Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Teror Berdarah

Teror Berdarah

owlysh

5.0
Komentar
163
Penayangan
28
Bab

Awalnya, kehidupan Yonna terasa biasa saja, pergi ke sekolah dibonceng Luther—pacarnya, makan sambil mengobrol di kantin bersama dua sahabatnya, mengejek Dovis yang selalu menerima penolakan cinta dari Malilah, meski terkadang ia merasa muak dengan sikap kedua orang tuanya yang saling abai ke satu sama lain. Namun, semua itu terasa tidak ada apa-apanya setelah semakin hari, Yonna justru semakin menemukan kejanggalan dalam setiap hal yang ia temui. Banyaknya kasus bunuh diri untuk alasan yang tidak masuk akal, dan puncak ketegangan berada di acara Halloween. Apakah ini adalah tanda awal dari mimpi buruk yang selalu ia jumpai dalam tidur? Arti dari merah? Kasus bunuh diri? Kenapa Halloween? Anak baru?

Bab 1 SMA

Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik, duduklah seorang perempuan yang tengah memetik senar ukulele. Dari bibirnya terlantunkan kemerduan suara bersama lirik lagu penuh kebahagiaan, karya dari salah satu penyanyi pop terkemuka dunia. Meski apa yang ia nyanyikan sangat bertolak belakang dengan keadaannya saat ini, hatinya tetap berusaha tegar.

Satu hal yang Yonna percaya, kebahagiaannya pasti datang suatu hari nanti. Yang harus ia lakukan adalah bertahan hingga pintu kebahagiaan itu terbuka dan mengundangnya untuk menetap atau sekadar bertamu.

Menghapus bulir mutiara yang mengalir keluar, Yonna masih melanjutkan konser tunggalnya. Semua benda mati di sekitar merupakan penonton setia juga pendukung.

Saat ingin berganti lagu, ponsel pintarnya berdering, memanggil untuk diangkat.

"Halo," sapanya.

"Ada apa dengan suaramu?" tanya seorang di seberang dengan suara maskulin.

"Tidak ada apa-apa, Luther," kilah Yonna.

"Aku tahu kau berbohong. Masalah itu lagi?" Nada Luther melembut penuh perhatian.

"Iya, biarkan saja. Ada apa jam segini menelepon?" Yonna meletakkan ukulelenya di atas meja belajar, kemudian berjalan menuju tempat tidur.

"Hm? Adakah larangan menghubungi pacar di jam sebelas malam?" ujar Luther yang justru mendapati decakan dari Yonna—pacarnya.

"Apaan." Yonna menduduki kasurnya dengan wajah memerah.

Terdengar kekehan dari pengeras suara. "Bisakah kau kirimkan foto wajahmu saat ini?"

"Tidak."

"Kenapa? Karena pipimu bersemu merah?" tebak Luther yang semakin membuat pipi pacarnya memerah.

Yonna dapat merasakan seringaian Luther dari sini.

"Luther! Jika kau menelepon hanya untuk menggodaku, pergilah." Percayalah, Yonna tidak bermaksud mengusir.

Lelaki yang sudah berpacaran dengannya selama enam bulan itu tertawa mendapati balasan ketus Yonna.

"Jangan marah, cantik. Aku takut tukang kebun melihat wajahmu."

"Tukang kebun? Pak Gading? Kenapa?" Dahi Yonna terlipat.

"Nanti dia pingsan karena kau terlalu imut, kasihan istrinya."

"Apaan, Luther! Itu sama sekali tidak bekerja. Pak Gading bahkan pasti sedang tertidur sekarang."

"Bagaimana kau tahu? Apa kau baru saja memeriksanya? Beraninya kau."

"He, tidak."

"Benarkah?"

"Iya, apa gunanya aku memeriksa."

"Hm."

"Ck, kenapa jadi bahas Pak Gading?"

"Entah."

Yonna menghela napas, "Kenapa kau belum tidur?"

"Karena kau belum tidur, cantik. Apa saja yang kau lakukan?"

"Tidak ada, hanya duduk."

"Kalau begitu berbaringlah sekarang dan tutup matamu," titah Luther.

"Sudah," ucap Yonna setelah berbaring. Sebelum menutup mata, ia mematikan lampu tidur terlebih dahulu.

"Yakin?"

"Hm," gumam Yonna.

"Tidur!" pinta Luther tanpa penolakan.

Tidak terdengar respon dari pacarnya, Luther mendekatkan ponsel ke telinga. Tak lama, dia mendapati deru napas yang teratur. Menandakan bahwa miliknya baru saja tertidur. Membiarkan keadaan itu berlangsung setengah jam, akhirnya lelaki tampan itu menutup panggilan.

Dalam hubungan mereka, Luther merasa bersyukur menjadikan Yonna sebagai gadisnya, dia memiliki kekuatan juga sekaligus menjadi kekuatan bagi gadis rapuhnya itu.

Luther berjalan menuju balkon kamar, merogoh bungkus rokok dari kocek celana. Selepas membakar ujung rokok dengan pemantik, Luther menghisap dalam-dalam gulungan tembakau. Inilah salah satu dari caranya menghangatkan tubuh, membaui asap mentol, menikmati malam yang sunyi.

/////

Yonna bergerak gelisah dalam tidur, mimpi buruk terus saja menghantui setiap malamnya. Peluh bertebaran di seluruh wajah tirusnya, dahi pun ikut memanas. Yonna mulai menggumamkan beragam kata, samar-samar, dan tidak jelas.

Ia tersentak dari tidur, napasnya tersengal-sengal. Sayang sekali, ketika bangun ia sulit mengingat rekaman dari mimpinya selain satu warna, merah.

"Merah, merah, merah! Sebenarnya mimpi apa itu?!" Yonna berteriak kesal.

"Sulit sekali mengingatnya!"

Satu tangan Yonna menyeka peluh, melirik jendela yang menangkap cahaya matahari pagi dari luar. Ia menoleh menatap nakas, di sana tergeletak sebuah jam yang sedang menunjuk angka enam.

Seperti biasa, untuk menghapus kekesalannya, Yonna akan pergi ke kamar mandi guna menyegarkan diri. Harap-harap teror dari sang mimpi ikut luruh bersama air dan memasuki pembuangan.

Selesai bersiap dengan seragam sekolah, Yonna turun ke ruang makan. Ia menjumput roti lapis isi selai kacang, kemudian duduk. Mama Yonna—Yulissa—datang membawa segelas susu hangat.

"Mama pulang telat malam ini, jadi Mama sudah pesankan ke Bibi agar masak untuk kamu saja." Yulissa tersenyum ke anak semata wayangnya itu.

"Ayah juga pulang telat?"

"Tentu saja, Ayahmu selalu pulang larut malam, kan?" Terselip nada ketus dalam kalimat yang terlontar barusan.

"Baiklah."

"Kamu bisa mengundang teman-temanmu kemari atau pergi berbelanja, asal jangan sampai lupa waktu."

"Iya, Ma. Jangan khawatir."

Yulissa mengelus puncak kepala Yonna, rambutnya lurus turunan dari Yulissa sendiri. Mata lentik dan hidung yang mancung juga menuruti Yulissa, sedangkan tinggi dan bentuk tubuh yang kurus merupakan turunan ayahnya.

"Mama berangkat dulu, ya? Kamu yang benar sekolahnya!"

"Iya, Ma. Hati-hati di jalan!"

Yonna memandangi mamanya yang meninggalkan meja makan.

Saat hendak meminum tegukan terakhir, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Luther baru saja masuk, tertera dia sudah menunggu di depan rumah.

Dengan berlari kecil, Yonna sampai di luar gerbang depan rumah. Menyadari kehadiran Yonna, Luther membuka kaca helm, tangan kanannya mengambil helm lain yang biasa dia bawa khusus untuk gadisnya.

"Maaf, lama." Yonna menerima helm dari Luther.

"Santai. Ayo, naik!" titah lelaki pemilik kepopuleran di SMA Wondrous—sekolah mereka.

Setelah Luther merasakan Yonna menggenggam kedua sisi jaketnya, barulah dia memacu motor.

/////

Sebelum Yonna memasuki kelas, Luther menyempatkan mengacak rambut hitam gadisnya.

"Ish, rambutku berantakan." Yonna mencubit kecil pinggang lelaki didepannya.

"Sudah, masuk sana!"

Perempuan itu mengangguk lalu masuk ke kelas 12-IPA 2, meninggalkan Luther yang menduduki kelas 12-IPA 1.

Sampai di dalam, Yonna disambut oleh sahabatnya—Akia, yang duduk bersebelahan dengan Yonna. Gadis berkepribadian tenang itu sepertinya mengganti gaya rambut.

"Selamat pagi, Yonna," sapa Akia.

"Pagi, Ki. Udah ganti gaya rambut, nih?" tanya Yonna sambil mengaitkan tas di samping meja.

"Hehe, cocok tidak? Saya merasa aneh." Akia menyentuh rambut gelombangnya.

"Sangat cocok, kau terlihat lebih dewasa."

"Dewasa atau tua?"

Mendengar ucapan Akia barusan, mereka berdua tertawa singkat.

"Kamu sudah menyelesaikan makalah biologi?" tanya Akia mengganti pembahasan.

"Sudah, untung aku tidak lupa membawanya tadi." Yonna mengeluarkan tugas dari guru biologi.

"HALO SEMUA! SELAMAT PAGI!" teriakan itu berasal dari perempuan yang memiliki tubuh lebih rendah dari Yonna, sahabat mereka.

"Pagi, Kiya! Pagi, Yonna!" seru Malilah menyapa dua sahabat baiknya.

"Pagi!" balas mereka bersamaan.

"Apa itu, Yon?" tanya Malilah setelah berhasil duduk di kursi yang berada di belakang Yonna.

"Ini? Tugas makalah biologi. Kau sudah selesaikan?"

"Makalah? Ada disuruh buat, kah?" Raut Malilah penuh bingung.

"Astaga, jangan bilang kamu lupa?!" tanya Akia, meski mereka pun sudah tahu jawabannya.

"Jangankan lupa, aku aja nggak tahu ada tugas makalah begini, Ki."

"Sumpah, Lil. Modelan kaya kau kok, bisa naik kelas 12, sih?" Yonna melontarkan nada mengejek.

"Ya, mana aku tahu. Bukan aku yang urus kenaikan kelas. Lagian, baru juga kita naik kelas 12, tugas sudah banyak aja," keluh Malilah.

"Namanya juga sekolah, kalau bukan disuruh mengerjakan tugas, apa lagi?"

"Tok, tok, tok. Mak Lilah kusayang, Dovi yang tampan datang."

Tawa Malilah berhenti seketika, meski berteman, ia selalu malas jika berinteraksi dengan Dovis Elliot, kembaran Clovis Elliot yang sekelas dengan Luther.

"Lilah, sayang. Masa aku kau abaikan, sih? Tega!"

"Siapa, ya?"

"Aduh, sakit sekali," ujar Dovis dramatis.

"Nih, biar kesayanganku bisa langsung kenal sama pria jantan satu-satunya ini."

Dengan gagah, Dovis memberi Malilah tumpukan kertas yang dibuat menjadi buku. Makalah biologi yang harus dikumpul hari ini.

Seketika, manik Malilah berkilat senang, ia tidak akan jadi dihukum nanti.

"Bagaimana?" Dovis memainkan kedua alisnya.

"Wah! Terima kasih banyak Dovi yang tampan satu kabupaten." Dengan penuh bahagia, Malilah memeluk makalah tersebut.

"He, giliran dikasih beginian, langsung muji." Yonna menatap datar tindakan aneh sahabatnya yang satu itu.

"Nggak apa-apa, Yonna. Janji dia bahagia," timpal Akia.

Bel pertanda masuk berbunyi bertepatan dengan duduknya Dovis di samping bangku Malilah. Senyum lelaki itu tertampang sangat jelas, melihat Malilah yang masih tersenyum senang di atas kursinya.

/////

"Mari sahabat-sahabatku, kita serbu kantin." Malilah mengait masing-masing satu tangannya kepada Yonna dan Akia, menyeret mereka ke kantin.

Bel istirahat sudah berbunyi.

"Aku dengar, ada siswi yang bunuh diri di SMA Merah Putih kemaren sore." Kabar yang didapat Malilah menjadi pembuka acara gosip mereka.

"Bunuh diri? Kamu dengar dari mana?" Akia bertanya setelah berhasil meneguk air mineral dalam botol.

"Aku punya kenalan dari sana, katanya cewek itu bunuh diri karena patah hati."

"Apa? Patah hati?" Dahi Yonna berkedut heran.

"Iya! Kau tahu nggak gimana cara siswi itu bunuh diri?"

"Nggak, gimana? Gantung diri?"

"Gantung diri kayaknya sudah mainstream, deh."

"Terus?"

"Dia menusuk-nusuk perutnya sendiri pakai pisau, sampai darahnya itu muncrat ke mana-mana."

"Serius?!" Yonna bergidik ngeri membayangkan apa yang siswi itu lakukan.

Akia pun ikut meringis membayangkan.

"Serius! Di halaman belakang sekolah lagi, pasti gentayangan."

"Masa bunuh diri, sih? Bukan kasus pembunuhan, Lil?" tanya Akia.

"Bukan, dari laporan pihak kepolisian, cuma ada sidik jarinya di gagang pisau. Lagian aksinya itu terekam kamera CCTV!"

"Astaga! Merinding aku." Yonna mengelus dadanya, merasa takut.

"Iya! Apalagi aku semalam lihat video rekaman CCTV itu. Sumpah, kaya nonton film thriller."

"Kau dapat videonya? Mana?"

"Ada, Joan yang kasih. Mau lihat?"

"Iya!"

"Nih, kalian berdua nonton sendiri, pakai earphone sekalian." Malilah menyodorkan ponsel pintarnya, lalu meminjam milik Yonna—bertukar.

Yonna berbagi earphone bersama Akia, merotasikan ponsel menjadi melintang. Meski takut, Yonna memerhatikan setiap detik video yang tayang.

Di sana, mereka melihat perempuan seumurannya baru datang dari sisi luar gedung, berjalan lunglai menuju tengah-tengah halaman. Walau jarak antar dirinya dan kamera cukup jauh, tatapan dari perempuan itu terlihat kosong. Dengan badan menghadap ke luar, ia mengeluarkan sebilah pisau dari saku gaun tidur yang dikenakan.

Sepersekian detik berikutnya, ujung pisau yang tajam memasuki bagian dalam perutnya, lagi dan lagi. Berdasarkan hitungan Yonna, ada lima kali tusukan.

Darah menciprat ke tanah sebelum akhirnya jatuh, terlihat ia menyempatkan diri untuk tertawa. Mendengar tawa itu, Yonna merinding setengah mati. Bagaimana orang yang sekarat masih sempat berpikir untuk tertawa?

Lima detik selepas siswi dari salah satu sekolah yang juga terkenal itu kehilangan nyawa, video berhenti. Namun, tidak berhenti berputar di dalam pikiran Yonna. Ia menemukan satu hal yang dirasa aneh.

"Makanannya datang!" pekik Malilah kegirangan. Perutnya sudah menggerutu sejak tadi meminta diisi.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku