Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Penantian seorang istri

Penantian seorang istri

Ade Tiwi

4.4
Komentar
28.1K
Penayangan
42
Bab

Kisah seorang istri yang selalu sabar menghadapi sikap dingin tak tersentuh suaminya, dan berusaha membuat kata cinta hadir di dalam rumah tangga mereka. Akankah sang istri berhasil menaklukkan hati suaminya? atau dia justru kalah dan menyerah?

Bab 1 Satu

Jika ditanya, apa impian terbesarku?

maka aku akan menjawab sederhana. Menikah dengan pria yang aku cintai dan mencintaiku, serta menjadi seorang istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anakku kelak.

Hmm, simple kan? tetapi, kenapa Tuhan tak urung mengabulkan keinginanku walaupun aku sering berdoa yang terbaik untukku.

Apakah sang maha kuasa marah dan murka padaku yang mengeluh? impian dan kenyataan justru berbanding terbalik, aku memang menikah namun bukan dengan pria yang aku cintai dan diapun juga tak mencintaiku. malahan dia membenciku dan tega mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesialan untuknya.

Tak hanya itu, tatapan benci dan jijik selalu ia berikan setiap kali melihatku seakan-akan aku ini kotoran yang tak enak di pandang.

Aku lelah dan juga sakit hati, tentu saja. Pernikahan yang aku impikan lenyap tak bersisa tetapi aku tetap ingin mempertahankan pernikahan ini. Apakah salah bila seorang istri berusaha berjuang untuk mempertahankan rumah tangganya?

Tuhan, kuatkanlah aku menghadapi semua ini sampai batas kesabaranku habis.

*****

Aku melihat sekaligus meneliti penampilan suamiku yang tampak tampan dan rapi dengan gaya pakaian kasualnya. Aku tersenyum lembut seraya bertanya padanya, "mau kemana, Mas?"

"Bukan urusanmu!" sahutnya masih saja ketus setiap kali aku tanya.

Ini sudah memasuki bulan kedua usia pernikahan kami, tetapi sikap dan sifatnya masih sama saja. Tak ada sedikitpun perubahan, mas Tala masih tetaplah sosok yang dingin tak tersentuh.

Aku tersenyum masam, berharap kedinginan mas Tala sedikit mencair untukku. Hah, keinginan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Lalu, mengapa aku masih bertahan?

Mungkin kalau wanita lain pasti langsung meminta cerai, tapi aku tidak, kenapa?

Karena aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini, setidaknya meskipun harapan untuk hidup bahagia bersama itu tipis. Karena bagiku, menikah itu hanya sekali seumur hidup.

Aku akan menyerah dan mundur apabila aku sudah tak mampu lagi mempertahankan pernikahan ini.

"Mas, bolehkah aku ikut?" tanyaku hati-hati dan berharap mas Tala mau mengajakku.

Ku dengar mas Tala mendengkus dan kini menatapku tajam. Aku tak berani membalas tatapan matanya dan lebih memilih menundukkan kepalaku.

"Menyebalkan!" cibirnya seraya melangkah melewatiku begitu saja.

"Mas!" panggilku seraya mengikuti langkahnya yang kini sudah memegang gagang pintu dan bersiap pergi.

"Apalagi?!" bentaknya nyaris menjerit, aku sampai harus menutup kedua telingaku.

"Mas, mau kemana sih? Bisakah Mas beritahu padaku—"

"Sudah ku bilang bukan urusanmu, apa kau tidak mengerti bahasa Indonesia?" sahutnya menyela ucapanku.

"Mas, aku bertanya karena aku ingin tahu kemana suamiku akan pergi."

"Kalau begitu buang saja rasa keingintahuanmu itu."

"Mas!" jeritku panik saat mas Tala langsung pergi begitu saja dan ....

Blaaammm.

Bunyi suara pintu yang di banting kuat mengagetkanku.

Cairan bening itu kembali mengalir deras tanpa diminta. Ya Tuhan! Kuatkanlah aku dan lindungi suamiku dimanapun ia berada.

*****

Aku menggeliat kecil dan menatap jam dinding yang bertengger cantik di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari tetapi masih juga tak menunjukkan tanda-tanda mas Tala akan pulang.

Sedari tadi juga aku berusaha memejamkan mata untuk tidur, namun sayangnya kantuk tak juga mau datang menyapaku lalu membawaku ke alam mimpi.

Perasaan cemas, gelisah dan khawatir bercampur jadi satu. Bertanya-tanya pada diri sendiri, dimanakah suamiku saat ini.

Tak tahukah dia bahwa aku sangat khawatir?

Aku menatap ponsel yang sengaja ku letakkan di meja, perlahan aku bangkit dari posisi rebahanku di sofa panjang yang ada disini. Kembali ku hubungi lagi nomor ponsel mas Tala dengan pengharapan kali ini diangkat.

Alih-alih berharap demikian aku justru kembali dibuat kecewa, nomor ponsel mas Tala malah tidak aktif. Dengan lesu aku kembali meletakkan ponselku ke meja, mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan seraya bergumam mengkhawatirkan keberadaan mas Tala.

"Kamu dimana, Mas...?"

Drrttt... Drrttt...

Aku mengalihkan pandangan ketika mendengar suara ponselku bergetar, dengan semangat aku mengambil ponsel tersebut berharap jika mas Tala yang menghubungiku.

Senyumku yang tadi mengembang langsung lenyap saat ku dapati bukan mas Tala lah yang meneleponku melainkan temanku. Aku mengerutkan dahi bingung, untuk apa Lista menghubungiku jam segini?

Entah kenapa aku tak berniat untuk mengangkatnya, sekarang ini perasaanku tengah gelisah memikirkan suamiku. Suami yang tak pernah memandangku maupun menganggapku ada walaupun aku sangat dekat dengannya.

Tersenyum kecut aku kembali meratapi nasib pernikahanku, apakah aku akan sanggup bertahan bila terus seperti ini?

Tidak, tidak! Aku tidak boleh goyah dan menyerah. Aku harus kuat.

Beep beep....

Ponselku kembali berbunyi, satu notifikasi pesan dari Lista. Aku semakin mengerutkan dahi, apakah ada sesuatu hal penting yang terjadi.

Karena penasaran aku pun membuka pesan yang di kirimkan Lista. Dan sontak saja aku terbelalak kaget begitu melihat isi pesannya.

Ya Tuhan!

Hatiku terasa sesak melihatnya, orang yang tengah ku khawatirkan malah dengan sangat santainya berbuat hal seperti itu.

Aku gak sanggup untuk lebih lama melihat pemandangan itu, dengan tangan gemetar aku menghubungi nomor ponsel Lista yang syukurlah langsung diangkatnya.

Aku bertanya pada Lista kenapa dia bisa memiliki foto-foto tersebut. Foto-foto mesra mas Tala dengan seorang wanita seksi yang ku duga tengah berada di sebuah club malam.

Lista bilang ia tidak sengaja melihat mas Tala disana dengan seorang wanita. Tak perlu menanyakan keberadaan temanku disana sebab aku sudah hafal sekali dengan sifat dan dunianya yang bebas. Kami memang berteman, tetapi gaya hidup dan tingkah kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Aku juga tidak menanggap bahwa diriku adalah orang yang paling suci di dunia ini. Hanya saja aku tidak menyukai club malam dan sejenisnya, sedangkan Lista adalah ratunya.

Kehidupan bebas Lista pun membuatnya dikenal sebagai wanita nakal dan liar. Tetapi, aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Ibu dan ayah sempat melarangku untuk jangan berteman lagi dengan Lista. Aku menolak karena aku nyaman berteman dengan Lista begitupun dengannya, aku dan Lista saling menghargai dan menyayangi satu sama lain.

Aku menutup sambungan telepon ketika Lista selesai bicara, ini sesuatu yang sangat mendadak bagiku. Selama ini aku tidak pernah tau kalau mas Tala suka ke tempat-tempat seperti itu.

Yang menjadi pertanyaanku, ini baru pertama kalinya atau sudah sering mas Tala lakukan? Mengingat setiap malam ia selalu pergi dan pulang ketika pagi.

Oh, mas Tala, teganya kamu melakukan ini padaku. Kalau hanya datang saja ke club malam mungkin aku tidak semarah ini. Tetapi bermesraan dengan wanita?

Itu sudah sangat keterlaluan, mas! Tetapi, kenapa aku harus marah? Bukankah mas Tala tidak pernah memikirkan perasaanku. Jangankan memikirkan perasaan, mas Tala bahkan tak pernah menganggap pernikahan ini nyata untuknya.

Sudah sering mas Tala mengatakan bahwa ia tak peduli pada apapun tentangku. Justru ia semakin senang bila aku tak tahan dengannya dan cepat meminta cerai.

Apakah mas Tala sengaja melakukan ini?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Ade Tiwi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku