Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Misteri Masalembo (Crash Landing)

Misteri Masalembo (Crash Landing)

MORA

5.0
Komentar
474
Penayangan
50
Bab

Pesawat Airbus A320 itu tersedot dalam badai, menembus portal yang terhubung ke masa lalu, hingga menyeberang sampai ke benua lain. Kejadian mengerikan terjadi dalam pesawat selama hampir dua jam. Ruang kabin penumpang tercemar gas-gas beracun yang ternyata telah disusupi arwah-arwah manusia penuh dosa. Adam bersama Ingrid Rose, seorang turis cantik sarjana Astrofisika asal Austria yang ikut berada dalam ruang kokpit pesawat akhirnya mampu memecahkan sederetan teka-teki misteius agar bisa kembali pulang. Secara menakjubkan, pesawat Airbus A320 itu berhasil kembali pulang dengan selamat. Namun naas, bahan bakar pesawat tersedot habis selama pesawat itu menembus badai. Pendaratan darurat di perairan terpaksa di lakukan

Bab 1 Part-1: Gadis Mata Biru

Menit demi menit di pagi itu perlahan berlalu. Burung-burung dalam sangkar mulai berkicau terdengar merdu. Sang surya yang bobok semalaman kini terbangun dari peraduannya yang panjang, memancarkan warna ungu ke-kuning-kuningan yang membahana di ufuk timur angkasa, menghangati pohon-pohon nan rindang dan hijau, menebar cahaya bagi kehidupan umat manusia.

Angin di pesisir pantai berhembus sepoi-sepoi memulai pagi. Ombak di lautan pun berkejaran berlomba-lomba menuju pantai, bergemuruh halus membentuk lirik irama yang menyejukkan hati. Gravitasi matahari dan rembulan menimbulkan aliran air pasang surut yang terus bersirkulasi tak henti-henti. Indah memang anugerah dari yang Maha Kuasa, begitu Agungnya Dia, begitu perkasanya Dia menjaga keseimbangan yang begitu sempurna yang tak ada tandingannya.

Namun...., alam terkadang seketika bisa saja berubah jadi bencana. Ketika Sang Pencipta mulai murka kepada hambanya. Ketika bumi selalu dihiasi dengan kesesatan dan kemunafikan. Di mana kemaksiatan, tumpukan dusta dan dosa dan harta riba yang semakin merajalela, maka indah pun bisa saja berubah seketika menjadi petaka.

Detik berganti menit, sejuk berubah terik, samudra mulai bergemuruh, laut yang tenang tiba-tiba bergejolak. Pagi yang damai dan indah perlahan berlalu, kemudian berubah jadi petaka, sebegitu cepatnya. Alam pun ikut berubah seiring bergantinya waktu yang selalu diselimuti dosa-dosa oleh makhluk-makhluk durjana. Ombak-ombak kecil di lautan pun kini mulai murka membara.

*****

Seratus mil laut jauhnya setelah melintas di atas perairan kepulauan masalembo, secara mengejutkan, dua dari empat mesin turbo-propeller si burung besi Hercules lockheed C-130 dalam sebuah misi kemanusiaan mengangkut obat-obatan dan bahan makanan untuk korban bencana alam akhirnya menyerah kalah. Mesin pesawat mengalami kegagalan mekanikal karena over-load. Dua baling-baling pesawat tiba-tiba berhenti berputar.

“Bedebah....!” Sukhairi mendadak berteriak latah. Kedua bola matanya melotot plonga-plongo lihat sana sini tak tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi.

“Kapten....! apakah anda nggak merasakan ada sesuatu? sentakan, atau mungkin pressure drop?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Letnan-dua sukhairi begitu ada suatu sentakan keras yang dia rasakan di kursi kopilot.

Adam, pemuda usia 27 tahun yang duduk di kursi sebelah kiri ruangan kokpit kemudi pesawat Hercules Lockheed C-130 itu juga merasakan adanya sentakan. Namun pilot termuda dengan pangkat Kapten di korps penerbang penerbangan angkatan udara itu masih belum menampakkan kepanikan.

“Dua engine down Letnan!” Sahut Adam memelototi instrumen-instrumen yang ada di hadapannya.

“Speed....! speed....! speed….! oh Tuhan, we need speed, kita kehilangan kecepatan Kapten.” Sukhairi sontak panik setelah mendengar. Letnan itu ikut melirik panel instrumen pesawat, namun tak satu pun keanehan yang dia temukan.

“Ini gila....!” Sentak Sukhairi garuk-garuk kepala.

Ruang kokpit kemudi pesawat mendadak bergetar, cukup kentara terasa. Hal itu menunjukkan kecepatan pesawat melambat, namun tak ada feed-back yang terlihat dari ‘air speed allert incicator pesawat. Sukhairi yang mengetahuinya gempar. Sampai-sampai dia mengetok-ngetok display indikasi kecepatan pesawat ‘speed allert incicator’ dengan jari-jarinya. Begitu panel instrumen itu dia ketok, bunyi ‘biib.... biib.... biib.... biib.... biib.... biib....’ kemudian terdengar panjang.

“Bedebah....!” Lagi-lagi Sukhairi berteriak latah. “Oh my god...., oh my god...., oh my god....!” Ucap Letnan itu lagi urut-urut dada setelah dia menyadarinya.

Lampu ‘air speed indicator’ yang mengindikasikan terjadinya perubahan pada kecepatan pesawat terlambat me-respon adanya sesuatu kejadian yang tak normal. Kesalahan timbal balik pada sistem pesawat seperti itu tak biasanya terjadi. Berkemungkinan suhu di luar pesawat begitu dingin hingga menyebabkan ‘icing’ atau peng-es-an yang menyumbat ‘pitot tube,’ sebuah sensor luar yang tertancap di dinding bahagian depan pesawat. Hal itu bisa mengakibatkan ‘error’ pada pembacaan instrumen pesawat. Lampu ‘air speed indicator’ baru saja berubah warna menjadi merah, lalu berkedip-kedip.

“Air speed....?” Mata Letnan-dua Sukhairi menyipit menyaksikan angka-angka digital yang tertera di sana perlahan berkurang. Hal itu menunjukkan adanya penurunan pada kecepatan pesawat.

“Oh Tuhan, air speed drop Kapten....!” Teriak Sukhairi menepuk jidat.

“Letnan, lihat sayap sebelah kiri.” Seru Adam tanpa menonjolkan kepanikannya. Perwira muda itu mengintip ke sisi bahagian kiri pesawat melalui kaca jendela, lalu dia menunjuk-nunjuk dengan jempol kirinya ke arah sayap.

“Dua baling-baling ‘propeller’ stuck!” Adam mengulangi. Suaranya masih terdengar datar mengetahui kedua mesin pendorong di sisi sayap sebelah kiri itu tak lagi berputar.

“Air speed drop, tapi sekarang stabil Kep.” Sukhairi menyela setelah dia memperhatikan instrumen yang ada di hadapannya.

“Tetap stabil di 310 knots, aman Kep.” Ucap Sukhairi lagi menarik napas lega.

“Bagus, keep it constant....!” Sambut Adam mengacungkan jempolnya.

Dua mesin pendorong mati, kecepatan pesawat terdeteksi berkurang. Namun untuk beberapa saat kecepatan masih terpantau stabil di 310 knot, atau 592 kilometer per jam. Tujuh sirip ‘propeller’ pada masing-masing mesin sisi kanan sayap masih gagah berputar seperti gasing, menyemburkan ‘thrust’ atau daya dorong ke depan.

Sukhairi kemudian mengintip ke kanan melalui kaca jendela. “Dua propeller sisi kanan terpantau normal Kep.” Ujar Letnan itu. Lega-lega ngeri jantung Sukhairi menyaksikan dua propeller atau baling-baling yang tergantung di sisi kanan sayap pesawat masih berputar seperti biasa. Tinggal dua nyawa baling-baling lagi kini yang masih tersisa.

“Ok, di copy.’ Adam menganggukkan kepala.

Pesawat sedang melintas di tengah-tengah lautan pada ketinggian jelajah terbang 28.000 kaki yang terpantau oleh Adam saat itu. Hampir setara dengan 8.500 meter di atas permukaan laut. Tepat seratus mil timur laut jauhnya dari kepulauan Masalembo. Masih sekitar 175 mil laut atau 314 kilometer lagi menuju landasan pacu terdekat Sultan Hasanuddin di kota Makassar. Masih lumayan jauh, namun itulah satu-satunya bandara terdekat yang bisa dijadikan alternatif untuk melakukan pendaratan darurat.

Kontak radio segera dilakukan oleh Kapten Adam dengan bandara pengawas setempat meminta izin untuk melakukan pendaratan darurat.

“Ujung control, this is foxrot oscar el si one three zero, our two engines is down, we declare an emergency condition.”

“flight level two eight zero, another one seven five miles from run way, we ask permission for an emergency landing.”

*****

Beberapa menit setelah kontak radio dilakukan, pesawat Hercules Lockheed C-130 itu terhuyung beberapa detik. Tak lama kemudian, secuil lagi sentakan kembali dirasakan dalam kokpit. Dengungan mesin sedikit melemah, lalu meninggi lagi beberapa saat. Kecepatan pesawat terpantau masih berfluktuasi.

“Oh no, no, no, no....!” Sukhairi celetuk lagi. Kemudian dia gigit-gigit jari. Dada yang tadi lega kini kembali ngeri.

“Air speed turun lagi Kep, di dua puluh persen sekarang!”

“Nggak apa-apa, lihat tuh sekarang kembali stabil kan?”

“Oh ya, benar Kep, mudah-mudahan tetap bertahan.”

“Saya yakin kita masih aman Letnan.”

Level penunjuk bahan bakar pesawat masih cukup banyak, tujuh puluh persen tersedia dari kapasitas penuhnya. “Fuel di tujuh puluh persen Letnan, tak ada masalah, tapi paling tidak kita butuh 35 menit lagi sampai di landasan.” Ujar Adam, pilot berpangkat Kapten usia 27 tahun itu.

Namun...., ketegangan sepertinya masih enggan pergi, kecepatan pesawat terpantau menurun lagi. Indikator kecepatan pesawat menunjukkan adanya penurunan berputar ke kiri. Kekalutan pun kembali menyergap Sukhairi.

“Air speer drop lagi Kapten....!” Sukhairi mencak-mencak ngeri.

“Bagaimana Kapten, apakah kita tetap proceed?”

“Letnan, tahan dulu….!”

Radar cuaca kebetulan diintip oleh Adam. Ternyata apa yang sedang terjadi di depan pesawat begitu mencengangkan. Warna merah terlihat berhamburan pada layar radar. Adam pun sontak diterjang keterkejutan.

“Subhanallah.... Allahuakbar....” Sekejap Adam berzikir bersunyi diri. Perwira itu mengatur keseimbangan antara tarikan nafas dan hembusannya, dia jaga agar tetap seirama untuk mengurai kepanikannya.

Adam baru saja mengetahui ternyata ada kendala lain yang lebih serius yang akan mereka hadapi. Awan-awan badai cumulonimbus mendadak bermunculan walau tak pernah diundang. Tumpukan-tumpukan acak berwarna merah mirip ceceran darah menghiasi layar radar. Sebagian terlihat bergerak menyebar, sebagian warna merah yang lainnya mulai membesar. Pembentukan awan-awan badai terjadi sebegitu cepat, dan celakanya lagi awan-awan itu memuncrat tepat di jalur pesawat.

“Ya Allah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi dengan tiba-tiba?” Adam memelankan suaranya.

“Apa yang terjadi Kep?” Sukhairi menyela. Dia ikut mendengar apa yang dikatakan Adam tadi.

“Sekarang masalahnya bukan pada air speed, tapi tapi lihat itu Letnan. Ada badai di depan, pola awannya semakin menyebar.” Tunjuk Adam pada display monitor cuaca. Badai kentara sekali terlihat menghadang mereka beberapa mil laut jauhnya di depan sana. Yang menakutkan, badai itu ter-indikasi akan terus meluas dan menyebar ke mana-mana.

Sukhairi mendekatkan wajahnya ke layar radar cuaca. Dia ikut mengamati apa yang tergambar di sana. Kulit jidatnya langsung berkerut lima setelah dia mengetahuinya. “Ya Tuhan, badai….?” Ucap Letnan itu geleng-geleng kepala. “Petaka....!” Sambung Letnan itu lagi menabok jidat.

Pada layar monitor terbaca memang cukup banyak area ter-indikasi warna merah yang menunjukkan adanya konsentrasi awan badai di sana. Lokasinya tepat berada di jalur pesawat sebelum mencapai landasan. Sebaran awan-awan badai itu cukup luas. Jika terpaksa harus memilih menghindar, maka pesawat akan berputar terlalu jauh. Dengan kondisi kehilangan dua mesin pendorong ‘propeller’ sekaligus, kekuatan daya dorong akan terus merosot. Hal itu akan menyebabkan pesawat akan kehilangan daya angkat dan mengalami aeoro-dinamic-stall. Akan dapat dipastikan, pesawat keburu jatuh terjerembab sebelum berhasil mencapai landasan.

“Konsentrasi badai seratus lima puluh mil menjelang pantai.” Jelas Adam mencoba memperhitungkan. .

“Tiga puluh derajat ke kanan mungkin lebih aman Kep.” Usul Sukhairi berbelok 30 derajat menghindari badai.

“Terlalu jauh Letnan, altitude tak memungkinkan, lihat….! masih terus drop, sepertinya kita akan terus kehilangan ketinggian.”

“Kita terobos Kep?”

“Jangan Let, high risk, energi yang terkumpul di sana terlalu besar.”

“Emergency landing apa mungkin Kep?”

“Tak direkomendasikan Let, juga tak memungkinkan, kita cari pertimbangan lain, pasti ada jalan keluar yang lebih baik.”

“Benar-benar rumit Kep!”

“Memang Let, tapi kita search dulu, kita coba temukan jalur dengan risiko yang paling minimal.”

Kondisi sebaran awan-awan badai melalui monitor radar cuaca diamati lebih detail lagi oleh Adam. Beberapa bagian dia ‘zoom’ diperbesar beberapa kali agar dapat menganalisa lebih jelas. Ada beberapa bagian yang mempunyai risiko lebih kecil untuk dilewati dan kemungkinan pesawat tersambar petir juga lebih kecil.

“Ada celah di depan sana, itu mungkin lebih baik Letnan.”

“Arah jam ‘2’ Kapten, lihat indikasi warnanya, rute itu kelihatannya lebih aman.”

“Tak mungkin Letnan, pesawat akan terlalu jauh memutar. Lihat warna merah yang ada di depannya masih setumpuk lagi dan tak ada jalan keluar di sana.”

“Maaaak....! matilah aku, aku ini belum lagi sempat kawin Kep, bagaimana nasib ku ini nanti....?” Suara Sukhairi terdengar pilu, namun wajahnya terlihat lugu.

“Masih ada kemungkinan, lihat dua tumpukan itu Let!” Tunjuk Adam pada tumpukan dua awan badai yang sedang mendekat satu sama lainnya.

“Alammaaak, tambah mati lagi aku Kep!” Sukhairi menggerutu, wajahnya berubah sayu.

“Takut mati Let.?” Adam berseloroh.

“Siap, tidak Kep....!” Sukhairi menjawab serius.

“Tapi kan katanya belum kawin?” Adam masih berseloroh.

“Biar saja Kep, yang penting aku tidak akan meninggalkan seorang janda!” Sukhairi menganggapinya masih serius.

“Haaaah....?” Adam membesarkan matanya melihat Sukhairi begitu serius.

*****

Pergerakan tumpukan awan badai begitu acak, dan tampak tak merata di beberapa lokasi. Sebahagian terdeteksi meluas begitu cepat, namun ada juga terlihat pembentukan partikel-partikel uap air yang baru saja mengembang di dua titik.

Masih ada terlihat celah kosong di antara dua gumpalan awan badai cumulonimbus yang saling mendekat satu sama lain, sekitar 11 mil laut jaraknya dari pesawat. Jika pesawat berhasil melewati celah itu sebelum kedua awan bersatu, hal itu akan jauh lebih baik untuk menghindari sambaran.

“Belok sedikit ke kiri, perhatikan di sekitar sana ada celah arah jam ‘10’, pesawat tak terlalu jauh berbelok dan itu lebih aman.” Tunjuk Adam pada celah kosong yang terdeteksi di layar radar. “Kelihatannya mengambil rute itu jauh lebih baik, bagaimana Let.., ada masukan lain ke mana pesawat harus memutar?” Adam menyambung kalimatnya.

“Ya Kep, jalur itu saja, masih sebelas mil laut di depan pesawat.”

Pesawat Hercules Lockheed C-130 itu akhirnya berbelok beberapa derajat ke kiri memilih rute terbang di antara dua kumpulan awan badai cumulonimbus yang masih mempunyai celah kosong di antara keduanya.

*****

Beberapa saat setelah pesawat Hercules Lockheed C-130 itu berbelok ke kiri, halilintar mendadak menerjang. Sambaran kilat berliku-liku tampak berhamburan, tersembur berkali-kali dari gumpalan-gumpalan awan hitam yang menakutkan. Bunyi dentuman yang keras mendadak menggemparkan pendengaran. “Duaaaaaar….! duuummmm….!” Begitu kuatnya suara gelegar yang terdengar.

“Buseeeeeeeet….!” Sukhairi sontak terlonjak. Kedua bola matanya terbelalak. Jantungnya mencak-mencak tersentak.

*****

Sambaran kilat kembali terlihat melejit sebegitu cepat tepat di depan pesawat. Lalu disambut oleh suara dentuman yang lebih dahsyat, bak roket kaliber 150 mm yang ditembakkan ke angkasa.

“Duaaar….! duuuummm…. braaaaaak.....!” Lagi-lagi gelegar suara dentuman terdengar memekakkan telinga, luar biasa getarannya terasa. Bayangkan...., jin dan kuntilanak yang lagi bobok siang saja ikut terperanjat kaget dibuatnya. Langsung deh mereka hengkang lari tunggang-langgang ngumpet di balik awan.

Si burung besi Hecules Lockheed C-130 itu terus saja menghadang. Adam dan Sukhairi tetap maju menerobos celah awan berbentuk terowongan setan.

“Air speed….?”

“250 knot.”

“Altitude….?”

“Drop….! sekarang di level 23.000 feet.”

“Get ready....!” Teriak Adam memberi aba-aba bersiap-siap menghadang badai dan goncangan.

“Siap Kapten, hura...! hura....! hura….! huuh....!” Pekik Sukhairi mengepalkan tangan menahan pucat dan keringat.

“Tahan guncangan, jangan dibelokkan….!”

“Di copy Kep.....!”

“It is getting close....!”

“Siap Kep....!”

Burung besi itu semakin mendekati dua kumpulan awan hitam yang sangat besar, sekitar enam mil lagi jaraknya dari pesawat. Detik-detik menegangkan bagai dalam acara adu uji nyali di televisi kini terjadi.

Dapat di ibaratkan, seolah-olah pesawat itu tengah merayap memasuki celah hutan buas di malam nan gelap. Kemudian menyusup pelan menerobos jalan tikus yang membelah hutan buas itu menjadi dua bagian.

Sisi kiri dan kanan hutan bagai tempat nongkrong singa dan harimau yang tidur ngorok kelelahan. Namun jangan salah, apalagi sampai berbuat lengah, jika mereka tiba-tiba saja terjaga, seketika itu juga mereka akan menerkam. Seperti terkaman petir dan halilintar yang kapan saja mungkin akan menyembur dari salah satu celah gumpalan awan hitam.

*****

Situasi memburuk memasuki celah awan. Sayap pesawat bergetar melambai-lambai bak lambaian tangan malaikat maut yang menjanjikan kematian. Sisa dua mesin baling-baling ‘turbo proppeler’ tertatih-tatih meraung kepayahan menantang angin kencang dari arah berlawanan. Pesawat terus merayap menembus celah gelap di antara dua kumpulan awan hitam yang tebal di atas lautan.

Satu menit menerobos, kecemasan kembali menyergap. Kiri dan kanan jendela pesawat terlihat begitu gelap. Singa dan harimau yang tadi tidur di sisi kiri dan kanan pesawat kini terjaga. Sekonyong-konyong mereka langsung menyergap. Seperti sergapan halilintar yang terlihat berlompatan dari salah satu sisi gumpalan awan menuju gumpalan awan di sisi sebelahnya. Cloud – to - cloud lightning pun terjadi, menyembur di antara dua kubu tumpukan awan-awan yang begitu kelam.

Dua menit menerobos celah awan, Adam dan Sukhairi disuguhi suasana sunyi dibubuhi kengerian. Napas seolah-olah tertahan di kerongkongan. Kedua perwira muda itu membisu dalam penantian, bersiap-siap menunggu kejutan apakah akan ada serangan halilintar dan suara ledakan.

Tiga menit menerobos terasa semakin mencekam. Cahaya kilat bagai tembakan sporadis terlihat jelas meleset tepat di depan pesawat. Sedetik kemudian, disusul oleh suara gemuruh dahsyat seperti ledakan.

“Duaaaaarrrrr….! duuuuuummm....!” Suara dentuman menggemparkan ruangan kokpit kemudi pesawat. Bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi berkali-kali. Cahaya kilat bak peluru panas simpang siur melejit ke sana kemari mirip perang Timor timur era tahun tujuh puluhan di mana banyak tentara yang tewas.

“Bedebah….! Kapten....! Kapten....! lihat ada perang di depan….! kita tertembak.” Sukhairi terlonjak berteriak-teriak.

“Tak masalah Letnan, hanya induksi listrik ringan, all is under control, don’t worry.” Adam berusaha menenangkan.

“Benar Kep, tak ada terlihat indikasi kerusakan pada instrumen.”

“Ok, clear, semuanya aman.”

“Awannya makin tebal Kep!”

“Jangan khawatir, satu menit lagi pesawat akan keluar dari tumpukan awan, kita mendekati ujungnya sekarang.”

Empat menit susah payah menerobos, pesawat Hercules Lockheed C-130 akhirnya terbebas dari perangkap yang mematikan. Dua kubu tumpukan awan hitam di sisi kiri dan kanan pesawat berangsur tertinggal di belakang.

“Huuhh….!” Sukhairi mendengus lega, dia juga mengusap-usap dada. Kepalanya kemudian melongok kiri kanan menyaksikan awan-awan hitam yang perlahan berlalu dari pandangan mata.

*****

Kengerian ternyata tidaklah menghilang serta-merta. Kekagetan yang lebih garang bahkan kini menghadang mereka.

Lepas dari mulut harimau di seruduk tanduk kerbau, begitulah kata orang-orang. Begitu jugalah mungkin diibaratkan dengan nasib yang menimpa pesawat Hecules Lockheed C-130 itu. Di penghujung badai, dengan tak terduga pesawat itu di hadiahi sebuah serudukan ‘cross-wind’ berupa sapuan angin yang sekonyong-konyong datang menyerang. Pesawat mendadak terhuyung begitu kencang, lalu terpelesat ke kanan.

Pesawat seketika kehilangan daya angkat dari kedua sisi sayap. Lalu...., menukik dan terperosok begitu cepat nyaris terjerembab. Kemiringan pesawat secara berlebihan hingga melampaui ambang batas yang diizinkan telah memicu tak memadainya perbedaan kecepatan angin antara sisi bawah dan sisi atas sayap. Maka lenyaplah sudah kemampuan sayap untuk terangkat.

Altitude allert yang mengindikasikan ketinggian pesawat dalam bahaya merespon dengan cepat. Lampu warna seketika menyala, lalu berkedip-kedip diikuti suara peringatan ‘biib.... biib.... biib.... biib.... biib....’ berbunyi lama.

“Kapten, Kapten, Kapten....! celaka Kep, pesawat di seruduk setan....!” Sukhairi yang menyaksikan kedipan lampu bersorak kelabakan.

“Ada cross-wind Letnan...! kita terjebak” Adam ikut berteriak tak menduga pesawat akan kembali terjebak.

“Kapten, lihat altitude allert aktif….!” Sukhairi lagi-lagi bersorak.

”Angin menghantam dari sisi kiri arah jam sembilan....! pesawat bisa meledak....! pertahankan ketinggian....!” Pekik Adam dengan mata terbelalak. “Pertahankan terus ketinggian....!” Adam memperingatkan lagi masih dengan berteriak.

“Bedebah.....!” Sukhairi yang mendengarnya langsung terlonjak.

“Pull up....! pull up….! pull up....! pull up….!” Adam berteriak lagi berusaha menyeimbangkan posisi pesawat yang terus terperosok ke bawah. Semampu yang dia bisa, Perwira itu menarik stick kemudi ke arahnya berharap sirip-sirip elevator di belakang pesawat mampu bekerja maksimal untuk mempertahankan ketinggian pesawat agar jangan terjerembab semakin parah.

*****

Tiga menit lamanya berjibaku, pesawat mulai terarah, kemiringan tak lagi terlalu parah. Namun malang, di saat mereka masih sengit-sengitnya berjuang, badai yang lebih garang tiba-tiba saja kembali menghadang. Belum sempat jantung Sukhairi yang mencak-mencak itu adem, dia menyaksikan lagi sebuah penampakan aneh yang muncul di tengah-tengah lautan luas. “No way man…!” .....edan....! mana mungkin.....!” Sukhairi bergumam heran.

Mengerikan..., sebuah pulau misterius tiba-tiba saja muncul di atas permukaan laut dalam keadaan gelap tertutup kumpulan kabut hitam. Lebih menyerupai sekumpulan asap hitam yang bergumpal-gumpal tebal.

“Kapten lihat, ada badai lagi di depan sana....!” Sukhairi bersorak terbelalak. “Ada sebuah pulau hantu Kep, lihat itu....!” Sukhairi lagi-lagi bersorak mencak-mencak.

Tak kalah halnya dengan Sukhairi, Adam juga ikut terbelalak diserang kekagetan menyaksikan suatu pemandangan yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

“Aztaghfirullah.” Perwira itu menyebut nama Sang Pencipta. Pemandangan yang tersuguh di depan pesawat itu benar-benar menyeramkan. Selama menjadi seorang pilot di angkatan udara, baru kali ini Adam menyaksikan adanya awan-awan cumulonimbus yang berkeluyuran menyerupai gasing raksasa yang berputar-putar.

Penglihatan Adam kemudian mengarah pada layar radar. Kedua bola mata perwira itu seketika tersengat melihat, kulit jidat ikut berlipat-lipat, sesuatu yang tak beres terpantau di radar pesawat.

“Oh Tuhan, it is impossible!” Gumam Adam, lalu diikuti dengan gelengan kepala. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, badai yang sebegitu luas di depan mata ternyata tidak terpantau oleh radar cuaca.

“Letnan.! putar pesawat ke kanan sekarang.....!” Teriak Adam seketika. Kedua orang perwira itu dengan sigap membelokkan pesawat agar terhindar dari jebakan badai berbentuk siluman. Namun apa yang terjadi kemudian begitu menggemparkan.

“Ya Allah, it is stuck....!” Adam berteriak lagi.

“Kampret, apa yang terjadi ini Kapten....!” Sukhairi terperanjat lagi.

“Aztaghfirullahallazim....! Allahuakbar....!” Lagi-lagi Adam mengucap.

“Kiamat kita Kapten....!” Lagi-lagi Sukhairi mengumpat.

Aileron yang terletak di kiri-kanan sayap macet, tak bisa bergerak turun naik. Pesawat Hercules Lockheed C-130 itu gagal melakukan rolling untuk menghindar. Rudder yang ada pada trailling edge vertical stabilizer di bahagian ekor pesawat juga ngadat, tak bisa bergerak kiri kanan. Pesawat Hercules Lockheed C-130 itu juga gagal berputar untuk menghindar

Mengap-mengap jadinya pesawat Hercules itu menjelang kiamat. Menyentuh ambang badai, terjadi lagi suatu peristiwa aneh di sana. Badai yang tadi terlihat seperti asap hitam menyerupai awan badai cumulonimbus itu tiba-tiba saja berubah bentuk. Sepertinya terjadi suatu pusaran angin yang besar menerpa kabut asap itu hingga membentuk lengkungan yang sangat besar karena terpaan angin yang berputar-putar. Dapat dikatakan, gumpalan asap hitam itu kini menyerupai bentuk tempurung kelapa, atau sebuah mangkok raksasa, namun dalam keadaan tertelungkup.

Lengkungan kabut hitam itu sangat luas, berdiameter hingga belasan kilometer. Dan jika diilustrasikan, pesawat Hecules Lockheed C-130 itu seolah-olah terjebak dalam sebuah mangkok raksasa berwarna hitam. Mirip gambar sebuah tangan dengan kelima jari mencengkeram ke bawah. Bagai seseorang yang bersiap-siap menyergap seekor belalang di atas rumput. Dan pesawat Hercules itu diibaratkan adalah belalangnya.

*****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku