Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CEO Dingin Itu Penyelamatku

CEO Dingin Itu Penyelamatku

Dian Safitri

5.0
Komentar
599.6K
Penayangan
119
Bab

Embun kira dengan menikahi pria yang dicintainya maka hidupnya akan bahagia, tapi ternyata dugaannya salah besar. Pria yang dinikahinya itu tak seperti apa yang Embun bayangkan selama ini. Bukan kehidupan rumah tangga penuh cinta, melainkan neraka yang diciptakan sang suami untuknya. Putra, suaminya mencintai wanita lain yang bahkan telah Embun anggap layaknya kakak sendiri. Embun tak tinggal diam, dan sebagai seorang istri dia rela melakukan berbagai macam cara demi bisa mendapatkan cinta suaminya. Namun, saat kehadirannya tak lagi dianggap, saat semua pengorbanan dan perjuangannya dipandang sebelah mata, akankah Embun tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya? "Cintai aku sedikit saja, Kak," lirih Embun pilu usai menghabiskan malam bersama Putra. Bukan kata cinta yang Embun impikan selama ini dapat dia dengar, melainkan seperti sebilah pisau yang menghujam jantungnya saat suaminya menggaungkan nama wanita lain di akhir penyatuan mereka.

Bab 1 1. Ternyata Bukan Aku Pemilik Hatinya

"Nah, selesai. Kau bisa melihat hasilnya sekarang," ucap penata rias pada seorang gadis yang sedari tadi tak henti mengukir senyum di wajahnya.

"Wow, kau sangat cantik Embun."

Wanita berusia 29 tahun itu mendekati adik iparnya, membantu Embun bangun dari kursi.

"Kau membuatku malu, Kak," cicit Embun.

"Aku berani bersumpah, dan aku tidak bohong. Kau memang sangat cantik, Sayang."

Gadis bernama Embun itu menatap pantulannya di depan cermin. Riasan flawless membingkai wajahnya yang berbentuk oval. Sapuan make up tipis namun semakin mempercantik wajahnya yang dihiasi bulu mata lentik. Manik mata kecokelatan bak kacang almond itu terus memendarkan binar kebahagiaan.

"Aku sangat gugup Kak," bisik Embun pada wanita yang belum lama ini menjadi kakak iparnya. Kedua tangannya saling memilin saking gugupnya.

"Wajar, Kakak juga dulu begitu. Usahakan untuk rileks dan tetap tenang."

Embun mengangguk, lagi-lagi melemparkan senyum sekedar mengurangi kegugupannya.

"Maaf, saya masih harus merapikan ini dulu, Nona." Penata rias meraih wedding vail yang tersemat di balik rambut Embun.

Calon pengantin itu sedikit membungkuk membiarkan penata rias melakukan tugasnya dengan leluasa.

"Apa kau tidak merasa jika riasannya terlalu tipis?" Bella, kakak ipar Embun bertanya pada penata rias.

"Tidak Nona, wajah Nona Embun sudah sangat cantik dan saya hanya perlu memolesnya dengan sedikit riasan tipis."

Bella mengangguk. Jika dilihat, riasan seperti itu memang cocok untuk gadis seusia Embun.

"Aura kecantikannya begitu terlihat tanpa perlu memolesnya dengan make up tebal Nona," kata penata rias itu lagi.

Kakak ipar Embun mengangguk setuju dengan pendapat penata rias lalu berkata, "Kau boleh pergi." Sambil mengibaskan tangannya.

Wanita itu membimbing Embun untuk duduk kembali. "Tunggu sampai kakakmu datang menjemputmu."

"Baik, Kak."

Bibir tipis berpoles gincu merah itu terus merekah membingkai senyum, Embun tak sabar menantikan proses pergantian statusnya menjadi seorang istri. Sudah sejak lama dia memendam perasaan cintanya pada Putra, lelaki yang merupakan teman dekat kakaknya.

Dulu, setiap pulang sekolah, diam-diam Embun akan mencuri pandang pada lelaki itu. Cinta monyet, orang menyebutnya demikian akan tetapi makin hari perasaannya pada Putra semakin bertambah dan tak ada yang berbeda sampai Embun menginjak usia dewasa.

Tibalah hari ini, hari yang setiap malam begitu dimimpikan oleh Embun. Harapannya untuk menjadi Nyonya Putra Arifin Wicaksana akan terlaksana dalam hitungan jam. Embun tak sabar untuk melihat pengantin prianya, calon suaminya. Debaran jantungnya menggila setiap kali ia teringat pada lelaki itu.

Daun pintu terbuka lebar seiring dengan munculnya sosok gagah yang berdiri menjulang di ambang pintu.

"Ya Tuhan, Sayang. Kau sangat cantik."

Satria tertegun melihat penampilan adiknya yang jauh berbeda dengan kesehariannya. Balutan gaun pengantin mewah dengan taburan Swarovski menambah kesan elegan. Embun terlihat jauh lebih dewasa dari usia yang sebenarnya.

"Hei, simpan air matamu itu. Ini adalah hari bahagia adikmu, jadi jangan coba-coba untuk merusaknya dengan menangis." Bella menghampiri suaminya, memeluknya sebentar.

"Apa ini benar Embun adikku yang manja itu?" Embun mencebik mendengar penuturan kakaknya, keduanya berpelukan.

"Kakak sampai tidak mengenalimu. Ternyata kau sangat cantik dan sudah besar sekarang, sudah mau jadi istri orang," Lanjut Satria.

"Kakak."

Sama seperti Satria, Embun pun tak kuasa menahan haru yang merebak di dadanya. Satria mengurai pelukan itu lalu membingkai wajah adik kesayangannya, satu-satunya keluarga yang ia punya semenjak kepergian kedua orang tuanya.

"Jangan menangis. Ini hari bahagiamu dan kamu sudah begitu lama menantikannya, bukan begitu?" Satria mengecup dahi adiknya.

Embun mengangguk, cairan bening yang ia tahan sedari tadi menerobos paksa hingga bergulir di pipinya. Satria menyeka dengan ibu jarinya.

"Calon suamimu sudah menunggumu di depan, sebaiknya kita cepat keluar sebelum dia semakin bosan menunggu." Satria menggoda adiknya.

Wajah yang semula diliputi mendung itu berubah menjadi secerah mentari pagi. Satria memberikan tangannya untuk diapit sang adik.

Penata rias datang untuk merapikan kembali gaun dan penampilan Embun, lalu kakak beradik itu keluar melewati karpet merah yang membentang panjang dengan mempelai pria di ujung yang berbeda.

Bella melangkah mengekori suami dan adik iparnya sambil sesekali membetulkan ekor gaun pengantin Embun yang menyapu lantai.

"Kakak bahagia bisa melepasmu bersama pria yang kamu cintai, Embun," ucap Satria setengah berbisik. Langkah kaki keduanya selaras dengan musik pengiring yang mengalun merdu memenuhi gedung resepsi.

"Terima kasih Kak, hanya itu yang bisa aku katakan padamu. Kau adalah kakak terbaik di dunia. Kau adalah pahlawanku, Kak." Embun menjawab dengan berbisik juga tanpa mengalihkan pandangannya.

Tubuh mungil itu bergetar hebat melihat pria dengan setelan tuxedo dan korsase bunga yang terselip di saku jasnya, tengah berdiri menantinya di ujung karpet. Langkah mereka kian dekat, seiring dengan debaran jantung Embun yang bertalu dua kali lebih cepat dari biasanya.

Langkah mereka perlahan terhenti tepat di hadapan Putra. Satria memberikan tangan Embun pada calon mempelai pria yang tak lain adalah sahabat karibnya.

"Aku serahkan tanggung jawabku padamu. Cintai dan jaga dia seperti kita menjaga persahabatan kita selama ini," pesan Satria pada calon suami Embun.

"Tentu." Putra menjawab singkat.

"Jangan segan untuk menegurnya jika dia salah, bimbing dia agar menjadi istri yang baik dan kembalikan dia padaku dengan cara yang baik jika kamu sudah tidak mencintainya lagi suatu hari nanti."

Momen seperti ini terasa begitu mengharukan. Embun menatap kakaknya dengan tatapan bangga karena pria itu sudah menjaganya dengan baik selama ini.

"Aku akan selalu menjaganya."

Putra menggantikan Satria mengapit Embun, keduanya berjalan menghadap pemuka agama yang telah bersiap di depan mimbar.

Pemuka agama pun memulai jalannya upacara pernikahan. Masing-masing calon pengantin mengucap janji suci pernikahan, dilanjutkan dengan pertukaran cincin.

Tangan Embun bergetar sampai-sampai cincin yang hendak dia sematkan di jari manis Putra hampir terjatuh. Sesekali ia memberanikan diri melirik ke arah lelaki itu. Sama sekali tak ada yang berubah, wajah itu tetap tenang sedalam lautan. Ekspresi wajah yang dingin dan datar, hingga Embun tak dapat meraba perasaan pria yang baru saja resmi menjadi suaminya.

Tepuk tangan meriah para tamu undangan mengembalikan kesadaran Embun akan lamunan panjangnya. Para tamu bersorak menginginkan wedding kiss.

Embun menatap ragu suaminya, selama ini Putra yang dia kenal adalah sosok pria yang tak suka mengumbar kemesraan. Jangankan berciuman, jalan berdua sambil berpegangan tangan saja sangat jarang mereka lakukan. Ciuman pun hanya sebatas di kening.

Putra seakan tak terpengaruh sama sekali meski para hadirin mendesaknya untuk segera melakukan wedding kiss. Dan tebakan Embun benar, Putra mendekatkan wajahnya dengan hanya mengecup keningnya sekilas. Embun kecewa, tapi ia berpikir jika Putra akan menjadi suami yang hangat ketika mereka hanya sedang berdua saja. Ia tahu betul tabiat Putra yang tak suka mengumbar kemesraan di depan orang-orang.

Sorak pengunjung yang kecewa lantaran tak mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan hanya ciuman di kening. Apa bagusnya acara pernikahan tanpa wedding kiss seperti yang dilakukan kebanyakan pasangan pengantin baru, pikir para tamu undangan.

Setelah pelemparan buket bunga, pembaca acara pun mempersilakan para tamu undangan untuk menikmati jamuan. Putra mengajak Embun duduk di pelaminan, beristirahat sebentar sebelum mereka diserang antrean panjang para tamu yang datang untuk memberikan restu.

"Kau mau minum?" Kalimat pertama yang meluncur dari bibir Putra setelah sekian lama kebungkamannya.

Embun mengangguk menerima botol dengan sedotan yang disodorkan Putra.

"Terima kasih, Kak."

Bibir lelaki itu melekuk tipis, bukan sebuah senyuman akan tetapi lebih mirip seperti sebuah seringai dan Embun terbiasa dengan hal itu. Lelaki yang kini resmi menjadi suaminya memang tipikal orang yang irit bicara dan jarang tersenyum.

"Hanya untuk air minum saja kau sampai berterima kasih."

"Salah satunya."

Putra diam menunggu kelanjutan dari ucapan Embun.

"Ya, aku berterima kasih karena Kakak sudah memberiku minum, tapi itu hanya salah satu alasanku berterima kasih. Alasan utamaku berterima kasih adalah karena Kakak telah menikahiku. Terima kasih mau menikah denganku, Kak." Embun memperjelas ucapannya.

"Aku kira apa." Menjawab dengan datar.

"Aku tahu ini pasti akan terasa aneh karena kita hanya berpacaran sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah," Lanjut Embun.

"Kita sudah sepakat untuk menjalaninya Embun. Kita masih sama-sama belajar untuk menjalani peran kita masing-masing," ujar Putra.

"Ya, Kakak benar."

Percakapan keduanya terputus saat Putra meminta izin pergi ke kamar kecil, Embun melanjutkan perbincangan dengan kerabat suaminya.

Putra berkali-kali menyentak napas panjang seolah sedang mengeluarkan beban yang terasa menghimpit dadanya. Ia berjalan pelan menuju kamar kecil bukan lantaran untuk menuntaskan hajatnya, tapi agar bisa sejenak menyingkir dari acara itu.

"Put!"

Panggilan seseorang menghentikan langkah Putra, pria itu berbalik menoleh ke arah sumber suara. Putra tersenyum kecut pada gadis yang saat ini tengah berjalan ke arahnya.

"Selamat." Gadis itu mengulurkan tangannya. Cukup lama telapak tangan itu menggantung di udara karena Putra tak kunjung menjabatnya.

Putra menarik tangan gadis itu dan membawanya sedikit menyingkir di lorong yang sepi. Tanpa aba-aba ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya, dan tak lama setelahnya terdengar isak tangis lirih.

"Maafkan aku. Aku memang pengecut," lirih Putra penuh sesal.

"Jangan salahkan dirimu karena nyatanya aku pun tak sanggup, Put. Aku nggak bisa hidup tanpamu."

"Jangan menangis. Meskipun aku menikahinya tapi bukan berarti hati dan cinta ini menjadi miliknya. Hanya kamu seorang yang aku cintai, Giska." Putra berujar.

Wanita bernama Giska itu terus menangis tersedu, membuat tuxedo yang membalut dada bidang Putra menjadi basah karenanya.

"Ternyata aku nggak bisa hidup tanpa kamu Put. Ini terlalu menyedihkan," lirih Giska terisak.

"Aku juga. Aku tersiksa tapi aku nggak bisa mencegah pernikahan ini. Bertahanlah hanya untuk satu tahun, aku akan menceraikannya setelah setahun usia pernikahan kami. Aku janji untuk tidak menyentuhnya demi menjaga cintaku padamu. Dan setelah itu kita bisa menikah dan hidup bahagia bersama selamanya, Giska." Janji Putra terdengar manis di telinga wanita itu, sorot matanya tajam menunjukkan betapa ia tak sedang berbohong.

"Aku ragu. Dia cantik dan masih begitu muda, aku yakin dengan kepribadinya yang menyenangkan dia akan dengan mudah mencuri hatimu."

"Tidak Giska! Hal seperti itu tidak akan terjadi, percayalah. Dia sama sekali bukan tipeku. Dia manja, kekanak-kanakan dan selalu memaksakan kehendaknya. Jangankan cinta, aku bahkan sama sekali tidak menyukainya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai, yang aku harapkan untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Bukan gadis manja seperti Embun," ucap Putra berusaha meyakinkan hati kekasihnya.

"Apa kamu bicara jujur?" Giska menarik diri dari pelukan lelaki itu, menelisik raut wajah Putra, mencoba mencari kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik tatapan pria itu. Sialnya, apa yang baru saja diucapkan Putra justru membuat Giska serasa terbang ke langit luas. Membuatnya begitu meyakini apa yang telah dijanjikan Putra padanya.

"Tentu saja. Aku nggak mungkin bohong sama kamu."

"Janji kalau kamu tidak akan menyentuh Embun dan akan bercerai setelah satu tahun pernikahan kalian?"

"Janji." Putra menjawab dengan penuh kemantapan hati.

"Aku takut Satria akan marah saat tahu kita ada main di belakang adiknya."

"Aku akan mencari cara agar bisa bercerai tanpa merusak persahabatan kami." Putra kembali berjanji.

Sementara itu di balik lorong yang sama tanpa sepengetahuan mereka telah berdiri seorang gadis. Gadis dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya, gadis yang baru beberapa saat lalu resmi melepas status lajangnya dan bertekad untuk mengabdi dengan sepenuh hati menjadi seorang istri.

Baru saja ia menyemai impiannya yang begitu indah bersama pria yang sangat dicintainya, haruskah sepahit empedu balasannya?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Dian Safitri

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku