icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
6.8K
Penayangan
33
Bab

Syafira tak menyangka apartemen yang disewanya ternyata berhantu. Pantas saja harga sewanya sangat murah dan para tetangga bergidik ngeri saat tahu Syafira menempati apartemen itu. Tapi dia sama sekali tidak merasa takut. Hantu itu berwajah tampan dan membuat otak pengkhayal Syafira memikirkan berbagai adegan cinta. Hingga akhirnya dia benar-benar terjerat. Mulai merasa nyaman dengan kehadiran si hantu. Menikmati sentuhannya yang dingin. Rindu saat dirinya jauh. Namun perlahan kenyataan menghantam dirinya. Mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Akankah mereka terus bersama dan bahagia selamanya seperti dalam novel yang biasa Syafira tulis atau perpisahan tetap terjadi?

Bab 1 Bertemu Hantu

Aku menyeret tas besarku ke dalam apartemen yang baru kusewa dengan harga murah. Ini langkah besar bagiku. Memutuskan hidup terpisah dari orang tua saat pikiran kami tentang masa depanku tak lagi sejalan.

Sebenarnya aku hanya seorang gadis desa. Seumur hidup kuhabiskan dengan bermain di sawah dan pantai. Tapi aku suka berkhayal. Berharap suatu saat aku akan pergi jauh, berkeliling Indonesia dan bahkan dunia. Hidup berpindah-pindah dengan penghasilan tak seberapa dari hobiku, yaitu menulis.

Orang tuaku sama sekali tidak menyetujui impian itu. Menurut mereka anak gadis sebaiknya di rumah saja. Melakukan pekerjaan yang membuatnya tidak harus lepas dari rumah seperti mengajar, menjadi guru. Yah, wajar mereka menginginkan hal itu karena profesi mereka adalah guru dan tumbuh besar dengan lingkungan pedesaan yang begitu menjaga wanita.

Tapi itu bukan aku. Bukan apa yang kuinginkan.

Aku ingin berpetualang. Memperkaya imajinasiku dengan berbagai pengalaman untuk karyaku berikutnya—dan berikutnya lagi. Tidak berharap muluk akan mendapat cinta selama perjalananku—meski aku adalah penulis novel romantis. Yang kuinginkan hanya pengalaman, lebih banyak teman, dan kisah-kisah yang mungkin mereka bagi.

Meminta izin pada orang tuaku adalah yang paling sulit. Aku menyampaikan keinginanku dengan tertunduk dan bercucuran air mata. Kutahan kekecewaan mereka karena aku tidak melakukan seperti yang mereka inginkan. Dan akhirnya setelah satu jam mendapat nasihat, ceramah, dan bentakan namun keputusanku tidak berubah, mereka memberi izin dengan syarat aku hanya pergi selama dua tahun. Setelahnya aku harus pulang dan mulai memikirkan untuk membangun rumah tangga.

Dua tahun jelas sebentar bagiku. Tapi itu sudah cukup. Dan aku sama sekali tidak menyia-nyiakannya. Dengan berbekal uang yang kukumpulkan dari penjualan novelku, aku mulai berburu apartemen di ibukota. Tempat yang bahkan belum pernah kudatangi.

Apartemen yang kudapat memang bukan apartemen kelas atas. Tapi bagiku sudah sangat mewah. Bahkan harga sewanya amat murah jika dibandingkan harga sewa apartemen kelas menengah pada umumnya.

Awalnya kukira akan mendapati ruangan kosong. Atau fasilitas yang menyedihkan. Tapi ternyata tidak. Tempat itu sudah siap dihuni dengan fasilitas lengkap, rapi, dan bersih. Satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu lengkap dengan tv serta dapur. Tempat yang nyaman dan tenang bagi seorang penulis. Aku yakin pasti betah meski hanya akan menyewanya sekitar dua bulan sebelum pindah ke kota lain.

Yah, setidaknya itu rencanaku.

Barangku tidak banyak. Hanya butuh dua tas besar untuk menampungnya. Semuanya adalah keperluan sehari-hari seperti pakaian, peralatan kosmetik, dan perlengkapan mandi. Lalu tentu saja, laptop, ponsel, serta buku-buku catatan yang tidak boleh tertinggal.

Satu jam di dalam apartemen, aku sudah menata semua barangku lalu menghempaskan diri di ranjang berukuran king size yang empuk. Bahkan seprai dan selimutnya wangi dan lembut yang menandakan baru diganti. Semakin lama, kelopak mataku semakin terasa berat dan alam mimpi berhasil menarikku.

BRAKKK!

Suara keras itu mengagetkanku dari tidur yang belum sepenuhnya lelap. Aku terperanjat bangun lalu duduk di tengah ranjang, menatap sekeliling untuk mencari tahu asal suara keras tadi.

Ah, apa mungkin hanya mimpi?

Mengangkat bahu tak peduli, aku turun dari ranjang dan merasa lapar. Jelas lemari pendinginku masih kosong. Jadi kuputuskan berbelanja bahan makanan di minimarket tak jauh dari gedung apartemen ini.

Setelah mengenakan jaket karena di luar lumayan dingin setelah hujan, aku keluar. Saat mengunci pintu, pintu apartemen di sebelahku terbuka, menampakkan seorang wanita awal empat puluhan yang tampak rapi hendak pergi bekerja.

Mungkin hanya perasaanku saja, tapi kupikir wanita itu kaget melihatku. Kutampilkan seulas senyum untuk menyapa, tak memedulikan ekspresinya yang masih membeku.

“Selamat pagi,” sapaku ramah.

Wanita itu tersentak lalu dengan ragu membalas sapaanku. “Pagi.” Hanya itu yang dia katakan sebelum buru-buru mengunci pintu apartemennya lalu membelakangiku dan bergegas menuju lift.

Aku mengerutkan kening, sedikit merasa tersinggung. Memangnya aku salah apa? Apa aku terlihat seperti orang gila yang harus dihindari?

Menghela napas, aku mengenyahkan pikiran buruk tentang wanita itu lalu melangkah tenang.

Tiba di lobi, aku tersenyum pada bagian penerima tamu dan satpam yang membukakan pintu. Tapi baru beberapa langkah keluar, seseorang menghampiriku. Ternyata dia adalah wanita yang tadi buru-buru pergi setelah melihatku.

“Hai. Aku minta maaf karena tadi langsung pergi begitu. Aku pasti menyinggungmu,” ujarnya tanpa basa-basi dengan raut bersalah.

“Eh,” aku tergagap. Bingung harus mengatakan apa tapi lalu memilih tersenyum. “Tidak apa-apa. Anda pasti terburu-buru.”

“Ah, iya. Seseorang sedang menungguku di sini. Setelah urusanku selesai, aku baru menyadari bahwa sikapku tadi kasar.”

“Tidak perlu dipikirkan lagi,” kataku tulus. Sekarang aku yang merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk tentangnya.

“Jadi, kau yang sekarang menempati apartemen itu?” tanyanya kemudian.

“Ya, baru pindah pagi ini.”

Dia mengangguk dan tampak—gelisah? Takut? Entahlah. Yang jelas semacam itu. Bahkan kupikir dia hendak mengatakan sesuatu namun ragu dan akhirnya batal mengatakannya.

“Eh, ngomong-ngomong namaku Syafira. Panggil saja Fira,” aku mengulurkan tangan.

Wanita itu tersenyum lalu menjabat tanganku. “Astrid. Dan tidak perlu terlalu formal padaku. Tapi kau memang masih terlihat sangat muda.”

“Sudah dua puluh empat. Tidak muda lagi.” Aku menyeringai.

Dia terkekeh geli. “Tapi aku lima belas tahun lebih tua darimu. Jadi kau jauh lebih muda.” Lalu dia menunduk menatap jam tangannya. “Aku harus pergi sekarang. Kantorku agak jauh. Jadi kalau tidak bergegas, aku akan terjebak macet dan terlambat.”

“Ya, hati-hati.”

“Kau mau ke mana?” tanya Astrid sebelum berbalik.

“Ke minimarket. Lalu mengurung diri di apartemen baruku.” Aku bermaksud melucu. Tapi merasa bingung karena yakin tadi Astrid meringis ngeri seraya bergidik.

“Oh.” Hanya itu tanggapan Astrid kemudian. “Dah, sampai jumpa lagi.” Dia melambai seraya berbalik lalu bergegas pergi.

Sejenak aku masih memperhatikan punggungnya yang kian menjauh. Tapi lalu angkat bahu dan bergegas ke minimarket. Mendung kembali menggantung di langit. Aku tidak ingin pulang dalam keadaan basah kuyup.

***

Pukul sembilan malam, aku menggeliat senang karena berhasil menyelesaikan empat bab. Ini prestasi baru bagiku. Biasanya aku hanya sanggup menulis paling banyak tiga bab sehari. Ini membuatku kian optimis. Pilihanku tidak salah. Suasana baru memang membantu melancarkan aliran ide dalam kepalaku.

“Oke, sekarang waktunya istirahat!” seruku pada diri sendiri. “Hmm, apa ya? Membaca mungkin?”

Yah tadi di minimarket aku tidak bisa menahan diri untuk membeli tiga novel terjemahan karya penulis favoritku. Sekarang aku amat tidak sabar untuk segera melahapnya.

BRAKK!

Aku terperanjat kaget lalu membeku di tempatku duduk. Ya, aku duduk di lantai antara sofa dan meja ruang tamu. Laptopku yang tergeletak di meja sudah ditutup dan kusingkirkan ke samping. Dan yang membuatku tidak bisa memalingkan wajah adalah novel yang tadi kupikirkan kini sudah tergeletak di atas meja tepat di depanku, seolah baru saja dijatuhkan dari langit-langit. Padahal aku ingat betul buku-buku yang tadi kubeli masih tergeletak di atas ranjang.

Seketika jantungku berpacu cepat. Adrenalin menguasai diriku. Perlahan aku mendongak, membayangkan akan melihat sesuatu yang mengerikan melayang di atasku. Tapi tidak ada apapun di sana.

Dengan gerakan cepat, aku menoleh ke sekeliling ruangan. Tidak ada apapun. Hanya aku. Sendirian.

“Oh, baiklah. Sepertinya aku punya bakat tersembunyi. Benda apapun yang kupikirkan akan langsung ada di hadapanku.”

BRAKKK!!

“Aaaa!!”

KLONTANG!!

Kali ini aku tidak bisa menahan teriakan kagetku. Kedua tanganku menangkup dâda, berharap bisa meredakan debar jantungku yang menggila setelah sebuah panci jatuh ke atas meja lalu terguling ke lantai.

Mendadak kemarahan menguasaiku. Aku berdiri, berkacak pinggang, dan mendongak angkuh ke ruangan itu. “Hei, siapapun kau! Jangan harap bisa membuatku pergi dari sini dengan menakut-nakutiku. Aku tidak berniat mengganggu jadi kuharap kau juga tidak menggangguku.”

Aku bukan orang indigo. Tapi dari kecil aku percaya bahwa makhluk dari alam gaib memang ada meski aku tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan mereka kecuali saat ini. Tentu saja aku merasa sedikit ngeri saat buku tiba-tiba jatuh di hadapanku. Tapi kemudian yang kurasakan adalah kemarahan saat membayangkan panci itu jatuh ke atas laptop yang penuh dengan karyaku.

Ayolah, bagi seorang penulis, hasil tulisannya adalah anaknya. Jadi bagaimana aku tidak marah membayangkan anakku terluka?

Kalimatku tadi tidak mendapat tanggapan. Mungkin ‘dia’ sudah sepakat. Tapi saat aku hendak duduk kembali, mendadak lampu mati, menyala beberapa detik kemudian lalu mati lagi.

Takut?

Anehnya tidak.

Aku menjulurkan kedua kaki lurus melewati bawah meja. Punggung bersandar di tepi sofa dan kedua tangan terlipat di depan dâda. Tatapanku mengarah lurus pada dinding putih di atas tv layar datar 24 in. Otak khayalku berputar, sama sekali tak terganggu dengan lampu yang terus berkedip.

Ada hantu di sini.

Dia berwajah tampan dan kesepian. Selalu mengganggu siapapun yang datang hanya untuk mencari teman. Tapi—

“Aku sama sekali tidak butuh teman.”

Aku tersentak, menoleh sekeliling mencari sumber suara. Tapi lagi-lagi tidak ada apapun. Bahkan suara itu hanya seperti desisan yang dibawa angin. Dan berhasil membuat bulu kudukku meremang.

Tapi lucunya, aku masih tidak takut. Dibayanganku saat ini hantu itu berwajah tampan. Dan itu malah membuatku penasaran ingin melihatnya.

BRAKKK!

Aku tersentak lalu menoleh ke arah pintu kamar yang tadi dibanting dengan keras hingga tertutup. Jantungku serasa akan lepas karena kaget.

“Bisakah kau tidak bersikap menyebalkan seperti itu?” tanyaku. “Mungkin kita bisa berteman.”

Siapa tahu aku bisa sedikit mengorek informasi darinya lalu membuat novel genre horor romantis. Pasti seru.

Dan gila!

Sebagai tanggapan, lampu mati sepenuhnya. Kegelapan yang pekat menyelubungiku. Aku berdiri seraya menyalakan senter di ponsel lalu menuju tombol lampu.

Klik.

Tidak ada yang terjadi. Suasana masih gelap. Aku mencobanya lagi, berkali-kali, dan tetap tak terjadi apapun.

“Kau tahu? Kau benar-benar tidak ramah. Seharusnya kau bilang baik-baik jika lebih suka kegelapan. Kita bisa berkompromi.”

Lihat! Baru sehari di tempat baru dan aku mulai terdengar gila. Mungkin dua tahun kemudian orang tuaku harus menyeretku ke rumah sakit jiwa.

Dengan pencahayaan minim dari senter di ponsel, aku menuju kamar yang pintunya masih tertutup. Begitu pintu terbuka, lagi-lagi kegelapan yang menyapaku.

“Hei, dengar. Aku hanya akan tinggal di sini selama dua bulan. Setelah itu aku akan pergi dan kau bisa tenang kembali. Tapi selama aku di sini, bisakah kita berdamai?”

Sebagai jawabannya, tubuhku terdorong ke atas ranjang. Aku jatuh telungkup dan ponselku terlempar jauh dengan senter yang masih menyala.

BRAKK!

Lagi-lagi suara pintu kamar yang dibanting hingga tertutup. Saat aku hendak bangkit, sesuatu yang berat terasa menindih punggungku.

“Kenapa kau tidak takut?”

Suara yang sama, desisan yang seolah dibawa angin terdengar menyapa telingaku.

“Entahlah… argh!”

Aku meringis saat belakang leherku terasa seperti dicengkeram tangan yang kuat lalu didorong ke ranjang hingga pipiku tertekan.

Baiklah, coret kata kesepian. Dia bukan kesepian, tapi hantu yang marah. Dia memergoki istrinya selingkuh di dalam rumahnya sendiri, di apartemen ini. Dia sudah siap menghabisi sang istri dengan selingkuhannya tapi gagal dan malah si selingkuhan berhasil menikamkan pisau ke perutnya. Akhirnya dia menjadi hantu dan selalu marah tiap ada wanita yang masuk ke apartemen ini. Tapi kemudian seorang wanita berhasil memikatnya dan membuatnya jatuh—

“Aku tidak pernah mendengar omong kosong sejenis itu di kepala seseorang yang ajalnya sudah mendekat.”

Nada kesal dalam kalimat itu membuatku tidak bisa menahan tawa geli. Ternyata hantu bisa kesal juga. “Kau yakin sekali bisa membunuh orang? Apa sudah pernah melakukannya?”

“Tidak. Tapi semua penghuni apartemen ini sebelumnya selalu berakhir sekarat di minggu pertama kedatangannya.”

“Hebat.” Aku membiarkan nada mengejekku terdengar jelas di antara perjuanganku untuk tetap bisa bernapas.

“Dan kau akan berakhir malam ini juga. Kau berhasil membuatku sangat marah.”

Lucu, aku akan jadi hantu perawan. Ah, tapi sepertinya itu bagus juga. Hantu perawan dan hantu perjaka terjebak dalam apartemen ini. Awalnya saling membenci. Tapi kebersamaan mereka yang dipaksakan membuat keduanya saling jatuh cinta dan—

“Apa tidak ada lagi yang bisa kau pikirkan selain cinta-cintaan?”

Suara makhluk itu yang sebelumnya berupa desisan kini berubah menggeram marah. Lalu mendadak, sesuatu yang terasa menindihku menghilang, bersamaan dengan cengkeraman di belakang leherku.

“Hah… hah… hahhh…”

Aku buru-buru menarik nafas, merasa lega karena leherku tidak patah. Lalu perlahan aku bangkit, duduk di tengah ranjang dengan pandangan mengarah ke pintu kamar.

Tidak ada yang bisa kulihat di antara kegelapan dan sedikit cahaya dari senter ponsel di sisi lain ruangan. Dan tidak ada pergerakan apapun yang bisa menjadi petunjuk bahwa bukan hanya aku dalam ruangan itu. Tapi aku yakin, dia ada di dekatku. Memperhatikanku dengan seksama dan mencari ide lain untuk kembali menggangguku.

“Aku serius ingin berteman denganmu. Aku akan menghormatimu sebagai pemilik tempat ini dan kau juga harus menghormatiku sebagai teman sekamar. Itu tidak sulit, kan?”

Hening.

“Apa itu artinya kita sepakat?”

Tetap tidak ada jawaban.

Aku melirik sekeliling. Semuanya terlihat normal. Kegelapan yang biasa.

“Apa aku sudah boleh menyalakan lampu?”

Tak ada tanggapan.

“Aku anggap itu jawaban iya.”

Aku menggeser tubuhku ke tepi ranjang. Tapi saat hendak menurunkan kaki, mendadak bayangan hitam berkelebat lalu menghantam tubuhku, membuatku jatuh telentang di atas ranjang.

Astaga, ini sakit sekali!

Dâdaku seperti baru saja ditendang, membuatku susah nafas dan terbatuk-batuk. Saat rasa sakitnya mulai reda, aku menyadari ada benda panjang yang tampak berkilat di antara gelap. Benda itu melayang di atasku, seolah digenggam kegelapan. Kengerian menguasai diriku saat aku menyadari benda apa itu.

Pisau.

Tatapanku terpaku pada ujung pisau yang tajam dan mengarah ke wajahku. Jaraknya semakin dekat, membuat bulu kudukku kian meremang.

Pisau itu semakin dekat ke jantung si wanita. Dia memejamkan mata, siap menerima rasa sakit dengan kengerian yang nyata di wajahnya. Namun bukan rasa sakit yang ia rasakan kemudian. Melainkan bibir lembut yang menyentuh bibirnya pelan, semakin lama semakin liar hingga nafas keduanya tersengal…

“Itukah yang kau inginkan?”

Suara itu lagi, membelai telingaku bagai nyanyian merdu.

“Eh, apa?” Aku tidak bisa langsung mencerna kalimat itu. Tatapanku masih terpaku pada mata pisau dan otakku mulai berkelana lebih liar, membayangkan ciuman itu berubah semakin panas.

“Kau ingin kucium?” Kali ini suaranya terdengar lebih pelan, dalam, dan menggoda.

Aku mulai mengerti. Makhluk ini membaca apa yang kupikirkan. Dan itu membuat wajahku memerah malu. Setelah dipikir lagi, sebelumnya makhluk itu juga melakukannya. Tapi aku tidak benar-benar memperhatikan.

“Tidak, bukan aku. Dari situasi ini, aku membayangkan sebuah kisah yang bisa kutulis.”

“Dan kau mejadikan kita berdua sebagai tokohnya.”

“Ya, kau. Dan wanita dalam khayalku. Aku tidak pernah menjadikan diriku sendiri sebagai tokoh dalam ceritaku.”

“Omong kosong. Aku melihatmu—dan aku, dalam otakmu.”

“Ah, baiklah. Terserah.” Lagipula itu bukanlah yang paling penting dalam situasi ini. “Kalau kau bisa membaca otakku, jadi aku yakin kau sudah tahu bahwa aku tidak memiliki niat buruk. Aku hanya ingin tinggal selama dua bulan. Dan sebagian besar waktuku hanya untuk menulis. Aku benar-benar tidak ada niat mengganggumu.”

“Tapi kehadiranmu sudah mengganggu. Aku tidak suka ada orang di tempatku. Dan siapapun yang berani membuatku kesal, tidak akan selamat.”

Itu memberiku ide lain…

Hantu itu tidak suka ketenangannya terusik. Kehadiran seorang wanita dalam apartemen ini membuatnya terganggu. Dia ingin menyingkirkan si wanita namun—

Kegelapan di atasku terdengar menggeram lalu terasa dia menindihku, lagi.

“Apa hanya itu isi otakmu?”

Kali ini suaranya menggema, mengirimkan gelenyar tak nyaman ke seluruh tubuhku. Tapi lagi-lagi, aku masih tidak merasa takut. Hanya semakin bersemangat dengan ide-ide yang mengalir deras, tak sabar untuk segera dituangkan.

“Wajar… hhh… aku… penulis…” Aku kesulitan bernafas. Dâdaku terasa sesak.

“Itu membuatku penasaran…”

Aku tak lagi memperhatikan suara itu. Rasa sakit di dâdaku berkembang menjadi pedih. Nafasku semakin tersendat.

“Apakah yang kau pikirkan cukup menyenangkan untuk dipraktekkan? Lebih menyenangkan dari sekedar mendengar teriakan dan rasa takut…”

Kegelapan semakin mendekat, membuatku tenggelam. Lalu tidak ada lagi yang bisa kupikirkan.

----------------------

♥ Aya Emily ♥

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Aya Emily

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku