Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menikahi Mantan Istriku Lagi: Cinta Menyembuhkan Patah Hati

Menikahi Mantan Istriku Lagi: Cinta Menyembuhkan Patah Hati

KANTA SABHARWAL

4.9
Komentar
1.8M
Penayangan
437
Bab

Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.

Bab 1 Ayo Kita Cerai

Bzztt.. Bzztt... Bzzztt...

Suara getaran ponsel yang menggelegar memenuhi seisi ruangan yang saat itu begitu sunyi. Mariana Gojali melihat ke arah ponsel tersebut sambil mengantuk, ia lalu mengambilnya dari laci atas laci kecil di sisi tempat tidurnya. Ketika ia melihat nama yang muncul di layar ponselnya, dengan segera ia mengangkat panggilan tersebut.

Ia takut jika ia tidak segera mengangkatnya, maka panggilan tersebut akan di akhiri.

"Halo, Se-selamat pagi." Suaranya sedikit bergetar, ia jelas terdengar gugup dan cemas.

Entah mengapa, setiap saat menerima panggilan dari nomor tersebut, Mariana selalu gugup. Sekarang, meskipun ia tahu bahwa orang yang meneleponnya tidak dapat melihatnya, secara refleks ia merapikan rambutnya yang acak-acakan.

"Aku akan pulang hari ini," kata seorang pria yang memiliki nada suara rendah dari sisi lain telepon.

Jantung Mariana berdegup dengan kencang. Untuk beberapa saat ia tidak bisa mengatakan apapun, kemudian dengan terburu-buru ia mengajukan beberapa pertanyaan," Baiklah, apakah ada yang perlu kusiapkan? Kamu ingin makan apa? Apa aku harus menyiapkan sesuatu untuk-"

"Tidak, tidak perlu." Pria tersebut memotongnya dengan nada dingin, seolah ia berbicara dengan orang asing, dan bukan istrinya.

Pria yang meneleponnya di pagi hari itu adalah suaminya, namun karena sejak awal ia memperlakukan Mariana seperti itu, maka Ia sudah terbiasa akan sikapnya itu.

"Jerry Sitohang.." Sambil meletakan tangannya di perutnya, Mariana menggigit bibir bawahnya dan akhirnya memutuskan untuk memberitahukan suaminya tentang kabar baik yang belum sempat ia beritahukan sebelumnya. "Aku.. Sepertinya, aku..."

"Aku harus pergi sekarang, sudah dulu ya."

Jerry tiba-tiba mengakhiri panggilan tersebut.

Sambil terus memegang ponselnya, Mariana tersenyum getir dan menyelesaikan kalimat yang belum sempat ia ucapkan. "Sepertinya aku hamil."

Mariana dan Jerry sudah menikah untuk waktu yang cukup lama, mereka menikah sekitar tiga tahun lalu. Mariana tinggal bersama keluarga Sitohang, sedangkan suaminya, tinggal di Villa Daun Mas. Selama tiga tahun menikah, baru pertama kali mereka bisa tidur bersama, tepatnya di bulan lalu. Saat itu Jerry sangat mabuk sehingga alih-alih pulang ke Villanya, ia pulang ke tempat tinggal keluarga Sitohang. Gojali tahu, besar kemungkinan Jerry tidak ingat apapun yang terjadi malam itu.

Baru saja ia merasa kehadirannya dalam keluarga tersebut tidak di butuhkan, tanda diduga ternyata ia sedang mengandung.

Namun, Dia ragu untuk memberitahukan kabar tersebut kepada Jerry suaminya, karena ia tidak tahu bagaimana reaksi suaminya.

Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali dan berusaha untuk tidak memikirkan hal tersebut. Pada akhirnya, Mariana juga tidak begitu peduli dengan bagaimana cara Jerry memperlakukannya. Lagipula, Jerry telah memenuhi keinginan masa mudanya, yaitu menikahinya. Saat ini, hal itulah yang terpenting baginya.

Mariana turun dari ranjangnya lalu menuju ke lantai bawah untuk menyiapkan sarapan. Meskipun saat itu masih terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan, ia takut jika suaminya kembali lebih cepat, dan saat Jerry kembali, ia belum selesai menyiapkan sarapannya.

Ia menyibukkan dirinya di dapur selama kurang lebih dua jam. Satu-persatu anggota keluarga Sitohang keluar dari kamarnya dan memasuki ruang makan, namun ia belum melihat suaminya.

Sepanjang hari, Mariana menghabiskan waktunya di lantai bawah, menyibukan dirinya dengan melakukan berbagai kegiatan rumah tangga. Saat malam tiba, ia merapikan meja makan, lalu memperhatikan pintu, menunggu anggota keluarga Sitohang pulang.

"Mariana, aku perhatikan kamu terus melihat ke arah pintu, ada apa? Apa Jerry pulang malam ini?" Nita Margaret, yang saat itu sedang duduk di ruang keluarga dan menonton TV, memperhatikan Mariana dengan penasaran.

"Iya."

Nita tidak menyukai jawaban santai dan singkat Mariana. "Kamu ini benar-benar wanita yang tidak sopan ya! Apa kamu tidak paham bagaimana cara yang tepat untuk memanggilku? Aku tahu aku bukanlah ibu kandung Jerry, namun tetap saja, kamu harus memperlakukanku dengan hormat, bukan?"

Bukannya merespon wanita tersebut, Mariana hanya menundukan kepala dan melanjutkan membersihkan meja makan. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Jerry, Nita adalah orang yang paling banyak bersinggungan dengannya. Lama-kelamaan, ia mengerti bahwa lebih baik bagi dirinya untuk diam saat Nita menemukan kesalahan pada dirinya, karena selama ia tidak membantahnya, Nita akan meninggalkannya setelah beberapa saat. Sebaliknya, jika Mariana membalas perkataan Nita, maka Nita akan menceramahinya habis-habisan.

"Halo, aku sedang bicara padamu. Apa kamu ini bodoh ya?" Nita menaikkan nada bicaranya saat menyadari bahwa Mariana mengabaikannya.

"Kamu ini sudah menikah dengannya selama tiga tahun, tapi Jerry jarang sekali pulang ke rumah ini. Apa tidak sebaiknya kamu instropeksi diri?" Nita mendekati Mariana, lalu memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan jijik. "Tidak ada bagusnya sama sekali! Apa menurutmu Jerry akan tetap menikahimu jika bukan karena urusan politik dan kekuasaan yang dimiliki oleh keluargamu?"

Mariana mengepalkan tangannya untuk meredakan amarahnya dan terus mengabaikan Nita.

Para pelayan di ruangan itu melihat Mariana dengan simpati, namun apa daya, mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Melihat Mariana yang masih saja berdiam diri, Nita semakin mendominasi percakapan tersebut. "Kamu benar-benar jago berpura-pura ya! Biasanya juga kamu hanya tidur seharian dan baru bangun di siang bolong. Apa karena tahu bahwa Jerry akan pulang kerumah, sehingga kamu berpura-pura jadi istri yang baik hari ini?"

Mariana mengerutkan keningnya, namun ia tetap tidak menjawab pertanyaan Nita.

Sampai saat ini, tidak ada satu orang pun yang mengetahui kondisi kehamilan Mariana, ia ingin suaminya menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Memang benar bahwa akhir-akhir ini ia cukup sering terlambat bangun, hal ini sepertinya dipengaruhi oleh kondisi kehamilannya.

"Huuh! Cepat atau lambat, Jerry pasti akan mengusirmu! Dia bukanlah orang yang bisa kamu kendalikan, dan kamu bukan wanita yang baik untuknya. Kalian berdua bukanlah pasangan yang cocok."

Setelah mengatakan hal tersebut, Tina menutup mulutnya dengan tangannya dan tersenyum, matanya begitu sipit saat ia tersenyum.

Pada saat itulah, para pelayan yang ada di ruang keluarga membungkukkan badan mereka dan berkata," Tuan, anda sudah kembali."

Mendengar para pelayan menyambut seseorang pulang, wajah Tina berubah.

Perlahan ia memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang ada di depan pintu. Ketika ia melihat Jerry berdiri di depan pintu, wajahnya menjadi pucat. Lalu ia kembali sadar, dan bergegas pergi ke lantai atas.

Setelah melihat Nita yang melarikan diri dari tempat itu dengan gugup, Mariana berjalan menuju pintu tempat pria itu berdiri.

"Kamu sudah pulang. Apa kamu merasa lelah? Kamu ingin makan sesuatu?" Mariana berjalan mendekatinya dan melepaskan mantel Jerry, sudah menjadi tugasnya sebagai istri untuk melayani suami. Meskipun Jerry jarang sekali pulang ke rumah, namun saat ia pulang, Mariana akan memastikan bahwa ia melayaninya dengan baik.

Jerry masih berdiri di depan pintu dan belum bergerak sedikitpun. Wajahnya tidak menunjukan ekspresi apapun, sehingga sulit bagi orang di sekitarnya untuk tahu apakah ia sedang marah atau senang.

Yang jelas, saat Mariana membantunya melepas mantelnya, ia tidak mengangkat tangannya. Meskipun sebenarnya Jerry tidak suka jika Mariana melayaninya, namun paling tidak Jerry tidak menolak Mariana. Tapi hari ini, Mariana merasakan suasananya yang sedikit janggal.

"Ada apa?" Mariana mengangkat wajahnya, untuk bisa melihat wajah tampan suaminya sambil berusaha menebak apa yang ada di dalam pikiran Jerry. "Apa mungkin karena kamu terlalu lelah? Ayo kita ke lantai atas. Akan ku siapkan air panas di bak mandi agar kamu bisa mandi dan bersantai."

Jerry masih membisu, ia juga tidak melihat ke arah Mariana sama sekali.

Setelah berdiam untuk waktu yang cukup panjang, akhirnya ia melangkah maju dan berkata," Temui aku di kamar. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."

Sambil melihat punggung suaminya saat berjalan ke lantai atas, Mariana merasa lebih gugup dari pada biasanya. Sebenarnya, ia sudah merasa tidak nyaman sejak ia menerima telepon dari suaminya pagi ini. Kali ini benar-benar rasa gugup yang berbeda dari yang biasa Mariana alami saat ia berada di dekat suaminya, biasanya ia gugup karena senang bisa bertemu dengan Jerry.

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di lantai bawah, akhirnya Mariana memberanikan diri untuk naik ke lantai atas dan menemui Jerry.

Pintu kamar tidur mereka terbuka, dan Jerry berdiri di depan jendela sambil membelakangi Mariana.

Ia sosok yang tinggi, dengan perawakan yang sangat ideal, seperti patung yang di pahat dengan baik. Pria yang sempurna ini tidak lain adalah suaminya sendiri! Sering kali Mariana merasa bahwa ini semua tidak nyata, namun di sisi lain, ia juga sangat senang dan bangga akan hal ini.

"Jerry, aku sudah membuatkanmu makan malam. Ayo makan dulu. Semua yang kusiapkan adalah makanan favoritmu." Mariana masuk ke ruangan tersebut dengan nampan di tangannya.

Ketika mendengar suaranya, Jerry segera berbalik untuk melihat wajah cantik istrinya. "Ada sesuatu yang sebenarnya sudah lama kupikirkan. Dan akhirnya, hari ini aku bisa mengambil keputusan."

Mariana menghindari kontak dengan mata Jerry, dan mendekati Jerry dengan senyum di wajahnya. "Ayo kita makan dulu."

Mariana tersenyum malu. Ia mencoba menghindari apa yang hendak dikatakan oleh suaminya.

Lalu Jerry berjalan ke arah Mariana. Ia menghentakan kakinya dengan keras, langkahnya sangat tegas hingga seolah-olah meninggalkan tanda-tanda kemarahan.

Mariana segera menaruh nampan yang ia bawa, dan berpaling untuk pergi meninggalkan Jerry. "Makanlah sesuatu dulu. Akan kuambilkan segelas air untukmu."

Mariana berusaha secepat mungkin untuk melarikan diri, namun Jerry tidak memberinya kesempatan. "Ayo kita cerai."

Seketika Mariana merasa seolah ruang dan waktu di sekitarnya membeku. Dengan membelakangi Jerry, ia membatu dan tidak dapat bergerak sedikitpun.

Setelah terdiam untuk beberapa saat, Mariana lalu berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa, seolah tidak mendengar apa yang baru saja Jerry katakan. "Aku ke lantai bawah dulu untuk mengambil sesuatu."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku