icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
BELENGGU CINTA MANTAN

BELENGGU CINTA MANTAN

Desma Limb

5.0
Komentar
21.5K
Penayangan
72
Bab

Umpatan kasar apapun bisa disematkan kepada Ardian--pria yang pertamakali mengenalkan cinta pada Andini. Kisah mereka pun berakhir dengan kehormatannya yang direnggut paksa, lalu ditinggalkan begitu saja. Namun entah mengapa, Andini tetap bertahan pada rasa cinta yang mendalam. Setelah tiga tahun pergi tanpa kabar berita, sang lelaki pujaan kembali datang menggoda. Pesona pria berambut gondrong dan berparas tampan itu selalu membuat hatinya lemah untuk menolak. Andini kembali luruh dalam rayuan Ardi dan jatuh di pelukannya. Meskipun di saat Andini sudah menjadi seorang istri dari Hendra--pria yang mencintai dan menerimanya dengan tulus. Ia tak mampu meredam rasa cintanya pada lelaki cinta pertamanya itu. Benarkah cinta yang kembali ditawarkan Ardi bisa membuat Andini bahagia menjalani pernikahan keduanya? Lalu, bagaimana dengan kehidupan suami pertamanya yang terluka dengan membawa putra mereka yang masih kecil?

Bab 1 Cinta Pertama yang Terluka

Mata elang lelaki berambut gondrong itu memindai sekeliling rumah yang sepi. Berlahan, ia meraih kedua tangan kekasihnya dan mengajak gadis berusia dua puluh tahun itu berdiri dari duduknya.

Keduanya kini saling menatap, saling mengunci dalam diam. Jantung mereka berdegup lebih kencang ketika Ardi mengikis jarak, lalu berbisik di telinga sang gadis, “Izinkan aku menciummu untuk pertama dan terakhir kalinya, Andini.”

Mata Andini membulat kaget. Setahun bersama pemuda tegap dan atletis itu, mereka hanya sekedar berpegangan tangan. Kini, Ardi ingin menciumnya?

“Jangan, Mas ….” Andini berusaha melepaskan pelukan tangan kekar Ardi di tubuhnya. Pria itu ternyata tidak hanya menciumnya, tapi menginginkan yang lain. Andini yang mungil tidak berdaya begitu lelaki berotot itu sudah menyeretnya ke dalam kamar. Tubuh gadis berlesung pipi itu kemudian didesak hingga berbaring di ranjang. Andini membelalak. Otaknya seketika terasa kosong saat Ardi menindih tubuh dan menciumnya kasar, apalagi kemudian dengan cepat kekasih tercintanya itu melepaskan baju dan melemparkan begitu saja. Tubuh sixpack dan kokoh segera terpampang di depan Andini.

“Kau bilang sangat mencintaiku, jadi daripada kau serahkan kesucianmu pada duda itu, 'kan lebih baik aku yang mengambilnya,” ucap Ardi menarik paksa baju yang dikenakan Andini. Gadis yang sudah dijaganya selama mereka pacaran itu menjerit, berusaha menutupi tubuhnya. Namun, usaha Andini sia-sia karena Ardi sudah sangat bertekad untuk mengambil kehormatannya.

Andini hanya bisa menangis, ia benar-benar tak berdaya melawan Ardi yang sangat kuat. Lelaki cinta pertamanya itu berubah menjadi buas, mencabik-cabik tubuhnya yang belum pernah disentuh laki-laki. Gadis muda itu merintih kesakitan, tapi pria berusia dua puluh tiga tahun itu tak peduli. Ia menghisap madu itu sepuas hati.

Usai melampiaskan keinginannya, Ardi meninggalkan Andini yang masih menangis meratapi tubuhnya yang sudah tidak suci lagi. Ia tak menyangka kekasih hatinya itu tega menodainya. Bagaimana ia akan menghadapi Hendra—calon suaminya yang sudah datang melamar minggu lalu?

***

Satu jam sebelumnya.

“Mas … aku minta maaf, tolong besok-besok jangan datang lagi ke sini.” Andini berkata pelan kepada pemuda berambut gondrong yang duduk bersamanya di bangku depan rumahnya yang sepi di siang hari itu. Ibunya belum kembali dari berjualan sayur di pasar.

“Kenapa? Apa gara-gara duda tua yang melamarmu minggu lalu?” tanya Ardi sembari mengisap rokoknya dan mengembuskan ke udara dengan kesal.

“Aku terpaksa menerimanya, Mas. Aku tidak bisa menolak permintaan ibu yang ingin aku segera menikah. Ibu malu karena anak gadisnya jadi perawan tua, gak laku-laku,” jawab Andini sambil menarik-narik ujung baju yang dipakainya.

“Masa baru usia dua puluh tahun udah dibilang perawan tua, sih? Bilang sama ibumu, nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan, aku yang akan melamarmu jadi istriku,” tukas pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu.

“Sampai kapan, Mas? Kita sudah pacaran lebih dari setahun. Aku sudah menolak banyak laki-laki yang datang melamar demi hubungan kita, tapi Mas belum juga memberiku kepastian. Aku sudah tidak bisa membujuk ibu lagi, Mas. Lamaran Pak Hendra sudah diterima ibu.” Andini bicara dengan air mata yang mulai menetes di pelupuk matanya. Impiannya yang ingin hidup bersama pria cinta pertamanya itu tidak akan terwujud. Ibunya sejak awal memang sudah tidak merestui dirinya berhubungan dengan Ardi yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, bisa dibilang seorang pengangguran.

Ardi bergeming melihat wanita cantik bertubuh mungil itu mulai terisak pelan. Hatinya ikut sakit mengingat gadisnya itu akan dimiliki oleh laki-laki lain. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan cinta mereka. Hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, Ardi tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehari-harinya, ia menjadi tukang angkat barang di pasar. Upah yang didapatkan hanya sekedar untuk makan dan beli rokok.

Bagaimana ia berani melamar Andini yang merupakan kembang desa yang banyak diincar kumbang-kumbang. Tentu saja, ia akan kalah bersaing. Apalagi ibunya Andini sudah pasti akan menolaknya. Hari ini saja, ia datang sembunyi-sembunyi menemui gadis yang hanya tinggal berdua saja dengan ibunya yang seorang janda.

Laki-laki itu membuang sisa rokoknya dengan kesal ke halaman rumah yang berjarak cukup berjauhan dengan rumah tetangga sekitar. Apalagi banyak pohon buah-buahan berdaun rindang di sekeliling rumah mungil yang berdiri di atas tanah cukup luas tersebut.

Ardi berdiri menghampiri Andini yang masih menangis. Gadis berlesung pipi itu sangat mencintai pria ganteng berkulit kecoklatan yang berada di hadapannya, tapi memilih Ardi menjadi suaminya, Andini juga ragu akan masa depan mereka nanti.

“Sudahlah, Dini. Aku memang laki-laki tak berguna. Aku juga tak yakin bisa membahagiakanmu, jika nekat untuk merebutmu dari laki-laki itu.” Ardi membawa kepala Andini yang duduk di kursi dalam dekapannya.

Mata elang lelaki berambut gondrong itu memindai sekeliling rumah yang sepi. Berlahan, ia meraih kedua tangan kekasihnya dan mengajak gadis berusia dua puluh tahun itu berdiri dari duduknya.

Keduanya kini saling menatap, saling mengunci dalam diam. Jantung mereka berdegup lebih kencang ketika Ardi mengikis jarak, lalu berbisik di telinga sang gadis, “Izinkan aku menciummu untuk pertama dan terakhir kalinya, Andini.”

Mata Andini membulat kaget. Setahun bersama pemuda tegap dan atletis itu, mereka hanya sekedar berpegangan tangan. Kini, Ardi ingin menciumnya?

Andini belum sempat menenangkan hatinya yang bergemuruh ketika tiba-tiba Ardi sudah menarik tangannya buru-buru masuk ke dalam rumahnya yang sepi.

***

Seminggu setelah kejadian itu, Andini mendatangi rumah orang tua Ardi, mencari pemuda yang tiba-tiba tidak pernah lagi datang menemuinya setelah mengambil paksa kehormatannya. Andini sudah bertekad, apapun yang terjadi, ia hanya akan menikah dengan Ardi. Ia akan menceritakan semuanya pada ibunya, agar sang ibu mau merestuinya dengan pria satu-satunya yang ada dalam hatinya.

Rumah orang tua Ardi seperti tak berpenghuni ketika Andini tiba di sana. Ia sudah tahu kalau Ardi hanya tinggal berdua dengan kakak laki-lakinya. Maka tak heran kalau rumah yang lumayan besar itu tampak kumuh dan tidak terawat. Ibunya Ardi sudah lama meninggal dunia, kala Ardi masih duduk di bangku SMP. Sang ayah pun sudah menikah kembali dan menetap di kota, meninggalkan dua anak remajanya yang kemudian mencari jalan hidup masing-masing. Tak berbeda dengan Ardi, sang kakak juga putus sekolah setelah ibu mereka meninggal dunia. Kakak Ardi juga mencari makan dengan bekerja serabutan.

Andini dengan ragu-ragu mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali ia lakukan, tapi tidak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Dengan putus asa wanita yang sudah ternoda itu membalikkan tubuhnya, ingin meninggalkan tempat itu. Namun, baru saja ia akan melangkah, terdengar kunci pintu dibuka.

“Siapa, sih? Ganggu orang tidur aja!” Suara berat dan serak menegur ketus.

Andini membalikkan tubuhnya kembali, menatap seraut wajah yang mirip dengan orang yang dicarinya berdiri di pintu. Sedikit takut, ia menyapa pria yang hanya memakai celana pendek selutut, memamerkan tubuh berototnya yang tidak memakai baju.

“Ma-maaf, Mas Dion. A-aku mencari Mas Ardi, ada gak?” tanya Andini gugup. Kakak Ardi itu terlihat masih mengantuk, mengucek-ucek mata merahnya. Rambut yang sama gondrongnya dengan sang adik tampak berantakan. Samar-samar Andini masih bisa mencium aroma alkohol yang menguar begitu mulut di depannya menguap lebar-lebar.

“Ardi gak ada! Udah gak pulang seminggu kayaknya. Ada apa cari dia? Kamu udah dikerjainnya, ya?" Dion tertawa sinis sambil melipat lengan kekarnya di dada. Memandangi wanita cantik di depannya dengan sorot mata lapar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Desma Limb

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku