icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cold-hearted girl

Cold-hearted girl

meimei

5.0
Komentar
26
Penayangan
24
Bab

Seorang gadis yang terlatih untuk membunuh kini ia diperintah untuk melindungi seorang pria. Pria tersebut adalah seorang ilmuwan. Penemuan dia menyebabkan dirinya dalam bahaya. Dan pertemuan dia dengan gadis pembunuh bayaran meyebabkan bahaya lain di hatinya karena perasaan lain yang berkembang menjadi cinta.

Bab 1 Satu

Satu

Namaku Nila Fariska. Semua menjulukiku sebagai Snow Queen. Mungkin mereka memang benar. Hatiku telah membeku tanpa pernah mengenal perasaan. Saat banyak yang membicarakan tentang cinta, aku tidak pernah tahu seperti apa itu cinta.

Aku hanya seorang anak yatim-piatu. Dibesarkan dan dilatih khusus hanya untuk membunuh, bukan untuk mencintai. Cinta? Kurasa aku tidak akan pernah mengenal rasa itu dan sama sekali tidak peduli. Karena dari yang selama ini kupelajari, dalam hidup, perasaan adalah kelemahan. Cinta hanya akan membuat kita terpuruk dalam ketidakberdayaan. Akal kita dilemahkan dan kita tidak bisa lagi berpikir jernih. Semua itu karena kita memiliki hati untuk mencintai. Dan aku beruntung karena tidak memiliki hati.

***

Sore hari, halaman luas dengan tumbuhan gersang dan sedikit pepohonan menjadi tempat yang kusukai. Kuambil sebilah pedang yang tertata di pinggir lapangan. Mengayunkan kesana-kemari dengan berbagai jurus yang kukuasai. Sesekali aku melompat, berguling, dan menendang. Selain itu, juga melakukan salto dengan cepat. Semua itu sangat mudah kulakukan, karena semenjak kecil aku telah berlatih keras.

Masih teringat jelas bagaimana orang yang kupanggil guru melatihku. Dia bahkan membawa tongkat atau cambuk saat merasa aku bermalasan atau melakukan kesalahan dalam melakukan gerakan. Hingga akhirnya, aku berlatih dengan sungguh-sungguh dan menjadi orang yang bisa diandalkan. Beliau pula yang mengatakan padaku bahwa tidak perlu cinta dalam hidup.

Benar, tandasku. Aku tidak butuh siapa pun. Aku bisa menjalani hidupku sendiri. Cinta adalah kelemahan. Lagipula saat orang tuaku yang bodoh bunuh diri demi cinta tanpa memikirkan diriku, aku tahu cinta hanyalah petaka.

Aku masih terus berlatih saat terdengar suara tepuk-tangan yang cukup keras. Akupun sontak menoleh.

"Untuk apa kau di sini?"

Pemuda di hadapanku tersenyum tipis sebelum menjawab. Nama dia Vano Revaldi. Dia juga salah satu yang terbaik dalam kelompok kami. Dalam melakukan misi, aku senang bekerja sama dengan orang terlatih seperti dia karena aku tidak pernah suka menerima kegagalan.

"Nila, apa kau tidak lelah berlatih begitu keras?" ucapnya sambil berjalan mendekat. Tangan kanannya yang memegang handuk terulur. Kelihatannya ia berniat hendak menyeka peluh di wajahku. Aku segera mencekal dan memuntir tangannya dan mengambil handuk tersebut.

"Jangan macam-macam!" desisku dengan nada mengancam.

"Baiklah, lepaskan aku sekarang," ucapnya. Kulonggarkan cekalan pada tangannya dan kuambil handuk tersebut. Vano berbalik dan menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menanggapi tingkahnya itu.

"Ada masalah apa? Apa terjadi sesuatu yang penting?" tanyaku.

"Tentu saja sangat penting. Kurasa aku semakin jatuh hati padamu," ucapnya dengan nada menggoda. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar kata-katanya. Vano tertarik padaku bukanlah hal yang tidak kuketahui. Meski dia menaruh perhatian, tetapi aku tidak pernah peduli. Lama-lama dia juga pasti bosan dan beralih pada gadis lain. Vano sangat suka bermain cinta. Begitu banyak hati yang luluh oleh wajah tampannya dan dipatahkan begitu saja olehnya.

Sosok Vano yang tegap dengan sorot mata tajam seperti elang serta hidung mancung tentu menjadi daya tarik tersendiri. Kemampuan ia berkelahi tentu membuat sosok wanita yang memimpikan kehadiran seorang pahlawan menjadi terbuai dan jatuh dalam pesona seorang Vano.

"Aku tidak ada waktu dengan permainanmu. Kalau kamu tidak ada kepentingan terkait misi, sebaiknya segera pergi dari sini!"

"Ck, ck, ck" Vano berdecak keras.

"Kamu benar-benar kasar, Nila. Apa untuk bisa bertemu denganmu semua harus terkait dengan misi?"

"Kalau tidak ada apa-apa, sebaiknya kau segera pergi dari sini!"

Aku kembali berjalan menjauh dan mengayunkan pedang. Vano masih berada di sana.

"Nila ...," panggilnya.

Aku kesal. Dia benar-benar mengganggu. Kuhunus pedang yang berada dalam genggaman ke lehernya.

Dia segera mengangkat tangan.

"Nila, aku tidak kemari untuk bertengkar atau berkelahi denganmu, tapi Pak Yan ingin bertemu denganmu."

Kuturunkan pedang meski begitu kekesalan yang membuncah masih belum hilang. Mataku masih menatap tajam padanya.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Pak Yan adalah pemimpin tempat kami bernaung. Jika beliau memanggil, pastilah ada misi penting yang harus dilaksanakan. Dia pula orang yang dulu membawaku pulang dari jalanan.

Aku segera bergegas untuk menemui pria paruh baya yang kuhormati tersebut.

***

Aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Atasan biru tua dan celana kain hitam yang kukenakan membungkus tubuh mungilku. Aku lalu segera bergegas menuju ruang pusat tempat Pak Yan tengah menungguku. Dalam perjalanan menuju tempat beliau, aku melihat Vano berdiri bersidekap dan menatapku sambil tersenyum.

"Ck, kau begitu cantik dan manis, Nila, tapi kenapa kau selalu memasang wajah jutek, tapi tidak apa, itu semua membuatmu semakin terlihat sangat menarik," ucapnya.

Aku kembali menatap tajam padanya. Jujur rasa kesal di hatiku belum juga hilang, tetapi akhirnya kuputuskan untuk kembali berjalan dan tidak peduli lagi padanya.

"Kau begitu dingin padaku, Nila, tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa menaklukkan hatimu," ucapnya dari belakangku.

Aku berhenti melangkah dan berbalik. Senyuman miring muncul di bibirku.

"Jangan bermimpi," ucapku dengan dengan suara rendah.

"Sebelum itu terjadi, aku akan membunuhmu lebih dulu."

Aku kemudian kembali berbalik dan melangkah tanpa peduli lagi. Kata-kataku memang terdengar kejam, tetapi aku tidak peduli. Aku lebih suka mereka mati daripada mencoba mengusik hatiku.

***

Kuketuk pelan pintu ruang utama yang berwarna coklat muda.

"Masuklah," ucap suara serak di dalam. Aku membuka pintu dan berjalan masuk. Ruangan berdinding putih itu tidak terlalu luas. Ada lukisan bercorak merah darah yang menjadi satu-satunya pemberi warna di ruangan tersebut. Akan tetapi, mungkin itu sebenarnya adalah motto dari kelompok kami bahwa kami tidak segan untuk membuat darah orang lain keluar dan berujung kematian.

Pak Yan seperti biasa duduk di balik meja. Beliau tidak sendiri. Seorang pria berambut kelabu yang tidak kukenal duduk di hadapannya. Aku tidak terlalu terkejut. Mungkin dia klien kami yang baru, meski teramat jarang seorang klien datang langsung ke tempat kami. Biasanya mereka enggan menunjukkan identitas asli dan hanya menghubungi kami lewat situs online.

"Duduklah," perintah Pak Yan sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. Aku segera menurut dan duduk di samping tamu kami tersebut.

"Beliau adalah Pak Hari. Dia klien baru kita," ujar Pak Yan tanpa diminta. Aku mengangguk. Aku tidak pernah berminat untuk mengetahui tentang klien kami. Yang terpenting bagiku, hanyalah menuntaskan misi yang diberikan padaku.

"Siapa yang harus kubunuh?" tanyaku langsung karena tidak ingin membuang waktu dengan kata-kata bertele-tele.

Pak Yan tersenyum tipis sambil menggeleng.

"Kau begitu bersemangat ingin membunuh orang, tapi kali ini misimu berbeda. Misimu adalah melindungi orang, bukan membunuh orang."

Aku menatap Pak Yan lama. Ingin tahu apa dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Saat melihat dia begitu serius, aku segera bangkit berdiri.

"Aku menolak!" ucapku tegas.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh meimei

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku