Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Stempel Miskin untuk Keluargaku

Stempel Miskin untuk Keluargaku

sadzia

5.0
Komentar
538
Penayangan
10
Bab

“Bayar dulu hutang-hutang yang kemarin! Baru emak bisa belanja lagi disini.” Hatiku terkejut mendengar seseorang menghujat emak. Empat tahun tidak pulang ternyata begitu banyak rahasia yang disimpan rapat keluargaku. Tidak hanya dari warga, pun dengan keluarga dekat ku sendiri. Miskin? Jika hanya dilihat dari harta siapapun pasti bisa menilai kami orang tak punya. Rahasia lain, ternyata bapak memiliki sebidang tanah. Benarkah? Bisakah aku membuktikan jika dengan kaya ‘hati’, semua bisa kami miliki agar tidak pernah dipandang sebelah mata lagi oleh mereka.

Bab 1 Pulang Kampung

“Bang, bolehkah Nia pulang? Menemani Bapak dan Emak di kampung?” tanyaku. Kutatap lekat wajah bang Ilham, abang kandungku, yang tengah menyesap kopi hitamnya, yang terkejut mendengar permintaanku.

“Ke ...kenapa, Dek?” ujarnya terbata.

“Alhamdulillah, Nia sebentar lagi akan wisuda. Nia ingin membahagiakan bapak dan emak, Bang,”

Sudah empat tahun aku mengikuti laki-laki berbadan tegap yang duduk di depanku ini. Sejak meninggalnya kak Intan, istrinya, yang meninggalkan Bela, keponakanku yang saat itu masih berusia delapan tahun. Bang Ilham meminta izin pada bapak dan emak, agar aku bisa menemani Bela yang saat itu masih sedih atas kehilangan ibunya. Sejak saat itulah, aku mulai tinggal dengan bang Ilham dan Bela, jauh meninggalkan bapak dan emak, dan adik bungsu kami, Taufik.

Bang ilham mengalihkan pandangannya dariku, ditatapnya langit malam, desahan nafas panjangnya terdengar.

“Abang paham, Dek. Mungkin memang ini saatnya, kamu pulang,” ucapnya, tanpa sekalipun memandangku.

Bang Ilham hanyalah karyawan kantor biasa, Alhamdulillah, dengan gaji tidak seberapa, mampu menguliahkanku. Jatuh bangun kami lalui bersama, bang Ilham tetap bersikeras untuk tetap menguliahkanku. Akhirnya, aku bekerja sampingan, dengan membuka jasa les privat di rumah, bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kapan rencana kamu pulang, Dek?”

“Setelah acara wisuda, Bang. Tepatnya dua hari setelah acara, Nia juga sudah pesan tiket Bus,” kuputar-putar sendok yang ada di dalam gelas.

Helaan nafas Bang Ilham makin jelas terdengar. Ya, keputusan untuk pulang ke kampung memang sudah lama aku rencanakan, dan baru saat ini aku memberitahukannya kepada bang Ilham.

“Bela juga sebentar lagi akan melanjutkan sekolahnya ke pesantren, Dek. Jadi, Abang ditinggal sendiri nih, ya,” ujarnya terkekeh, menunjukkan lesung pipit di pipi kanannya.

“Apa rencana kamu di kampung, Dek?”

“Nia sudah tanya teman-teman disana, Bang. Alhamdulillah, sekolah dasar yang ada di kampung sebelah menerima tenaga pengajar. Nia juga sudah mendaftarkan diri,” ujarku lancar.

“Alhamdulillah, pergunakan ilmu yang kamu dapat disini sebaik-baiknya ya, Dek. Jangan mengharap pamrih, kerjakan dengan ikhlas. Insyaallah, Allah akan memberi lebih,” diusapnya pucuk kepalaku, ada setetes air mata di ujung mata bang Ilham. Ah, kupeluk erat bang Ilham, tangisku pecah.

“Maafkan Nia, Bang,” ujarku

“Sudah, sudah. Abang juga minta maaf, pulanglah. Abang ikhlas,” dipeluknya tubuhku erat. Perpisahan ini bukanlah yang kupinta, entah mengapa perasaanku tidak enak beberapa hari ini. Kemarin malam, aku juga bermimpi, bertemu bapak dan emak yang memakai baju putih. Hal ini tidak pernah kuceritakan pada siapapun, termasuk bang Ilham, karena takut akan membuatnya khawatir.

***

Alhamdulillah, hari ini acara wisuda dilaksanakan. Kulihat bang Ilham sudah siap, ketampanannya bertambah dengan setelah yang dikenakannya. Bela juga sudah selesai menggunakan jilbab panjangnya.

'Kata umi, perempuan itu berdosa, kalau tidak menutup rambutnya, Bunda,' ujarnya waktu itu, padahal usianya masih sembilan tahun.

“Bunda cantik,” ujarnya mengagetkanku.

“Ponakan Tante, yang lebih cantik,” ku cubit pipi tembemnya.

“Ayo, kita berangkat, mobilnya sudah datang, tuh,” ujar bang Ilham.

Kugenggam tangan Bela menuju mobil yang telah dipesan bang Ilham sebelumnya. Pagi tadi, sempat ku hubungi bapak dan emak via telepon, mengabarkan bahwa hari ini aku wisuda. Emak menangis bahagia, namun wajahnya tidak terlihat, karena keluargaku di kampung belum ada gawai buatan cina yang bisa menampilkan wajah seseorang.

Alhamdulillah, acara wisudaku selesai, didampingi oleh bang Ilham untuk menerima ijazah. Kebahagiaanku bertambah, karena mendapatkan predikat cumlaude.

***

“Kalau sudah sampai, kabari Abang ya, Dek,” kusalami takzim tangan bang Ilham. Kami sudah berada di terminal, kebisingan kendaraan yang hilir mudik dan hiruk pikuk manusia tidak menghalangi air mataku jatuh.

“Terus beri kabar, ya. Abang tidak bisa mengantar kamu pulang,” ujarnya haru.

“Iya, Bang,”

Kunaiki bus yang sudah memberikan tanda akan segera berangkat. Enam belas jam perjalanan sampai di kabupaten, ditambah dua jam perjalanan lagi untuk sampai di kampung Asri, kampung kelahiranku.

“Assalamu’alaikum,” kulambaikan tangan ketika sudah berada di pintu bus.

“Wa’alaikumsalam,” ujarnya, dengan cepat bang Ilham menghapus jejak air matanya.

***

Beberapa saat lagi, bus akan sampai di kabupaten. Kubuka gawai yang ada di tas kecilku.

Tuut

Tuut

Kuhubungi Taufik, untuk menjemputku di terminal. Tanpa sepengetahuan bapak dan emak, aku berencana untuk memberikan surprise dengan kepulanganku.

“Halo, Kak. Taufik udah di terminal, Kak Nia udah dimana?” ucap Taufik, begitu telepon tersambung.

“Sebentar lagi, Fik. Mungkin beberapa menit lagi,” jawabku.

“Oke, kak,” telepon dimatikan begitu saja olehnya.

Ah, kupandangi jalan yang dilalui, begitu banyak perubahan yang terjadi. Selama empat tahun, tidak pernah sekalipun aku pulang, bukan karena tidak mau. Tapi aku paham bagaimana keuangan bang Ilham, sedikit banyaknya aku tidak mau membebaninya.

‘Nduk, kita itu orang susah. Walaupun kita susah harta, tapi kita tidak boleh susah hati. Allah maha kaya, Allah tahu mana yang baik untuk kita. Jika kita kaya hati, insyaallah kita bahagia,’ ucapan bapak mengingatkanku ketika akan melepaskanku pergi.

Bus berhenti, kulangkahkan kaki keluar dari bus, seraya sopir menuruni beberapa barang, kuhubungi kembali Taufik.

“Dek, dimana? Kakak sudah sampai,” belum ada jawaban dari ujung telepon, tiba-tiba seorang pria tinggi bertopi meraih tas yang ada di depanku.

“Hei, siapa kamu?” kutarik ujung bajunya kuat.

“Tadaaaa ... Kak Nia, ini Taufik,” ujarnya.

“Taufik?”

Diraih dan diciumnya punggung tanganku. Laki-laki yang kini lebih tinggi dariku itu, membawa beberapa barang bawaanku menuju kereta roda dua tua milik bapak. Roda dua yang sudah sering turun mesin itu masih setia dengan keluargaku.

Taufik menata barang bawaanku, kupandangi adikku satu-satunya itu. Tahun ini, seharusnya ia akan melanjutkan ke perguruan tinggi.

‘Lihat nanti gimananya, Bang,’ jawabnya, ketika aku dan bang Ilham menanyakannya setelah menerima ijazah sekolah menengah atasnya.

Roda dua bapak melaju pelan, kalau dipaksakan nanti batuk kak, ujar Taufik ketika kutanyakan mengapa ia membawanya sangat santai sekali. Perjalanan yang kurindukan, menikmati ciptaanNya gunung-gunung dan sawah terlihat di sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba terlihat mobil sedan berwarna merah yang ada di belakang kendaraanku, membunyikan klakson nya secara barbar.

“Dek, mobil itu kenapa?” tanyaku sedikit teriak, agar Taufik bisa mendengarnya.

Taufik melirik ke kaca spion yang sudah sedikit retak dan mulai melambatkan kendaraan.

“Heh, Taufik,” teriak seorang perempuan muda turun dari mobil tersebut, setelah menyalip kendaraan kami.

“Gak usah belagu ya. Udah dibilangin, kalau kamu tu ga pantas dapat beasiswa itu,”

Aku hanya bisa melongo, memperhatikan perempuan tersebut marah-marah sambil berkacak pinggang. Apa yang terjadi? siapa wanita ini? beasiswa?.

“Ayo, Kak. Naik, kita pulang,” ucap Taufik membuyarkan lamunanku.

Segera kunaiki kembali roda dua bapak, Taufik segera tancap gas.

“Hei, orang miskin. Jangan belagu ya,” teriak wanita tersebut tanpa henti.

Kuperhatikan wanita itu yang makin lama semakin jauh, wajahnya seperti tidak asing, kucoba untuk mengingatnya, tetapi nihil. Ah, mungkin nanti saja kutanyakan dengan Taufik, apa hubungannya dengan wanita muda tersebut.

***

Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat rumah dengan atap seng yang sudah mulai berkarat, pintu rumah kecil tempat aku dilahirkan itu terlihat terbuka. Taufik membelokkan kendaraan ke halaman rumah, belum sempat aku turun, terdengar suara bapak dari dalam.

“Bukankah, kami layak mendapatkan bantuan tersebut, Pak?” suara bapak terdengar begitu lembut, suara yang selalu kurindukan.

“Sudah saya bilang berapa kali, Pak Arman. Bapak tidak bisa mengajukan bantuan tersebut,” ujar seorang laki-laki lain terdengar marah.

“Tapi, Pak ...?”

“Saya tidak akan mengajukannya, permisi,”

Seorang laki-laki berpakaian rapi, mengenakan celana kain dan baju batik keluar dengan wajah marahnya. Kuanggukan kepala ketika ia melewatiku.

“Miskin, belagu lagi,” ucapnya ketus, terdengar ditelingaku.

Apalagi ini, siapa pria ini, apa maksud ucapannya. Ini juga akan kutanyakan nanti dengan bapak dan emak.

“Assalamu’alaikum,” ucapku. Bergegas kulangkahkan kakiku masuk, bapak dan emak terkejut melihatku. Kupeluk emak yang duduk di dipan ruang tamu, air mataku membasahi kerudung emak, begitupun emak, diciumnya pipiku berkali-kali.

“Anak gadis emak, udah pulang,” ucapnya sambil terus menciumi pipiku.

“Kok ga bilang-bilang, kamu mau pulang, Nduk,” ucap bapak, kulirik bapak, matanya memerah, bukan karena marah, tapi ada jejak air mata di pipinya.

“Mau buat kejutan, untuk Bapak dan Emak,” sahut Taufik yang muncul di depan pintu sambil membawa barang bawaanku.

“Hehehe, iya Pak,” kuhampiri bapak, memeluknya erat. Bau keringatnya pun selalu kurindukan, wajah yang tidak lagi muda, kulit bapak sudah mulai berkerut di wajah dan tangannya.

“Bapak dan Emak, sehat?" tanyaku,

"Alhamdulillah, sehat Nduk," ucap Ibu.

"Yowes, kamu istirahat dulu. Emak mau ke kedai Mbok Inah dulu, ya. Mau belanja banyak, terus masak enak," seru Ibu seraya bangkit dari duduknya.

"Nia juga ikut ya, Mak," kupeluk lengan emak seraya berjalan keluar rumah.

Kedai Mbok Inah tidak terlalu jauh dari rumahku, dengan berjalan santai saja, cukup memakan waktu lima belas menit. Di sepanjang perjalanan aku selalu bercerita tentang kegiatanku selama tinggal dengan bang Ilham, dan emak pun selalu bertanya dengan semangatnya. Tanganku tidak pernah melepas pergelangan tangan emak.

"Kamu tunggu disini ya, Emak kebelakang dulu," ucap Emak setelah sampai di kedai Mbok Inah. Terlihat orang-orang hilir mudik, kuanggukan kepala ketika ada seorang wanita tersenyum padaku. Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi emak belum muncul juga.

"Mak," kupanggil emak seraya masuk kedalam kedai. Terdengar emak berkata seraya menangis.

"Nanti, kalau ada uang, saya bayar ya, Mbok," suara emak terdengar lirih.

"Kamu itu ya, kalau miskin gak usah belanja banyak. Yang kemarin juga belum bayar, kan? Mau uang darimana untuk bayar semuanya? Apa anakmu Ilham, gak kirimin uang?"

Degh

Segera kuhampiri emak, kutatap wajahnya yang terkejut melihatku.

"Berapa hutang Emak saya, Mbok? Saya bayar lunas semuanya," ujarku tegas.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku