Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DINIKAHI KONGLOMERAT

DINIKAHI KONGLOMERAT

Evie Yuzuma

4.7
Komentar
218.5K
Penayangan
123
Bab

[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa, hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!] Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Pikiranku yang sedang kacau oleh hal itu, bertambah runyam oleh omelan yang keluar dari mulut cabenya Teh Selvi. “Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong? Kamu pergi lagi ke pasar beli ayam lagi pake duit kamu sendiri, punya gak?” cibirnya. Dia tak pernah bosan menghinaku karena kastaku yang dianggapnya rendahan. Aku lupa ada sepasang netra yang menatapku sambil berlinang. “Ibu kenapa?” Aku menoleh ke arahnya setelah Teh Selvi berlalu. “Maafin Ibu sama ayah kamu, Ta! Kalau saja kami punya uang dan menyekolahkan kamu tinggi, mungkin kakak-kakak sepupumu tidak akan merendahkanmu seperti ini?” isaknya. Wa’ Imah hanya sesekali melirik kearahku dan Ibu. “Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan, Allah tidak hanya melihat dari pendidikannya. Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau kan

Bab 1 DK1

BAB 1

“Ta, ungkep ayamnya udah matang! Cepetan angkat dan goreng!” seru Wa Imah---kakak kandung ibu.

“Iya, Wa … bentar tanggung lagi marut kelapa sedikit lagi!” tukasku. Keringat sudah membanjiri pipi.

“Eh, Ta … tolongin buatin kopi dong buat akang-akang kamu! Udah pada datang! Masaknya belum kelar juga?” teriak Selvi---kakak sepupu pertamaku.

“Sinta belum kelar, Teh! Teteh buatin aja atuh sendiri! Airnya udah aku rebus juga dalam termos! Di dispenser dalam rumah juga ada!” ucapku.

“Eh, dasar ya! Kalau diperintah sama yang lebih tua itu jangan banyak tingkah, tinggal bikin kopi aja susahnya apa sih?” tukasnya dengan mata memutar jengah.

“Siapa, Teh yang banyak tingkah?” Kudengar Rema, kakak sepupuku yang lainnya menyahut dari dalam rumah.

“Itu Si Babu!”

Meskipun benar pekerjaanku hanya sebagai pembantu rumah tangga, tapi entah kenapa ketika mendengar sendiri ucapan itu disebutkan dengan kasar dan nada melecehkan hatiku sakit, ya?

“Oh, Sinta! Biasalah orang yang gak berpendidikan ‘kan sukanya banyak tingkah dan gak punya etika!” ucap Kak Rima lagi.

“Iya, baru jadi babu aja udah belagu!” sambung Rena, Kakak sepupuku yang lainnya.

Mereka memang benar jika mengatakan pendidikanku rendah. Aku hanyalah lulusan SMA tidak seperti mereka yang bisa kuliah dan kini memiliki karir bagus. Memang nasib baik tidak berpihak pada keluargaku. Ibuku yang merupakan anak bontot menikah dengan seorang lelaki yang hanya buruh serabutan. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain. Mereka beruntung mendapati suami yang memiliki pekerjaan yang lebih baik.

Entah dari mana Kakekku yang sudah tua renta itu datang. Meskipun usianya sudah mencapai lima puluh delapan tahun tapi dia masih saja bugar.

“Sinta, kamu jangan gitu kalau diperintah sama Kakak-kakakmu, gak baik menentang yang lebih tua!” ucap Kakek dengan sekilas melirik ke arahku. Lelaki tua itu berjalan melewatiku begitu saja.

“Biar saya saja Bah, yang buatin!”Ibuku sepertinya tidak tega melihatku. Dia segera berdiri meninggalkan pekerjaannya yang sedang mengulek bumbu.

“Gak usah, Bu! Sinta aja!” tukasku sambil bergegas meninggalkan pekerjaan memarut yang sebetulnya hanya tinggal sedikit lagi.

Aku segera menyiapkan kopi untuk mereka. Kudengar riuh sepupu-sepupuku menyambut kedatangan kakek ke ruang tengah.

“Kakek!” Kudengar teriakan ketiga sepupuku di dalam rumah. Mereka selalu dimanjakan oleh lelaki tua itu.

“Eh, cucu-cucu kesayangan kakek!” Dan mereka terdengar mengobrol dengan hangat.

Bagaimana pun Kakek selalu membanggakan Kakak-kakak dari Ibu yang memiliki kehidupan lebih baik. Dan keempat cucunya yang kini sudah menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi. Cucu yang selalu dia bangga-banggakan. Bukan sepertiku yang selalu dibedakan dan dikucilkan.

Tidak hanya para kakak sepupu itu yang merendahkanku. Ibu mereka pun sama memandang rendah pada ibuku yang merupakan adik termudanya. Hanya Wa Imah saja, yang merupakan kakak ketiga dari ibu yang memang hidupnya sama juga serba susah. Ketika sedang ada acara keluarga seperti ini maka yang akan jadi tumbal adalah ibuku dan Wa Imah.

Aku berjalan ke depan dengan membawa nampan berisi kopi. Untuk suami Rena dan Rima. Sementara Kak Selvi meskipun usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia masih belum menemukan jodohnya juga hingga saat ini. Dia sedang menggelendot di pangkuan kakek.

“Silakan, Kang!” Aku menawari kopi tersebut pada Kang Bahri dan Kang Sarif.

“Eh, makasih Ta! Oh iya mana suami kamu? Kami minta maaf gak bisa hadir waktu nikahan kamu!” ucap Kang Bahri.

“Gak apa-apa, Kang!” ucapku sebetulnya dengan hati pedih.

Mengingat kejadian seminggu lalu di mana tidak ada seorangpun dari keluarga yang menghadiri pernikahanku. Hanya kedua orang tuaku..

“Iya, soalnya kita kemarin lagi persiapan menghadiri acara di perusahaan Kang Bahri sama Kang Sarif. Soalnya bos mereka ‘kan nikah juga. Biar kita tampil maksimal, secara kan acaranya sebentar lagi akan dilangsungkan di seluruh perusahaan cabang Adireja grup,” ucapnya.

“Eh, kho tanggal nikahnya Tuan muda adireja grup bisa samaan dengan tanggal pernikahan kamu, Ta?” tukas Teh Selvi. Dia masih berbaring di pangkuan Kakek yang sedang menyesap teh manis yang kubuatkan tadi pagi.

“Iya, bisa sama ya? Cuma gak mungkin ‘kan menantu misterius kaluarga konglomerat yang katanya dari kalangan biasa itu, kamu?” cibir Teh Rena.

“Mana ada lah, Tuan Ashraf suka wanita model kayak dia, sekolah aja cuma lulusan SMA, pekerjaan babu, mana mau dia! Meski cantik kalau tidak berbobot buat apa?” timpal Teh Rema.

“Lagian kamu kerja cuma ngurus nenek tua yang sakit-sakitan kan katanya, ya?” tanya Teh Selvi lagi.

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk ke dalam gawaiku. Ponsel murahan yang kubeli dari hasil kerja kerasku. Aku mengabaikan mereka dan berjalan kembali ke dapur.

[Sayang! Gimana acara keluarganya? Maaf, ya … malah bentrok sama jadwal berobat Mama ke Singapura!] tulis suamiku.

[Iya, gak apa-apa, Mas! Gimana Mama? Baikan sekarang?] balasku.

[Alhamdulilah! Semenjak kamu merawat dia di rumah dengan telaten, perkembangan kesehatannya berkembang pesat! Aku tidak salah memilih istri sebaik kamu! Makasih, ya, Sayang!] tulisnya.

Aku menitikkan air mata. Hatiku terasa dilambungkan tinggi ke nirwana. Entah perbuatan baik apa yang kulakukan dulu? Atau mungkin kebaikan yang ditanamkan kedua orang tuaku?

Tiba-tiba anak majikan dari tempatku bekerja melamarku. Dengan satu alasan, katanya dia terpesona dengan lantunan ayat Al-qurán yang selalu dia curi dengar setiap shubuh. Ah, biarlah kebahagiaan ini kugenggam sendiri dulu. Bahkan dalam pernikahan sederhana itu, ayah dan ibu menyangka jika yang kunikahi adalah supir dari majikan tempatku bekerja.

Dasar ayah yang kolot, padahal ketika ikrar dengan jelas dan lantang p1ak penghulu menyebutkan nama lengkap suamiku. Ahsraf Adireja Putra, tapi tetap saja ayahku tidak mengerti siapa sebetulnya kini menantunya. Maklum dia juga jarang menonton televisi, mana dia tahu tentang pengusaha-pengusaha kaya yang ada di negeri ini.

Ayah dan ibu yang kolot hanya tahu panas terik dan wangi lumpur sawah. Bergelut mencari rejeki di sana demi sesuap nasi untuk menyambung kehidupan kami.

“Ah, lihat itu Tuan Ashraf … wah ganteng banget ya! Itu lihat beritanya … putra dari konglomerat Adireja grup dengan santun memperlakukan ibunya ketika hendak naik pesawat!” Teh Selvi berteriak ketika melihat berita ti TV. Kulirik sekilas, ada senyum mengembang di wajahku.

“Eh, kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Ta? Jangan ngarep ya, punya suami kayak Tuan Ashraf … lihat saja, nanti pas acara perayaan di kantor, akan kupepet … gak apa-apa deh jadi yang kedua!” ucap Teh Selvi denga wajah jutek dia melirik ke arahku.

“Iya, babu mah jangan mimpi ketinggian! Nanti sakit!” ujar Rema.

“Iya, Teh … kita nanti pake baju apa, ya! Aku pengen photo sama Tuan Ashraf!”

Mereka tidak mempedulikanku dan terus mengobrol. Membicarakan tentang pesta yang akan di adakan suamiku di setiap kantor cabangnya.

“Gimana reaksi mereka, jika nanti aku datang dengan gaun Cinderella dan di gandeng sang pangeran?”

Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Evie Yuzuma

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku