Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Head Over Heels

Head Over Heels

Nana Kitty

5.0
Komentar
399
Penayangan
40
Bab

Miko adalah musuh tercinta yang mengobrak-abrik perasaannya.

Bab 1 Satu

Memasuki kalender bulan November, kabut putih disertai awan hitam pembawa hujan perlahan bergeser dan menghilang dari pandangan mata, memperlihatkan langit biru yang cerah berawan. Tampak berdiri dengan kokoh dan megah gedung-gedung tinggi pencakar langit, bundaran HI dengan patung Selamat Datang di tengah-tengah air mancur, juga lalu lintas kota Jakarta yang sudah terlihat mulai padat merayap.

Sebagian besar kendaraan didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor, berbeda dengan busway yang melewati jalurnya sendiri. Sementara itu, suara bising klakson juga deru mesin dan knalpot amat menyeruak di telinga. Banyak pejalan kaki berhaluan di pinggir jalan dan memenuhi halte. Entah itu pengamen jalanan, penjual cangcimen, ataupun orang-orang yang baru saja turun dari jembatan penyeberangan. Dan, kemeriahan tampak di sebuah gedung pernikahan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Ishabella binti Rahmadi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas sebesar 4 karat dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Saahhhh!!"

"Alhamdulilah."

Penghulu dan semua tamu undangan yang hadir di tempat itu mengusapkan tangan ke wajah—termasuk dua mempelai yang baru saja resmi menjadi sepasang suami dan istri itu. Ishabella dan Dharma yang nampaknya sudah kepala 4. Mereka tersenyum sebentar sebelum wanita cantik dengan konde di kepala itu mencium tangan Dharma dan dibalas dengan kecup di kening oleh pria itu.

Tak lama kemudian, silih berganti orang-orang berpakaian rapih dengan setelan jas dan berbagai macam dress—yang mungkin saja rekan-rekan kerja mereka, itu saling berjabat tangan mengucap selamat dan cipika-cipiki. Sementara di sudut lain, dua anak muda yang berdiri saling memunggungi satu sama lain itu sedari tadi menatap orangtua mereka dengan pandangan malas dan jengah.

"Ck~ Apa-apaan sih ini, nora' banget deh. Mending nggak usah dateng aja tadi."

Raina sebenarnya tidak tahu menahu akan hubungan Ishabella dan Dharma, wanita itu baru memberitahunya kemarin. Memberitahu kalau mereka mau menikah, dan terjadilah sekarang. Walaupun sudah mati-matian untuk menahan, merajuk, memaksa, mendesak bahkan memprovokasi, bahwa Raina tidak menyetujui dan memberinya restu untuk menikah dengan Om Dharma, tetap saja itu tidak merubah keadaan.

Bukannya gimana-gimana tapi masalahnya pria itu adalah ayah dari musuhnya sendiri sejak masih di bangku Sekolah Dasar—Miko. Tapi ternyata Ishabella sama sekali tidak memperdulikan ocehannya dan malah tetap bersikeras melaksanakan pernikahan ini.

Jelas dong, Raina Megantari—atau kerap disapa Nana, ini tidak suka. Bagaimana mungkin ia bisa menerima status baru—saudara, dengan seseorang yang jelas-jelas sudah memberinya kesan yang buruk sejak kanak-kanak? Bahkan sampai sekarang, Miko masih menjadi cowok yang paling Raina benci. Setelah dulu sering menjadikannya menjadi bahan ejekan sehingga membuat image dan reputasinya hancur begitu saja di hadapan teman-teman lain.

"Orang jelas-jelas pernikahan kayak gini, masih nanya. Dasar bego!" Miko bergumam di sebelahnya.

Kontan, Raina memutar kepala ke arah pemuda itu. Telinganya gatal mendengar kata terakhir yang terlontar dari mulut manis Miko yang selalu menyebalkan dan memancing perdebatan kalau saja Raina tidak pandai menahan emosinya. Seketika, bibir cewek itu mengerucut kesal menatap wajah yang menurutnya sok ganteng dan sok cool itu karena Miko jarang sekali tersenyum, terlebih lagi kepada Raina. Objek bully paling asyik baginya.

"Dih! Siapa juga yang nanya sama situ? Nyambung-nyambung aja, emang kabel putus apa disambung?!" balas Raina ketus.

Miko yang sedari tadi melipat tangan di dada dan melihat ke sekeliling, kini hanya melirik cewek mungil yang memiliki tinggi badan hanya sepundaknya itu dari ekor mata, tanpa disertai gerakan kepala.

"Lo harusnya bersikap lebih sopan sama gua, Monyet. Karena gimanapun juga, mulai sekarang gua udah jadi kakak tiri lo."

"What?!" Raina terkaget mendengar panggilan dari Miko barusan. Keningnya membentuk beberapa lipatan. "Lo sebut gue apaan, tadi?! Coba ulangin sekali lagi!"

Bola mata Miko tampak berputar. Cowok itu segera menghadapkan tubuhnya kearah Raina. "Lo nggak budek 'kan, Nyet?"

Hidung Raina yang mungil langsung kembang-kempis. Atas dasar apa cowok itu bisa seenak jidat dan udelnya memanggil dengan sebutan itu? Benar-benar tidak bisa membuat Raina untuk tidak mengumpat dan menyumpah serapahinya dalam hati. Miko benar-benar cowok yang tidak berperikewanitaan. Tapi, Raina sudah tidak heran, kaget ataupun habis pikir lagi karena ini yang membuatnya membenci sosok Miko.

"Kalo gue monyet lo apaan, hah? Anjing?! Babi?! Gorilla?! Drakula?! Atau apa?!" Raina berkacak pinggang dan mengangkat dagu tinggi-tinggi. Disaat seperti ini, ia merutuki dirinya sendiri yang pendek sehingga membuat Miko bisa dengan mudah mengintimidasinya.

Tawa kecil yang meremehkan tampak menghiasi wajah tampan itu. "Nggak ada satupun yang bener. Kalo lo monyet, maka gue adalah pemburunya. Pemburu yang bakalan nangkep monyet-monyet dan ngebunuh mereka buat dijadiin sate. Kalo nggak, mungkin gue bakalan jadiin alat buat nyari duit. Ya! Topeng monyet! Hahhahahaa.."

Mendelik, Raina kemudian bergidik ngeri sendiri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para monyet di hutan begitu mencerna perkataan Miko barusan. Benar-benar tindakan kriminal, bukan? Sehingga tulang kering cowok itu menjadi sasaran Raina.

Dug!

"Aww! Lo apa-apaan sih, Nyet?!" Miko meringis kesakitan memegangi kakinya.

"Makanya kalo ngomong tuh yang bener! Enak aja ngatain gue monyet! Sekali lagi lo panggil gue dengan sebutan itu, gue nggak bakalan segan-segan buat nendang lo! Inget itu!"

Miko menegakkan tubuhnya kembali dan menepuk-nepuk celananya yang terkena sepatu Raina. "Ya elo kan emang monyet? Gue tanya, makanan kesukaan monyet apa? Pisang kan? Kayak yang Lo makan tiap hari."

Raina mendelik. Jadi, Miko baru saja mengatainya makanan monyet? Menyebalkan, bukan? Bisa-bisanya ia berkata seperti itu. Bagaimana Raina tidak cepat naik darah kalau setiap hari ia bertatap muka dengan Miko yang benar-benar minta dihajar ini. Sungguh, Raina tidak ingin seatap dengannya kalau seperti ini terus. Mungkin, setelah ini ia akan merajuk kepada Ishabella untuk tidak tinggal bersama Om Dharma, walaupun itu hal yang mustahil.

"Lo tuh nyebelin banget sih! Nama bagus-bagus juga, disamain sama monyet! Gila! Dunia emang nggak selebar daun kelor! Sempit banget! Ah! Sumpah! Amit-amit deh gue sodaraan sama lo!" ujar Raina lalu mengetuk-ketuk pelipisnya.

"Lo pikir gua mau sodaraan sama elo? Ogah gila!"

Miko mengalihkan pandangannya kearah lain. Tapi, melihat Raina yang terus saja mengetuk pelipis, membuatnya agak sedikit tersinggung. Ia segera menghentikan pergerakan tangan cewek itu dengan mencekal pergelangan tangannya.

"Heh! Denger ya! Harusnya elo tuh beruntung jadi bagian keluarga cowok ganteng kayak gue, dan yang amit-amit tuh gua! Males banget deh gue punya sodara petakilan kayak elo! Nggak ada bagus-bagusnya!"

Raina langsung menghempaskan tangan Miko yang terlalu kencang memegang tangannya sampai-sampai meninggalkan bekas memerah.

"Apa lo bilang? Gue beruntung? Hell! Lo kali yang beruntung bisa sodaraan sama gue, gue sih ogah punya sodara kayak lo! Amit-amit! Mimpi aja nggak pernah! Idihh! Mending gue sodaraan sama kambing daripada sama lo!"

Rupanya Raina berhasil menyulut emosi Miko, terlihat dari otot-otot wajah tampan itu yang mulai menengang dengan rahang yang sedikit mengeras. Namun, baru saja ingin berucap, suara lain tiba-tiba memotongnya.

"Lo tuh—"

"Tapi mulai sekarang, kalian sudah resmi menjadi saudara, Sayang." ujar Ishabella yang baru saja datang di tengah-tengah perdebatan kecil itu dengan mengapit mesra lengan Dharma.

"Tapi ma—"

"Kita sekarang sudah menjadi satu keluarga. Kamu sebagai Kakak, Miko, harus bisa menjadi contoh yang baik buat adik kamu, Raina. Dan belajar mengalah, jangan bertengkar terus. Kalian ini sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus kami bimbing bagaimana cara menjaga sikap yang baik. Papa berharap sekali, setelah ini kalian bisa akur dan saling menyayangi ya?" Dharma menimpali.

Saling menyayangi?! Ulang Miko dan Raina dalam hati. Mereka hanya bertatapan seolah jijik dengan satu sama lain kemudian menjulurkan lidah seolah ingin muntah saat itu juga.

"Tapi om, aku-"

Dharma mengacungkan telunjuknya. "Pa.pa. Mulai sekarang kamu harus belajar memanggil om dengan sebutan Papa." dan Ishabella menyetujuinya dengan anggukan kecil.

"Terserah papa. Tapi satu hal, aku nggak mau kalo harus serumah sama dia!" Miko menunjuk Raina. Cewek itu langsung berkacak pinggang tidak terima. "Lo pikir gue mau serumah sama elo?! Ogah!"

"Gue nggak mau tau pokoknya lo nggak boleh tinggal di rumah gue, titik."

"Siapa juga yang mau tinggal di rumah lo? Lo pikir gue gembel, nggak punya rumah? Gue bisa kok tinggal di rumah gue sendiri!" balas Raina tak kalah sengit.

"Oke, awas aja kalo lo sampe menginjakkan kaki di rumah gue."

"Kenapa, hah? Lo santai aja, sampe lebaran monyet sekalipun gue nggak bakalan pernah nginjek rumah terkutuk lo itu!" Raina menunjuk-nunjuk Miko. "Males gila, nggak sudi gue!"

Miko mendelik mendengar cacian itu. "Apa lo bilang? Rumah terku-"

"Stop! Stop! Stop! Miko, Raina diem semuanya! Mama nggak mau denger ya, kalian bertengkar lagi. Benci itu boleh, tapi jangan berlebihan. Karena, asal kalian tau aja, benci sama cinta itu cuma beda tipis. Setipis benang. Jadi, mama cuma mau ngingetin, jangan kaget kalo suatu saat kebencian kalian itu berubah menjadi cinta." tutur Ishabella.

Glek~

Raina menelan ludahnya sendiri. Kalau saja ayahnya tidak pergi dengan wanita lain, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi. Terlebih lagi kenyataan bahwa ia dan Miko akan tinggal seatap dengan status saudara. Oh my... Raina bahkan tidak ingat mimpi apa ia semalam.[]

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Nana Kitty

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku