Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
THE ILLUSION
5.0
Komentar
18
Penayangan
5
Bab

Hukum tercanggih di dunia telah lahir! Profesor Eldric harus cepat membawa FANTASIA muncul ke permukaan. Namun, dia malah terancam dikambinghitamkan oleh seorang mahasiswi sosiopat bernama Lumi Savierra. Kesepakatan antara malaikat dan iblis di dunia teknologi pun akhirnya terjadi. Lumi bertekad lolos dari hukuman Fantasia. Sebagai gantinya, Eldric tak boleh menjebloskan Lumi ke penjara biasa setelah perempuan itu membuat seseorang mati. Siapa yang menyangka perasaan istimewa tumbuh di antara keduanya? Bagaimana mereka bisa bersatu sementara terhalang jeruji mematikan? Dapatkah mereka selamat dengan ancaman yang mengintai Fantasia?

Bab 1 Lilmonster

Seorang gadis menyilangkan kaki sambil mengetuk-ngetuk angin. High heels merah yang digunakannya tampak berguncang kecil. Rambut panjang lurus gadis itu menyapu paha saat ia menopang dagu. Kedua bola matanya berputar pertanda ia mulai bosan menunggu.

Terdapat sebuah map berisi beberapa lembar kertas putih di kursi sebelahnya. Meski dia cukup risih dengan benda itu, nyatanya manusia lebih membuatnya risih.

Dia lantas memanfaatkan benda ringan itu untuk membuat jarak dengan manusia lain. Namun tetap saja, sekali lagi dia harus berhadapan dengan dunia yang menyebalkan.

Seorang laki-laki berambut pirang dengan frekles menghampirinya.

“Halo, boleh saya duduk di sebelahmu?” tanyanya.

Gadis itu mendengkus pelan, lalu memutuskan menatap laki-laki itu sambil menyeringai.

“Sebaiknya jangan, kursi ini terkutuk.”

Alis laki-laki itu berkerut. Sebelum akhirnya, seorang sekretaris wanita muncul dari balik pintu.

“Nona Merin?” panggil sekretaris.

Tanpa melepaskan seringainya, Merin beringsut bangun sambil menyambar map miliknya. Dia melewati laki-laki itu begitu saja, lalu masuk ke dalam ruang HRD[1].

“Merin Noella Amyra, nice to meet you!” sapa sang kepala HRD.

Seorang wanita tua dengan kulit yang masih kencang. Dia mempersilakan Merin untuk duduk di sofa empuk.

Mata bulat besar gadis itu memindai seluruh isi ruangan yang menurutnya sudah seperti ruang direktur. Luasnya hampir sama seperti ruang kelasnya. Wajar saja sih, dia sedang berada di perusahaan besar. Ada dua big screen menampilkan karakter-karakter game yang sudah mendunia.

Wanita itu duduk menutupi papan bernamakan Sofia Francheska. Matanya membesar karena menyadari sesuatu yang dipakai gadis itu.

“Oh, mata birumu sangat cantik!” ucapnya basa-basi, “kami senang lulusan terbaik dari Universitas Eagle Technology mau bekerja bersama Opera Games Corporation.”

“Memang sudah tujuan awalku untuk bergabung,” jelas Merin sambil mengeluarkan berkas lamaran.

“Kenapa kamu ingin bergabung dengan tim digital art kami?”

Sementara tangan Sofia lihai memeriksa satu per satu berkasnya dengan antusias, Merin tersenyum tipis. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sehingga membuat senyumannya terpancing.

“Karena ada sebuah karakter yang sangat ingin aku ciptakan.”

“Well, seperti yang kuharapkan. Nilaimu sempurna untuk membuat karakter itu menjadi nyata,” puji Sofia.

Tak lama setelah Sofia mengukuhkan harapan pada Merin, guratan senyum di wajah wanita itu memudar saat memeriksa berkas terakhir.

“Lisensi Fantasia?” tanyanya, “kau—”

Merin mengembuskan napas lembut. “Benar, Mrs. Saya seorang kriminal istimewa.”

“Kalau begitu, mata birumu bukanlah softlens,” gumam Sofia. Ia lalu menatap Merin. “Kejahatan apa yang sudah kamu lakukan?”

Merin tidak langsung menjawab. Untuk beberapa detik, dia memainkan bibir bawah dengan giginya. Memilah-milah kata yang tepat untuk disampaikan, tapi dia rasa hal itu menjadi tidak perlu. Merin membalas tatapan Sofia dengan senyuman, meskipun tersirat kesedihan di dalamnya.

“Aku membunuh seseorang.”

2

Keheningan melanda ruang kelas satu di SD Pertiwi Jakarta. Semula, bocah-bocah cilik itu tak berhenti bersorak gembira karena mendapat rapor pertama mereka. Namun berkat tepukkan hangat dari orangtua, mereka menurut untuk diam sejenak.

Lesung pipi dari seorang wanita muda berbaju formal merekah. Sambil berdiri di samping meja, ia mengambil buku rapor yang tersisa dan sebuah piala.

“Baik, sekarang yang paling kita tunggu-tunggu. Anak-anakku sekalian, beri tepukkan yang meriah untuk juara kelas kita, Merin Noella Amyra!” seru bu guru.

Begitu sebuah nama mengudara, sosok gadis kecil bersepatu merah muncul dari sudut ruangan. Melewati anak-anak yang tepuk tangan dipangkuan orangtuanya.

Ia berjalan sendiri tanpa seutas senyum. Pandangannya seolah sengaja dikosongkan. Kedua tangannya mengepal. Sebelum akhirnya, ia terpaksa merengkuh buku rapor dan piala yang hampir menutupi badannya.

“Selamat ya, Merin cantik. Apa ada yang mau disampaikan kepada teman-temanmu?” tanya bu guru lembut.

Merin merapatkan kakinya. Dia menatap semua orang yang hadir tanpa ekspresi.

“Kenapa membawa ayah dan ibu kalian? Dasar kalian semua iblis! Beraninya pamer orangtua!” geram gadis itu membuat semuanya tercengang.

“Bu guru,” panggilnya, “meski mereka pamer, aku tetap jadi pemenang. Piala ini buktinya.”

Merin tertawa dengan ceria. Menciptakan kengerian di mimik wajah gurunya. Sementara itu, semua yang ada di ruangan menganga dengan tingkah gadis cilik itu.

Merin mengatupkan bibirnya. “Sudah ya, Bu. Merin ngantuk. Merin pulang dulu, dadaaah.”

Sambil merengkuh rapor dan piala, dia berjalan begitu saja keluar ruangan. Seolah telah memahami tingkahnya, guru muda itu hanya melihat punggung anak didiknya perlahan menghilang di balik pintu.

***

Titik tulis dari si gadis bersepatu merah adalah selalu berjalan sendirian. Setiap langkahnya berburu dengan waktu, menjadikan Merin Noella Amyra telah beranjak dewasa.

Sebuah apartemen mewah berdiri di Sydney, Australia diperuntukkan khusus untuk Merin begitu dia meminta dikuliahkan di luar negeri sejak 4 tahun lalu. Menurutnya, berada jauh dari orangtuanya lebih baik daripada merasa dekat, tapi diasingkan. Ayah yang seorang pilot dan ibu yang seorang aktris terkenal membuat Merin tidak bisa menuntut banyak waktu.

Gemericik shower akhirnya berhenti. Tubuh mungil Merin dibalut oleh handuk muncul dari balik kamar mandi. Sambil meremas-remas rambut yang basah, ia menghampiri pelayan wanitanya.

“Gimana? Apa Bi Olaf membawa pesananku?” tanya Merin dengan mata berbinar.

Bi Olaf sedikit menggeser badannya. Menampilkan satu setel pakaian yang tergantung di besi. Merin menyambar jaket kulit merah sepinggang dengan deretan rantai di kedua sisi depan. Mirip seperti personel band rock.

“Bagus! Persis seperti yang aku mau,” puji Merin.

Bi Olaf sedikit mendongak. “Apa tidak terlalu mencolok untuk dipakai kuliah, Nona?”

“Masa bodoh! Aku harus terlihat istimewa di hari penting ini.”

***

Di tengah sebuah ruangan besar dan padat, jari-jemari seorang pemuda menari di atas papan kibord. Matanya sedikit berkedut dan jarang berkedip di depan layar tipis komputer. Cahaya terpantul ke wajahnya, menampilkan rahang yang tegas. Sesekali, telunjuknya mengusap permukaan bibir keritingnya.

Tidak ada siapa pun di sana. Setidaknya, sampai beberapa orang mulai berdatangan.

“Selamat pagi, Profesor!” seru anak laki-laki berambut cepak. Ia memimpin barisan 2 remaja lain di belakangnya.

“Sudah kubilang, Jasper. Panggil nama saja kalau di markas,” keluh sang profesor.

“Maklum, Eldric. Bocah ini memang susah peka. Ketua kan masih seumuran kita,” sambar Olivia Barlie, si gadis pirang berponi.

Sesaat Jasper memajukan bibirnya sambil melirik sinis gadis itu.

“Aku kan cuma waspada. Takut dianggap tidak hormat,” katanya sambil beralih lagi pada Eldric, “oh iya, apa kamu sedang tidak ada kelas?”

Olivia menyela kembali dengan kekehan. “Jasper, apa sih yang kamu tahu? Hari ini kan sidang pertama seluruh jurusan. Eldric tidak mengajukan diri sebagai dewan penilai.”

“Mana aku tahu! Lagi pula, kita bukan mahasiswa di sini. Benar kan, Loey?” tanya Jasper memastikan.

Loey Alexander, anak laki-laki berambut ikal itu tanpa menjawab langsung menekan saklar lampu. Markas yang dibuat Eldric Lee Peterson di sudut gedung Eagle Tech. University pun terpampang. Dosen muda itu membuat khusus markas ini untuk proyek Fantasia.

Sebuah proyek hologram untuk menghukum orang-orang jahat.

Markas Fantasia didominasi oleh lampu-lampu berwarna biru, tapi lampu yang paling terang tetap berwarna putih. Sudah pasti ratusan lilit kabel menghuni tempat itu.

Empat meja komputer membusur ke big screen yang menempel di dinding. Layaknya bunga mawar dalam film Beauty and The Beast, di tengah mereka berdiri sebuah tabung yang mengapungkan benda mirip lensa mata. Memang lensa mata, tapi mereka menyebutnya smartlens. Lensa cerdas yang bisa menyatukan dunia manusia dengan dunia hologram.

Sementara teman-temannya bersiap memulai kembali tugas di meja masing-masing, Eldric masih terfokus pada layar. Ia menopang dagu, memantau angka yang terus bergulir.

CONNECTED 3D POSITION TO SMARTLENS ... 100%

CONNECTED 2D ANGLE POINT TO SMARTLENS ... 100%

CONNECTED TIME POINT TO SMARTLENS ... 100%

CONNECTED LIGHT TOOLS TO SMARTLENS ... 100%

... 7D PLENOPTIC FUNCTION COMPLETE ...

Eldric langsung loncat dari kursinya. “Teman-teman, kita sudah sampai di tahap akhir!” seru dosen itu.

Semangat Eldric sontak menular pada ketiga temannya. Mereka berhamburan menghampiri meja kerja si ketua dengan senyum merekah.

“Bagus! Semua karakter dan situasi yang kuciptakan sudah masuk ke smartlens,” kekeh Olivia.

“Jasper, periksa secara menyeluruh keamanan cyber!” instruksi Eldric. Dia beralih pada Loey.

“Loey, siapkan pengoperasian!”

Kedua anak laki-laki itu langsung mengangguk dan bergegas menjalankan intruksi.

“Kapan kita akan melakukan pengujian?” tanya Olivia.

Alis Eldric berkerut. Kedua tangannya mengepal, penuh dengan tekad dan semangat.

“Besok. Kita akan melakukannya besok.”

Mendengar ketuanya bertekad kuat, kelopak mata gadis itu melebar. Tidak bisa dipungkiri bahwa terselip ketakutan di benaknya. Proyek yang sudah dikerjakan mereka selama 5 tahun akhirnya menemukan titik temu. Tidak, ini bukan akhir. Ini permulaan yang nyata. Namun, helaan napas Olivia menjadi isyarat bahwa dia akan mencoba percaya kepada teman-temannya.

Dia yakin, ini akan berhasil.

Olivia mengangguk. “Kalau begitu, aku akan menghubungi model kita, Isabella Liu.”

Eldric menahan tangan Olivia saat ia hendak berbalik. Gelengan kepala Eldric membuat gadis bermata

elang itu menyipit.

“Biar aku saja. Lagi pula, aku merindukan anak itu.”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Moondazzle

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku