icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Shadow Under The Light

Shadow Under The Light

Nafish Grey

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
92
Bab

Mati. Kata itu bakal menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini, tetapi tidak untukku. Pertemuan pertama dengannya merupakan kesialan sekaligus keberuntungan bagiku. Aku hidup, tetapi terjerat dalam pesona maut si pembunuh tampan bernama Axel. "Matamu cantik." Kalimat pertama yang dia ucapkan padaku. Aku tahu dia tak melihat ketakutan akan kematian di sana. Bersamanya, aku merasa diperlakukan sebagai manusia setelah menerima begitu banyak sakit hati. Namun, sampai kapan Axel bersedia menerimaku. Setelah pembunuhan-pembunuhan mengerikan yang ia pertontonkan. Sampai kapan hingga tiba giliranku berikutnya? Ketika mataku ... tak indah lagi baginya.

Bab 1 Bertemu Dengannya

Mati. Kata itu mungkin akan membuat sebagian besar umat manusia ketakutan, tetapi tidak untukku.

Aku berdiri di atas gedung tujuh lantai. Merentangkan kedua tangan untuk merasakan angin yang menerpa tubuh.

Cuaca hari ini cerah, senja menerpa dan membiaskan cahaya jingga indah. Mungkin … ini akan menjadi kali terakhirku menatap cakrawala.

Aku menerka, apa rasanya saat tubuh ini menghantam trotoar di bawah gedung. Apa tubuhku akan terburai? Darah memercik estetik, melengkapi senja dengan rona merahnya?

Aku tersedak tangis, lebih dari itu, adakah yang bersedih untuk kematianku?

Aku rasa tidak ada. Menyedihkan bukan?

Embusan napas terdengar keras, beban menyesakkan dada membuatku kesulitan meraup udara.

Kurasa inilah saatnya.

Menatap dengan hampa ke bawah bangunan lantai tujuh ini.

Bersiap melangkahkan kakiku ke bawah, kupejamkan mata ini.

Bersiap untuk mati.

Saat sebelah kakiku sudah terayun di udara, siap melangkahkan kaki satunya lagi, aku dikejutkan oleh suara isak tangis, antara ada dan tiada, suara yang terbekap.

Aku memutar tubuh dan mendapati seorang wanita terikat di sudut atap gedung.

Sejak kapan dia ada di sana? Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya sedari tadi.

Gadis itu menangis, air mata melunturkan maskara hitamnya, membentuk jalur menakutkan layaknya badut dalam film horor. Mataku mengedip bingung, betapa lambannya otakku bekerja sewaktu menyadari gadis ini adalah Lyra.

Si cantik berambut pirang yang menghancurkan karirku dan membuatku dipecat setelah bertahun-tahun bekerja keras.

Bola mata besarnya menatapku penuh permohonan, kedua tangan dan kaki gadis itu terikat kuat oleh tali dan bibir si jalang ditutup dengan lakban.

Jika kau mengira aku akan terkejut melihat kondisi Lyra, kau salah besar ... hatiku hampa dan pikiranku kosong. Semua menjadi tak bermakna, dunia berputar dalam warna monokrom. Monoton.

Tatapanku tertuju padanya tanpa asa, air mata Lyra semakin deras mengalir bak anak sungai, tetapi hatiku sama sekali tidak tersentuh dan tanganku tak mau bergerak untuk menolongnya.

Dia memang pantas menerima semua ini ... dia pantas diperlakukan buruk. Tawa gadis itu, pandangan meremehkannya dulu, juga kalimat fitnah yang ia lontarkan mengeraskan hatiku.

Namun, siapa yang melakukan semua ini?

Jawabannya datang secepat kedipan mata, pintu atap gedung terbuka. Seorang pria melangkah ke arah Lyra. Memasuki bidang pandang kami.

Dia belum menyadari kehadiranku karena aku berdiri di samping belakangnya, sudut mati pandangan pria itu.

Pria bersetelan kasual dengan kemeja dan celana jeans itu menarik Lyra berdiri diiringi oleh pemberontakan si gadis.

Lyra menoleh ke arahku, saat itulah sang pria sadar. Ia lalu berbalik ....

Seraut wajah tampan menatapku dengan ekspresi terkejut. Mungkin bisa kukatakan, pertama kali berjumpa dengannya adalah saat paling sial dan paling beruntung dalam hidupku.

Karena dialah ... hidupku benar-benar berubah.

Ia menatapku, kemudian tersenyum culas. Senyum yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup, menawan. Menarikku ke dalam dimensi lain penuh pesona memabukkan.

Aku tahu, dan instingku mengatakan bahwa dia bukanlah orang baik-baik. Tapi kadang-kadang, iblis pun bisa terlihat seperti malaikat.

"Matamu cantik." Adalah kalimat pertama yang diucapkannya saat kami bertemu.

Mungkin ia melihatnya, ketakutan memudar bersama sembilu pilu mencengkeram jiwa rapuh.

Ya! Dia benar ... untuk saat ini ... semua rasa telah diambil dari ragaku, menyisakan kepingan jiwa retak yang akan hancur kapan saja.

"Ikutlah denganku," ajaknya.

Pria itu menarik tanganku, kemudian menyeret Lyra menggunakan troli laundri. Dan aku membiarkan saja semua itu terjadi, seolah kehendak bebas dalam diriku sudah dicabut.

Aku bagaikan boneka tanpa kemauan yang bisa dibawa ke mana saja.

Aku tahu, otakku sedang sakit dan aku ingin mengakhiri semuanya. Hati kecilku berharap, pria asing ini akan mengakhirinya untukku.

Semua menjadi bayang-bayang semu, dunia terdistorsi sementara anganku melayang bebas, ketika ragaku dijamah tangan asing, aku terpejam pasrah.

Tidak apa-apa, semua akan berakhir, batinku membisikkan kegelapan.

Suara mesin menjadi alunan musik, pepohonan berkejar-kejaran, memintaku berhenti sejenak untuk bernapas, langit berubah gelap sementara mobil sang lelaki membawa kami menuju antah berantah.

Waktu menjadi misteri alam, ketika kesadaranku terkumpul, kami telah tiba di sebuah ruang bawah tanah.

Ruang bawah tanah itu pengap dan bau. Kedua alisku bertaut mengenali bau besi bercampur amis. Bau likuid merah kental yang mengalir dalam pembuluh darah manusia, ya … darah.

Darah? Bagus ... akhiri saja semuanya.

Pria itu melemparkan Lyra begitu saja, si gadis pirang menubruk dinding bagai sekarung sampah. Ia kemudian menarik sebuah kursi dan mendudukkanku dengan lembut.

"Aku suka sekali dengan tatapanmu," ucapnya lagi sambil membelai wajahku. Mata cokelat menawan itu berpendar oleh euforia.

"Tapi kau harus kuikat agar tidak pergi."

Dia mengambil seutas tali di meja satu-satunya dalam ruangan ini, lalu mengikatku ke kursi dengan erat. Dan seperti tadi, kubiarkan ia melakukannya begitu saja, tanpa perlawanan sama sekali.

Mati, mati, mati, otakku memutar kata tunggal itu.

"Lihat baik-baik, Manis! Karena kita punya tatapan yang sama." Pria itu memutar kursiku menghadap ke arah Lyra.

Dengan tangan terikat, Lyra berusaha menyeret tubuhnya menjauh sewaktu pria itu mendatanginya. Si pria berpakaian kasual itu melepas lakban yang membekap mulut Lyra, membuat si gadis langsung menjerit nyaring.

Pria itu bereaksi dengan cepat, menampar Lyra keras hingga gadis itu terdiam. Bisa kulihat dari sudut bibir Lyra mengalir darah segar karena bibirnya pecah akibat tamparan kuat.

Lyra menangis sambil memohon-mohon, belum pernah aku melihat gadis jahat itu selemah ini.

“Dia menjual rahasia perusahaan pada mereka.” Ingatan suara Lyra kembali menjamah benakku. Aku tertawa sinis. Biasanya gadis ini selalu membuat orang memohon-mohon padanya, tetapi lihat sekarang, keadaan berbalik drastis. Ingin sekali aku menyoraki si pria atas perbuatannya.

Si pria mengeluarkan pisaunya."Showtime!" ucapnya sambil menoleh ke arahku.

Aku membalas tatapannya dengan hampa, sekali sabetan cepat ia melukai wajah cantik Lyra.

"Ini untuk wajah cantik," ujarnya.

Lyra melolong kesakitan, darah segar membanjiri pipinya, lalu turun menghampiri leher.

Jika kau mengira aku akan syok melihat darah sebanyak itu, kau salah lagi. Otakku masih sakit, dengan respon yang sangat lambat. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan di hadapanku.

Pria itu lalu melanjutkan aksinya. Ia merobek kemeja yang dipakai Lyra, kancing-kancing putih berhamburan, mengelinding tanpa daya dan berhenti tepat di dekat kakiku. Lyra menggeleng kuat, ketakutan mengambil alih kehendak tubuh, membuat Lyra mengalami tonic immobility. Ia membeku, pria itu berhasil melepas sisa kain di tubuh Lyra, menampilkan bra hitam bermotif renda dan mutiara.

Mungkin saja … ia akan melakukan hal yang keji dengan memperkosa gadis ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku