Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Rahasia CEO Arogan

Istri Rahasia CEO Arogan

Simiftahuljannah

4.9
Komentar
117.4K
Penayangan
132
Bab

WARNING! 18+ (Terdapat adegan dewasa dalam cerita, harap bijak dalam memilih bacaan) "Aku tidak mau menikah denganmu!" Tangan Evely bergemetar ketika mengatakan itu, apalagi saat melihat wajah sangar Megantara yang begitu menyeramkan. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menolaknya, hah? Selama ini tidak ada yang berani menolakku! Kau hanya gadis miskin! Seharusnya kau tahu diri!" Megantara menghampiri Evely, pria itu mencengkram dagu Evely kuat-kuat membuat gadis itu merasa semakin ketakutan. "K-kau mau apa?" Evely berusaha menjauhkan wajah Megantara yang semakin mendekat dengan cara mendorong dada pria itu. "Memberi kau pelajaran agar kau tahu siapa aku sebenarnya," ujar Megantara tersenyum sinis. "J-jangan!" Evely berteriak kencang ketika Megantara hendak menciumnya, air mata gadis itu bahkan menetes kian deras saat wajah pria itu kian dekat dan hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahnya.

Bab 1 Evely Candrica Grusell

Seorang gadis yang tahun ini genap berusia dua puluh tahun itu berjalan dengan cepat menuju rumahnya sambil tersenyum riang. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah dan menunjukkan nilai yang ia dapatkan pada ibu serta adiknya, ia berhasil mendapatkan nilai yang tinggi dari semua mahasiswa di kelasnya. Hal itu jelas sangat membanggakan baginya karena ia hanyalah seorang gadis yang berasal dari kalangan bawah, sedangkan kebanyakan dari teman-temannya berasal dari kalangan atas dan sering mengikuti les pelajaran.

Senyumnya meluruh saat melihat sekelompok orang-orang yang berdiri di depan rumahnya sambil mengetuk pintu rumahnya. Orang-orang itu nampak menyeramkan dengan tubuh berotot dan juga tatto yang menghiasi sepanjang lengan mereka. Ia memberanikan dirinya menghampiri orang-orang itu.

"Siapa kalian?" tanyanya.

"Apa kau pemilik rumah ini?" tanya balik salah seorang pria yang memakai kacamata hitam.

"Iya, apa ada yang bisa kubantu?" Sebisa mungkin ia menghalau ketakutan yang dirasakan.

"Kami ke sini ingin menagih utang ayahmu yang sudah jatuh tempo," ujar pria itu.

"Utang? Tetapi selama ini ayahku tidak pernah mengatakan kalau ia dulu pernah meminjam uang," balas gadis itu kebingungan.

"Kau bisa lihat sendiri kertas ini." Pria itu memberikan sebuah kertas berisi jumlah pinjaman yang sempat mending ayahnya pinjam.

Dengan ragu-ragu, gadis itu mengambil kertas itu kemudian membacanya dengan teliti. Wanita itu menutup mulutnya saat melihat nominal yang sangat besar tertera di tulisan paling bawah kertas yang ia bawa.

"Tidak mungkin ayahku meminjam uang sebanyak ini 'kan? Untuk apa dia meminjam uang sebanyak ini?" tanyanya, lebih tepatnya pada dirinya sendiri.

"Kau harus membayar uang itu segera, Nona, karena kalau tidak. Rumah ini akan kami sita, bukan hanya itu saja. Kalian bisa kami laporkan ke pihak berwajib karena tak mampu melunasi utang ayahmu itu," ujar pria itu membuat tubuh gadis itu menegang.

"Bisa beri aku waktu untuk mencari uang? Untuk saat ini, aku sama sekali tidak memiliki uang. Aku mohon, tolong beri aku waktu. Jangan sita rumah kami dan jangan laporkan kami ke polisi." Wajah gadis itu nampak memelas, tangannya bahkan saling menyatu dengan tatapan permohonannya.

Semua yang ada di sana saling pandang, seakan tengah berkompromi dengan permohonan gadis di hadapan mereka.

"Baiklah, tapi kau harus membayarnya secepatnya. Kami hanya akan memberi kau waktu hingga bulan depan, kami akan katakan pada bos kami kalau kau membutuhkan waktu. Tapi sebagai syarat, kau harus bisa membayar bunganya satu persen dari utang itu. Kami beri kau waktu tiga hari untuk mencari satu persen bunga itu," ujar pria yang merupakan tangan kanan seorang rentenir.

"Terima kasih karena kalian sudah memberiku waktu." Meskipun waktu yang diberikan orang-orang itu tidak banyak, tetapi ia merasa beruntung karena setidaknya pria-pria itu tidak mendesaknya segera membayar utang itu hari ini.

Tanpa kata, orang-orang itu pergi dari hadapannya. Meninggalkan dirinya yang terdidik di sebuah kursi panjang rumahnya, ia melirik sekilas ke arah pintu rumah. Ia menghela napas lega saat melihat pintu rumahnya yang tertutup, itu berarti tidak ada orang di rumah. Setidaknya ibu ataupun adiknya tidak tahu mengenai hal ini dan ia pun tidak akan pernah memberitahu hal ini sampai kapanpun.

"Kak Evely sudah pulang?" Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara sang adik.

"Iya, kau dan Ibu dari mana?" tanya gadis bernama lengkap Evely Candrica Grusell itu.

"Ibu bilang, tadi dia ingin pergi ke taman. Jadi aku membawanya ke sana, Kak," jawab sang adik.

"Kamu dari tadi sudah ada di sini?" tanya sang ibu pada Evely.

"Baru aja kok, Bu. Ayo kita masuk," ajak Evely.

"Mana kunci rumah?" tanya Evely pada adiknya yang bernama Glory Candrica Grusell.

"Ini, Kak." Glory menyerahkan kunci rumah pada sang kakak.

Evely bergegas membuka pintu rumahnya, kemudian ia membantu mendorong kursi roda sang ibu bersamaan dengan Glory yang mengikuti dari arah belakang.

"Bagaimana hasil ulanganmu?" tanya sang ibu. Nampaknya Bu Candrica begitu tak sabar mendengar perkataan putri sulungnya itu.

Evely langsung gugup saat ditanya begitu, gadis itu bergegas menyembunyikan kertas yang hendak ia berikan kepada ibunya di dalam sakunya, sedikit meremasnya hingga sepertinya kertas itu pasti akan lusuh.

"Nilaiku sangat jelek," ujar Evely sambil tersenyum sedih. Ia sengaja berbohong karena ia sudah memutuskan suatu keputusan yang besar, ia akan mengorbankan impiannya karena saat ini hanya dirinyalah tulang punggung keluarga.

"Tidak apa-apa, setidaknya kau sudah berusaha keras. Ibu yakin kalau semester depan kau pasti akan dapat nilai yang tinggi," ucap Bu Candrica tersenyum menenangkan putrinya sambil menyentuh lengan Evely.

"Tapi aku tak yakin itu, aku rasa ... kalau sebaiknya aku berhenti saja dari kampus." Evely menghela napas dalam-dalam setelah mengatakan ini.

"Mengapa kau berkata begitu? Apa ada yang mengganggumu di kampus?" tanya Bu Candrica.

"Tidak ada yang menggangguku, Bu, hanya saja saat ini aku merasa sangat menyesal melanjutkan pendidikanku. Tak seharusnya aku tetap lanjut sementara nilaiku terus turun, aku takut kalau nantinya apa yang aku lakukan hanya sia-sia. Lebih baik aku bekerja keras saja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan biaya sekolah Glory," jawab Evely.

"Kau tak boleh berkata seperti itu, Ibu sangat yakin kalau kau pasti akan menjadi orang sukses. Jangan pantang menyerah menggapai impianmu, Ev." Meskipun ibunya mengatakan itu, tetapi keputusan Evely tidak bisa diubah lagi. Ia sudah sangat yakin kalau ia akan mengorbankan pendidikannya karena hanya dirinya lah yang bisa berusaha membayar utang itu. Kalau ia tidak segera membayarnya, maka akan sangat menyakitkan bagi keluarganya.

"Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Bu, aku harap Ibu bisa menghargai keputusanku. Semua ini demi kebaikan kita," ucap Evely sambil menyentuh punggung tangan ibunya.

"Kak, aku tak akan lanjutkan sekolahku. Lebih baik Kakak tetap kuliah," ujar Glory yang sedari tadi diam.

"Tidak, kau harus tetap sekolah, Glo. Pendidikan itu sangat penting, jangan pernah berniat putus sekolah."

"Kalau Kakak menganggap pendidikan itu penting, mengapa Kakak malah ingin berhenti?" Evely terdiam mendengar pertanyaan Glory.

'Sebenarnya aku pun tak ingin berhenti, hanya saja keadaan yang memaksaku. Ini semua demi kebahagiaan kita, maka aku yang harus mengalah.' Evely membatin dalam hati.

"Penting bagimu, tetapi bagi Kakak tak terlalu penting. Kau harus rajin belajar supaya bisa sukses, jangan seperti Kakak." Evely tersenyum sambil mengusap rambut Glory dengan sayang.

"Kau benar-benar yakin dengan keputusanmu, Ev?" Bu Candrica kembali bertanya.

"Aku yakin, Bu." Evely menjawab dengan mantap, ia akan berusaha untuk mengumpulkan uang yang banyak kali ini. Agar kehidupan mereka kembali tenang setelah semua utang itu lunas, fokusnya saat itu hanya ini. Walau ada sedikit perasaan sedih ketika ia harus mengorbankan pendidikannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku