekat jalan raya. Kamila juga perlu menunggu kembali dengan sabar. Angkutan umum biasanya sangat penuh di pagi hari. Wajar saja.

"Semoga aja nggak telat," gumam Kamila.

Tiba-tiba sebuah motor hilang kendali menuju ke arah Kamila. Beruntung netra Kamila melihat, ia mundur cepat ke belakang untuk menghindari tabrakan. Lalu, pengendara motor itu terjatuh bersamaan dengan kendaraannya.

Kamila terkejut sekaligus histeris. Ia berlarian menghampiri. Melihat keadaan si Pengendara yang tergeletak.

"Mas, mas, bangun!" ujar Kamila mencoba menyadarkan. Tak ada reaksi. Kamila melihar sekitar. "Tolong! Ada kecelakaan, Tolong!"

Tidak berapa lama ada sebuah angkutan umum yang lewat. Supirnya berhenti dan keluar.

"Tolong, Pak. Mas-nya nggak sadar," kata Nina dengan khawatir.

"Bawa ke rumah sakit aja, Mbak. Saya yang antar," ujar si Supir.

Kamila setuju. Mereka menggotong tubuh lelaki muda itu ke dalam angkutan umum yang ternyata ada dua orang.

Singkat cerita, Kamila ikut ke rumah sakit. Ia tak mengenal siapa lelaki ini. Namun, rasa kemanusiaannya tentu berfungsi dengan baik.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit terdekat. Supir tadi pamit. Kamila tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Sebab, pihak rumah sakit belum mengetahui keluarga korban. Terpaksalah ia menunggu. Sebelum itu, ia mengirimkan pesan pada rekan kerjanya.

Si lelaki mendapatkan perawatan di ruangan Unit Gawat Darurat. Sudah sadar juga dan bisa diajak komunikasi. Kamila lega.

"Kamu yang antar aku ke sini? Terima kasih," kata si Lelaki.

Kamila mengangguk pelan. "Iya, Mas. Sama-sama."

Pandangan si Lelaki tidak beranjak satu detik pun dari Kamila. Wajah Kamila memikatnya pada pandangan pertama. "Apa boleh minta nomor ponselnya? Kalau boleh."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku