icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Saya dan Miliarder Cantik

Saya dan Miliarder Cantik

Renko

5.0
Komentar
3.2K
Penayangan
39
Bab

Mateo, seorang pria yang dihantui oleh masa lalunya, dipaksa hidup menyendiri setelah terjerat kasus pembunuhan sejak lama. Anonimitasnya yang dibangun dengan hati-hati hancur ketika dia bertemu dengan Hillary, seorang wanita kaya dan sombong yang tanpa disadari menjadi umpan bagi jurnalis investigasi Serina, saat wanita itu menyelidiki kisah Mateo yang terlupakan. Bersama-sama, mereka membentuk aliansi yang tidak terduga, didorong oleh keinginan untuk mengungkap kebenaran di balik kejahatan keji itu. Saat mereka mengarungi jaring berbahaya, Mateo, Hillary, dan Serina harus menghadapi musuh mereka sendiri dan mendorong batas keyakinan untuk mewujudkan keadilan. Akankah aliansi mereka menang, atau akankah bayang-bayang dari masa lalu menghabiskan mereka semua?

Bab 1 Taruhan Berkencan

Rumah makan yang terletak di hadapan mereka tampak sederhana dengan papan reklame kecil menggantung di sudut bangunan. Baru saja cahaya kekuningan muncul dari papan berukuran mini itu, memperjelas lagi rangkaian huruf yang tertempel di sana—Honolulu.

Dari tirai jendela, siluet beberapa orang bergerak tidak beraturan. Mereka adalah pelanggan yang datang satu jam lalu. Tidak mengira jika pintu rumah makan terbuka kembali saat ini dan memunculkan tiga sosok pria berjalan keluar sambil mengusap-usap perut yang sepertinya sudah puas diberi makan.

"Semua pelanggan sudah pergi. Kau bisa masuk ke sana. Aku akan menunggumu di sini." Serina berkata sambil mendorong wanita di depannya.

Hillary yang didorong pun melirik tajam pada sahabatnya yang berlagak seperti seorang atasan. Terlebih dia tidak suka dengan rencana Serina yang tergolong buruk. Belum pernah seumur-umur dia menginjakkan kaki ke tempat kecil seperti rumah makan yang dilihatnya ini.

"Kenapa menatapku seperti itu? Tidakkah Kau ingin berkencan dengan Shohei?" tanya Serina.

Tidak ada yang bisa Hillary lakukan selain menuruti permintaan Serina. Kalau bukan karena Shohei, pria yang sangat diidolakannya itu, pasti dia tidak akan berada di lingkungan kumuh ini sekarang.

Pada akhirnya, Hillary turun dari mobil mewah yang terparkir rapi tidak jauh dari rumah makan. Dia ragu-ragu untuk melangkah, tetapi Serina yang jaraknya jauh itu terus-menerus memperingati sehingga terpaksa kaki dibawa menginjak area terlarang baginya.

Seperti apa yang tampak ketika berada di sana, semua orang benar-benar sudah pergi. Rumah makan kosong melompong tanpa satu orang pun yang menempati meja makan. Sehingga saat ini hanya ada dirinya saja yang berstatus sebagai seorang pelanggan.

Suara desis minyak terdengar bersamaan dengan aroma makanan yang langsung tercium, membuat siapa pun terlena untuk berlama-lama menghirupnya. Tidak berbeda dengan Hillary yang melupakan tujuan dan tanpa sadar menikmati bagaimana memilukan kondisi cacing-cacing di perut, bersorak merdu agar pemilik tubuh sudilah kiranya memberi makan.

"Silakan duduk."

Suara dari pria yang mengenakan apron itu membuat Hillary sedikit linglung. Dia baru sadar kalau kedatangannya bukan untuk makanan, melainkan untuk mendapatkan nomor ponsel.

Hillary duduk dengan enggan di salah satu kursi pelanggan. Baru sebentar dia duduk, sebuah pergerakan membuat dia menolehkan kepala. Pria yang diyakini sebagai pemilik rumah makan berjalan menghampiri dengan membawa nampan di tangan.

Pria itu datang ke hadapan Hillary dan menyuguhkan semangkok mi yang kuahnya berwarna merah menyala. Bagaimanapun melihat sekeliling ruangan, sudah jelas kalau menu makanan itu untuk Hillary karena hanya dia satu-satunya pelanggan yang ada.

"Tapi ... aku belum memesan—"

"Hanya ada satu menu di rumah makan ini."

Hillary tidak mengira kalau rumah makan yang didatanginya bukan hanya kecil, tetapi juga minim dalam soal menu makanan. Namun, dia harus tahu satu hal kalau urusannya bukan untuk membahas soal menu makanan. Kedatangannya agar bisa mendapatkan nomor ponsel pria ini sehingga dia nantinya bisa berkencan dengan Shohei.

"Jika Anda tidak ingin memakannya, maka menu ini tidak akan disajikan."

Hillary segera menghentikan gerakan pria yang ingin mengambil mangkok mi, lalu berkata, "Baiklah. Aku akan memakannya." Dia tidak bisa mundur lagi karena sudah terlanjur datang. Jadi, yang bisa dilakukan sekarang adalah menjalankan rencana.

Setelah itu, pria tersebut kembali mengambil tempat di sisi dapur. Tampak kembali sibuk. Sementara Hillary hanya melirik saja dari jauh sembari bertingkah seolah sedang menikmati sajian makanan. Untung saja dia duduk di tempat paling sudut yang mana kecil kemungkinan isi mangkok dapat terlihat.

Beberapa saat berlalu, Hillary bangkit dan berjalan ke arah meja kasir untuk membayar. Sekarang dia sedikit tertawa, ingin memperlihatkan kalau dia benar-benar senang karena telah mengisi perut dengan sajian makanan.

Semua hanya pura-pura pastinya.

"Aku tidak tahu kalau rumah makan sekecil ini memiliki makanan yang sangat enak."

Pria itu hanya diam dan bersikap acuh, membuat suasana menjadi semakin canggung. Benar kata Serina, kalau pemilik rumah makan adalah orang yang sangat tidak bersahabat. Entah apa yang disukai Serina dari pria ini. Padahal, tampang pria ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Shohei.

"Anda tidak akan membayar?"

Hillary terbangun dari lamunan, tetapi setelah itu marahnya tertahan. Enak saja berkata seperti itu padanya. Jangankan membayar, membeli rumah makan ini saja sampai ke tanah-tanahnya dia sanggup!

"Oh, baiklah," ucapnya, berusaha terlihat biasa saja. Hillary mengeluarkan sejumlah uang dari dompet, lalu menyerahkannya.

Pria itu hanya mengambil satu lembar uang saja, lalu memberikan sisa dari total harga makanan. Sementara Hillary masih gelisah mencari bagaimana cara agar dia bisa mendapatkan nomor ponsel pemilik rumah makan.

"Makanan yang Kau sajikan sangat enak. Aku berpikir untuk datang lagi lain kali." Hillary menyimpan uang kembalian dan beralih mengeluarkan ponsel. "Apa aku bisa meminta nomor ponselmu? Aku seorang manajer di sebuah perusahaan. Lain kali akan membawa teman-temanku ke mari dan mungkin saja dari mereka ada yang ingin memesan langsung dari kantor. Untuk itu, perlu nomor ponselmu," terangnya.

Pria itu melirik ponsel yang disodorkan tanpa menunjukkan minat. "Kami tidak menyediakan layanan pesan antar."

Hillary tersenyum, menyembunyikan kekesalannya saat ini. Dia sudah tidak ingin lagi berlama-lama di rumah makan yang begitu mencekik jika ditinjau dari luas ruangannya. Namun, rencana tidak berjalan begitu lancar. Dia harus memutar otak lagi, bagaimana cara agar nomor pria ini ada di ponselnya?

"Tidak masalah. Kau tahu? Kantor adalah lingkungan yang sangat sibuk. Terlalu membuang-buang waktu untuk menunggu. Kalau nomor ponselmu ada, mereka akan memesan terlebih dahulu dan mengirimkan seseorang untuk datang menjemput saat semua makanan sudah selesai dibuat." Hillary menyodorkan ponselnya lebih jauh.

Pria itu melirik ke arah ponsel kembali dan masih tidak mengambilnya sama sekali. Setelah berpikir panjang, baru dia memutuskan untuk menuliskan sejumlah nomor pada secarik kertas.

"Anda bisa menghubungi nomor ini jika ingin memesan. Perlu diingat kalau kami tidak menyediakan layanan pesan antar. Jika ingin membeli, maka kirim saja orang untuk datang menjemput."

Hillary menganggukkan kepala. "Aku tahu. Kalau begitu, semoga bisnismu berjalan lancar," ucapnya, kemudian membalikkan badan. Dia tersenyum lega memandangi kertas yang ada di dalam genggaman.

Hillary bergegas menghampiri sahabatnya yang mana sudah menunggu sejak tadi. Dia tidak terlalu menunjukkan bagaimana ekspresinya lantaran tidak ingin menarik perhatian pemilik rumah makan.

Sampai saat Hillary berhasil menaiki mobil, baru dia berteriak senang. Bukan karena mendapatkan nomor ponsel, melainkan karena dia akan berkencan dengan Shohei!

Serina sungguh tidak tahu dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba dipeluk sampai kesulitan bernapas, dia hanya menampilkan raut wajah kebingungan. "Apa yang terjadi?"

Hillary memisahkan pelukan mereka, lalu menyerahkan kertas berisikan nomor itu pada sahabatnya. "Kau harus memenuhi janji untuk kencanku dengan Shohei!"

Serina memperhatikan kertas tersebut dengan pandangan mata tidak percaya. "Bukankah ini terlalu mudah?! Bagaimana kau bisa mendapatkan nomornya?! Aku tidak yakin jika kau bisa mendapatkannya dalam waktu singkat!"

Serina memang tidak berani untuk meminta secara langsung. Dia terlalu takut untuk berhadapan dengan pria yang menurutnya terlihat mengerikan. Jadi, dia meminta bantuan Hillary.

Tetapi apa yang terjadi? Hillary begitu mudah mendapatkannya. Bahkan, keluar dari rumah makan tanpa menunjukkan tanda-tanda menemukan kesulitan.

"Dia tidak ingin memberikan nomor ponselnya di awal. Tapi otakku sangat cerdik! Aku memuji makanan buatannya dan mengatakan ingin merekomendasikannya pada teman-teman. Setelah itu, dia menuliskan sejumlah nomor di kertas dan memberikannya padaku." Hillary menjelaskan.

Serina baru saja teringat mengenai rumah makan yang hanya menjual satu menu makanan itu. Lantas, dia terpikirkan tentang kondisi Hillary. "Tapi ... apa Kau baik-baik saja? Rumah makan itu hanya menghidangkan satu menu saja. Kau tidak memakannya, bukan?"

Bukan tanpa alasan mengapa Serina sangat khawatir karena dia tahu kalau Hillary memiliki penyakit usus buntu dan tidak bisa memakan makanan pedas.

"Tidak mungkin! Selain makanannya yang terlihat pedas, aku juga tidak mungkin mengisi perut di tempat seperti ini. Dan sekarang aku sangat lapar karenanya. Ayo, kita mencari tempat yang layak untuk makan!" ucap Hillary, kemudian menyalakan mesin mobil sebelum menjauh dari tempat yang sama sekali bukan seleranya itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Renko

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku