Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami Kedua

Suami Kedua

Irma W

5.0
Komentar
13.7K
Penayangan
40
Bab

Pertengkaran di malam pertama membuat Anin tidak bisa berkutik. Dia dikekang sang suami hingga suatu saat adik ipar datang dan membantu. Semua terjadi begitu saja dan rasa cinta pun tumbuh sementara penyesalan juga datang. Lepaskan suamimu, dan menikahlah denganku. Anin harus pergi dan memutuskan.

Bab 1 Bagian Satu

Mohon maaf jika banyak kalimat yang salah. Semoga kalian suka dengan ceritanya.

####

Pernikahan yang megah, tak selalu menjamin kebahagiaan di baliknya. Susana bahagia nan sakral pagi itu, ternyata menjadi petaka kala malam datang. Pria yang berstatus menjadi suami, mendadak berubah karena suatu hal. Menyerah atau berlanjut?

Malam itu, saat usai pernikahan …

“Beruntung aku belum menjamah kamu!” suara lantang itu memekik gendang telinga Anin. Suaranya terdengar menusuk dan sangat nyaring. “Dasar wanita murahan!” hardiknya lagi penuh hinaan.

“Aku bukan wanita seperti itu, Mas!” sahut Anin membela diri. “Jangan percaya dengan foto itu. Itu hanya salah paham.”

Anin masih terduduk memandangi sang suami yang tengah menyalak.

Bagas mendecih. “Jangan sok polos kamu. Bilang saja padaku, sudah berapa banyak pria yang menidurimu?”

Degh! Dada Anin terasa sakit tatkala kalimat itu menyobek raga. Kalimat yang menurut Anin sangatlah keterlaluan.

“Tega sekali kamu berkata begitu!” sahut Anin. “Aku bukan wanita murahan, Mas.”

Bagas melengos. “Sudahlah, nggak usah mengelak. Bicara saja yang jujur, toh aku tidak akan menceraikan kamu.”

“Apa maksudmu?” Anin menatap serius.

“Aku akan menutupi kelakuan bejatmu. Aku masih membutuhkanmu di sini. Bukan sebagai istri yang akan aku sayang, melainkan sebagai senjataku untuk mendapatkan perusahaan ayahku.”

Bibir Anin lantas bergetar dengan mata berkaca-kaca. Di malam pertama setelah pernikahan, bukan kebahagiaan yang Anin dapatkan, akan tetapi sebuah hinaan dan cacian hanya karena sebuah foto syur. Sebuah foto yang memamerkan Anin sedang dipeluk mesra oleh seorang pria di sebuah kelab.

“Tega sekali kamu padaku,” kata Anin sambil menangis. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di foto itu.”

Bagi wanita, menangis adalah cara utama saat menghadapi masalah.

“Jangan khawatir, tak akan ada orang yang tahu tentang kelakuan buruk kamu. Aku akan menyimpannya rapat-rapat.” Bagas menyeringai. “Yang harus kamu ingat, jangan menyentuhku, aku bahkan tak akan menjamahmu apalagi bersetubuh dengan kamu. Jijik aku!”

Bagas berlalu keluar dari kamar meninggalkan Anin sendirian yang masih menangis.

Sebuah pernikahan yang indah di pagi itu, kini harus sirna saat datang malam hari. Anin menangis sejadi-jadinya kala itu. Dibiarkan oleh sang suami di malam pertama, suatu hal yang tak akan bisa Anin lupakan.

Niatnya Anin tidak ingin mengingat kejadian itu, karena memang Anin sudah terbiasa menjalani pernikahan tanpa ada kata sentuhan. Anin selalu disayang saat di depan keluarga mertua, tapi selalu dicaci saat tiada siapapun.

Satu tahun berlalu, nyatanya tak ada yang berubah. Wanita bernama Hanindiya Saputri atau sering dipanggil Anin, tetap harus pura-pura bahagia dengan pernikahannya, sementara di dalam hatinya sedang menyimpan tangis yang amat pedih rasanya.

Suami yang Anin cintai selama ini, sudah berubah. Pria itu bahkan sudah kehilangan selera untuk sekedar menyentuh sedikit bagian kulit mulus milik Anin. untuk bagian lainnya, Anin tidak akan berharap.

Satu tahun, harusnya sudah cukup untuk menjerat sosok Anin, karena Anin memang ingin bebas.

“Duduk sini, Anin,” perintah Sasmita—mama mertua. “Biar Bibi Niah dan yang lain yang membersihkan semuanya.”

Anin mengangguk kemudian ikut duduk. Namun, baru saja duduk Anin terpaksa harus berdiri lagi.

“Ambilkan aku jus dulu,” perintah Bagas. Tentunya dengan nada bicara yang Bagas buat sehalus mungkin.

Anin tersenyum lalu berdiri dan melangkah ke arah dapur.

“Kamu kan bisa minta ambilkan Bibi Niah. Tidak usah memerintah Anin terus,” kata mama.

Bagas acuh. “Tak apa, Ma. Anin kan istri aku. Sudah sepantasnya dia melayaniku.”

Mama mendesah kasar kemudian bersandar pada dinding sofa. Sementara pandangannya fokus ke arah layar televisi, satu tangannya sedang memegang dan memencet tombol untuk mencari acara yang bagus.

“Mau sampai kapan kamu diam terus?” suara serak mengejutkan Anin. “Kamu nggak bosan?” kata dia lagi.

Anin menoleh. Anin tentu sangat mengenali suara itu. Suara milik pria yang sama tampannya dengan Bagas. Sama-sama berpawakan tegap atletis. Hanya saja pria di hadapan Anin saat ini lebih tinggi dari Bagas.

Namanya Jonan, Jonan Hanggoro. Dia Putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Bagas dan Jonan hanya berpaut umur sekitar lima tahun saja.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata Jonan lagi.

Masih sibuk menuang jus ke dalam gelas, Anin menoleh. “Maksud kamu apa?”

“Kamu tidak capek melayani suami kamu yang tidak jelas itu?” tanya Jonan. “Berhenti pura-pura bahagia.”

Anin tersenyum. “Untuk apa aku pura-pura? Aku memang bahagia dengan pernikahanku,” elak Anin.

Jonan terlihat menyeringai. Usai meletakkan gelas yang sedari ia pegang, Jonan maju ke arah Anin. “Yakin kalau kamu bahagia?”

Anin terpojok di sudut meja konter dapur. “Tentu saja aku bahagia,” jawab Anin sambil mencoba menyingkir.

Jonan mendecih. Seperti tak peduli dengan gerak Anin yang mencoba menghindar, Jonan terus mencoba memepet tubuh Anin.

“Berhentilah menyiksa dirimu. Kamu lumayan sebenarnya.” Seringaian muncul di wajah Jonan.

“Awas!” pekik Anin kemudian sambil mendorong tubuh Jonan.

Jonan sontak tertawa getir. “Aku siap menggantikan Bagas jika kamu mau!” kata Jonan saat Anin sudah berjalan keluar dari dapur membawa segelas jus mangga.

Anin mencoba acuh dan terus berjalan meskipun kata-kata Jonan berhasil nyangkut di otaknya. Ini bukan pertama kalinya Jonan berkata begitu. Hari-hari yang lalu Jonan juga sempat menggoda Anin saat tak ada Bagas. Anin tak tahu apa yang direncanakan pria itu, hanya saja terkadang Anin terhibur dengan celotehan Jonan yang tidak masuk akal.

“Kenapa lama sekali?” sungut Bagas sesampainya Anin di dekatnya.

Di ruangan tersebut sudah tidak ada mama atau siapapun. Hanya tinggal Bagas yang semula sedang berbaring.

“Maaf, tadi aku harus ngupas mangganya dulu,” jelas Anin.

“Alasan!” sembur Bagas sambil merebut gelas dari tangan Anin. “Sudah sana! Kau bersihkan kamar. Hari ini aku mau tidur lebih awal.”

Memejamkan mata sesaat, Anin kemudian mengangguk. Tak perlu menjawab. Selain karena memang tidak perlu, toh Bagas tak peduli dengan jawaban Anin.

Anin kemudian berjalan menaiki anak tangga. Langkahnya ia buat lebih cepat karena ada sesuatu yang hampir keluar dari persembunyiannya. Rasanya sesak dan tidak mengenakkan.

BRAK! Anin menutup pintu dengan sangat keras. Tubuhnya merosot di balik pintu dengan kedua kaki tertekuk untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah basah kuyup.

“Sampai kapan? Sampai kapan, Tuhan?” Anim sedang mengadu dalam umpatan. “Aku capek!”

Anin tak tahu kalau ada orang lain di balik pintu bagian luar. Dia sedang berdiri dengan bibir menipis penuh rasa iba. Mungkin ingin menolong, tapi untuk apa?

“Aku harus bagaimana supaya bisa lepas?” Anin masih terisak.

Tak mendengar lebih lanjut, Jonan memilih berbalik kemudian kembali turun ke lantai satu.

“Kamu belum mau tidur?” tanya Jonan saat sudah duduk di samping Bagas.

“Sebentar lagi,” sahut Bagas singkat. Bagas nampaknya masih fokus dengan acara berita malam.

“Aku lihat Anin sudah naik ke atas, kamu tidak menyusulnya?” tanya Jonan lagi.

“Iya, ini aku mau menyusulnya,” Bagas masih acuh.

“Apa kamu sudah bosan dengan Anin?”

Pertanyaan itu membuat Bagas menoleh. “Apa maksudmu?”

“Tidak,” Jonan menaikkan kedua pundak lantas memangku bantal. “Aku hanya merasa aneh dengan hubungan kalian.”

Bagas berdiri usai melempar repot TV di samping Jonan. “Jangan ikut campur. Kamu urus saja urusanmu sendiri.”

Bagas pergi. Jonan terlihat mendengus sebal. “Kalau kamu tak mau, lepaskan saja Anin untukku.”

“Astaga!” pekik Jonan tiba-tiba. “Apa yang aku katakan barusan? Aku sudah gila!”

Jonan menjitak kepalanya sendiri yang mendadak terlihat kurang waras.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Irma W

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku