icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Preman Jatuh Cinta

Preman Jatuh Cinta

Goresan emak

4.1
Komentar
1.8K
Penayangan
5
Bab

Rendi (24 tahun) merupakan komplotan penipu yang menggunakan telepon gelap, meminta sejumlah uang pada korbannya dengan berdalih dia adalah keluarga korban yang sedang kecelakaan. Malam itu, Rendi menelepon korban yang salah, dia mengaku jadi anak korban yang kecelakaan, tapi ternyata korbannya adalah seorang gadis. Gadis itu membandingkannya dengan seekor hewan. Kata-kata perempuan yang berbau makian itu menjadi magnet tersendiri bagi Rendi untuk mengenalnya lebih jauh. Tapi ternyata gadis itu bernama Mouza(21 tahun) bekerja di sebuah SPBU, gadis yang sama yang menyiram wajahnya dengan bensin tanpa sengaja. Rendi beralasan memberi Mouza hukuman atas kesalahannya, supaya Rendi bisa dekat dan menikmati setiap kata dan senyum yang terlukis di bibir indah Mouza. Semakin jauh Rendi mengenal Mouza, Rendi tersadar akan ketidak bergunaannya selama ini, dia bertekad mengubah dirinya agar tidak lagi menyusahkan orang tuanya dan sedikit berguna walau untuk diri sendiri. Rendi ingin membahagiakan Mouza dengan jerih payahnya. Namun jejak kriminal yang dilaluinya membuat Rendi kesulitan menemukan pekerjaan dan akhirnya Mouza mengetahui sisi kelam Rendi saat Mouza jatuh hati pada Rendi. Orang tua Rendi bangkrut akibat masa lalu Rendi. Rendi akhirnya memutuskan pergi merantau ke Ibu Kota Jakarta. Lalu, lost kontak dengan Mouza. Lama Mouza menunggu Rendi tanpa kabar, Mouza akhirnya memutuskan menerima lamaran lelaki lain yang jauh lebih baik dari Rendi.

Bab 1 Calon Korban yang salah

Tuuttt! Tuuttt!

Nada dering yang menyatakan panggilan tersambung.

"Masuk, Cok!" kata Rendi ke teman-temannya dengan senyum sumringah.

"Ha...," suara korban menjawab.

Rendi tidak membiarkan korbannya berbicara, dengan cepat dia memulai

aktingnya, menangis histeris untuk meyakinkan korban.

"Mak... aku kecelakaan"

Suara riuh yang sengaja di buat menjadi background Rendi saat berbicara, agar terdengar meyakinkan.

"Mak ... tolong aku Mak! Mak!"

Korban terdengar gusar di seberang. 'Umpan bertemu ikan komandan'batin Rendi.

Tapi, kali ini Rendi benar-benar tidak menduga jawaban korban.

"Siapa Mamak kau?" suara di seberang lantang tidak ada suara kepanikan.

Rendi kembali berusaha meyakinkan tanpa menyebutkan nama.

"Aku loh, Mak! aku anak Mamak."

Orang diseberang terdengar menghela nafas.

"Kau kalau mau uang, kerja! bukan ngaku-ngaku jadi anakku trus minta uang, gitu 'kan maksudmu?"

'Sepertinya aktingku kurang meyakinkan' Monolog Rendi.

"Ishh, Mamak masa nggak perduli sama anak sendiri, Mak! tolong aku Mak!" Rendi mengeluarkan semua jurus aktingnya, agar dapat mengelabui korban, menangis dan terdengar sangat panik adalah jurus jitunya selama ini.

"Diam!" Suara di seberang membentak Rendi.

Pengeras suara yang aktif, membuat teman-teman Rendi mendengar teriakan korbannya.

Mereka terkejut bukan main, sepertinya mereka salah korban, suara riuh hasil dari suara yang di timbulkan mereka pun terhenti, hening sekejap.

"Sejak kapan aku punya anak, Hah? Pacar aja belum punya, kapan pulak anakku mencelat bisa kecelakaan, sinting kurasa kau, mau nipu aku pulak kau, kau jual ginjal kau itu sebelah kalau mau uang, malu kau sama monyet, monyet aja kerja biar makan, kau mau nipu, basi kali caramu"

Telepon di putuskan sepihak oleh calon korban yang gagal. Ya! gagal total. Mana calon korban lebih galak dari mama tiri lagi.

Aggrrh! Rendi mengacak rambutnya kasar, malam ini tidak jadi pesta miras. Mereka salah korban.

"Sabar, Boi! malam ini kita beli yang murah dulu, yang penting teler," Kata teman Rendi yang biasa disapa Bang Ucok.

Akhirnya tuak jadi tujuan terakhir. Harga murah tapi tetap membuat mabuk.

Mabuk adalah kebahagiaan tersendiri bagi Rendi. Entah sudah berapa banyak minuman beralkohol itu menggenangi tubuhnya.

Namun malam ini tak seperti biasanya, Rendi tidak bersemangat, bukan karena korban gagal masuk dalam jeratan, tapi, kata-kata perempuan itu berputar-putar di ingatan Rendi.

'Malu kau sama monyet, monyet aja kerja biar makan'

Rendi mengacak-acak rambutnya kesal, masa monyet lebih baik dari dirinya?

'Seburuk itu 'kah aku?' batin Rendi bergejolak.

Tuak yang teronggok di depannya sudah terlihat tidak nikmat. Ucok yang melihat temannya tak bersemangat menghampiri.

"Ngapa kau Ren, gak pala kau pikirkan kali kegagalan tadi, besok kita gas kan lagi," kata Ucok memberi energi positif bak Mario Teguh. Tapi, yang di semangati malah pergi.

"Cabut aku, Cok!" Rendi menyampirkan jaketnya di pundak.

"Mau kemana kau? gak asik kali ah!" panggil Ucok.

Rendi melambaikan tangan, menarik gas sepeda motornya, lalu pergi meninggalkan Ucok sendirian.

" Salah makan kurasa anak itu" Ucok bergumam sendirian.

Dilain tempat ada Mouza, gadis bertubuh mungil, bibir tipis dan mata bulat bak bola pimpong, sedang marah-marah tak jelas akibat tidur cantiknya di ganggu penelepon tidak tau aturan.

"Enak kali bibir dia manggil Mamak, dia kira aku pernah di kawini Bapaknya?" Mouza mengomel sendiri di kamarnya.

Matanya kini sulit diajak tidur kembali, padahal besok harus masuk shift pagi. Mouza bekerja sebagai operator di sebuah SPBU. Bosnya cukup galak, telat lima menit saja langsung potong gaji.

"Gara-gara penipu sialan itu lah ini ahh," Mouza uring-uringan.

Baru saja rasanya Mouza memejamkan mata, suara alarm sudah memekakkan telinganya. Mouza tersentak dan melirik jam di atas nakas, 05.30.

Mouza berlari menuju kamar mandi, hanya sisa waktu 30 menit, menurut Mouza adalah waktu yang sangat mepet berhubung banyak ritual wajib yang harus di lakukan di kamar mandi, seperti menghayal jadi istri Lee Min Hoo diatas kloset, menyanyi seperti Jessi J dalam kamar mandi, yang sering berujung teriakan Ibunya dari dapur.

Mouza berlari menuju Motor bebek kesayangannya, yang selalu menemaninya kemana pun pergi, mau di temani pacar, pacarnya masih sibuk syuting di Korea. Itu kehaluan Mouza yang suka lupa haluan.

Benar saja sampai di tempat Kerja, sepeda motor sudah mengantri panjang seperti kereta api. Hari ini jadwal Mouza dan temannya Rini berada di jalur pengisian sepeda motor.

Wajah Rini tampak menahan kesal.

"Ku kira udah tewas kau," Rini bicara ketus.

Mouza mendelik ke arah temannya.

"Biasa ajalah woi! baru telat 5 menit"

Rini memutar bola mata malas. Mouza bilang 5 menit, ini sudah setengah tujuh. Pergantian shift tengah malam ke shift pagi pukul 06.00. Mouza telat 30 menit, tentu akan membayar denda besar hari ini.

Suara klekson kendaraan riuh terdengar, jam pagi adalah jam paling sibuk, sudah jadi kebiasaan penduduk setempat berangkat bekerja atau sekolah dan mampir dulu mengisi bahan bakar. Bukan pemandangan baru jika kendaraan roda dua itu berbaris panjang, terkadang operator yang bertugas mengisi minyak ingin menangis karena pegal berdiri tanpa istirahat.

3S yang di terapkan SPBU kala itu, tidak berlaku pada jalur sepeda motor.

Jika harus melakukan Senyum, Sapa, Salam maka yang antrian belakang pasti sampai di tempat kerja atau sekolah sudah menjelang waktu pulang.

"Goceng." pelanggan terakhir hari itu. Seorang lelaki berperawakan tinggi, putih, matanya sayu dan berpenampilan khas anak muda berandalan.

Mouza mengisi tanki motor lelaki itu, entah karena lelah atau sepeda motor yang lebih tinggi, nozel pengisian minyak tersendat, hingga bensin yang akan diisi menyembur keluar membasahi wajah Mouza dan lelaki itu. Mouza terkejut bukan main.

Berulang kali Mouza meminta maaf, namun lelaki cungkring itu diam saja dan berlalu.

Rini yang melihat kejadian tadi menghampiri Mouza.

"Aduh, Za! kau dalam masalah besar," kata Rini sambil membereskan laci tempat uang untuk disetor ke kasir.

"Maksudmu?" Mouza malah balik bertanya.

"Yang pertama, kau telat 30 menit, kau akan bertemu dengan Pak tarigan, selain diceramahi kau juga akan dapat surat cinta alias total potongan gaji"

"Trus?" Mouza tidak sabar menanti pernyataan kedua Rini.

"Yang kedua, ini lebih besar, kau menyiram wajah preman Tanjung Anom" Jelas Rini sambil bergedik ngeri.

"Preman?lelaki cungkring tadi? alah, ditiup angin terbang itu, badan selidi, sok jadi preman,"jawab Mouza sepele.

Rini menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir kenapa temannya tidak mengenali preman yang di takuti satu kampung itu. Bahkan, kawasan kekuasan Rendi dan teman-temannya sampai ke Pajak Melati.

"Terserah kau ajalah, Za! tapi hati-hati sama dia, udah berkali-kali berulah tapi tetap bisa bebas, katanya uang Bapaknya banyak, nggak ada orang yang berani cari masalah dengan dia," jelas Rin.

Mouza berlalu meninggalkan Rini,tak menghiraukan perkataannya dan berjalan cepat agar Segera menghadap Pak Tarigan. Ya! dia akan menerima ceramah dan kertas daftar potongan gaji yang akan di potong bulan depan seperti kata Rini tadi.

Ternyata Pak tarigan melihat kejadian tadi dari CCTV, dia pun membahasnya, bukan hanya kesalahan menumpahkan minyak dan pelayanan yang tidak baik. Tapi, Pak Tarigan lebih mengkhawatirkan keselamatan Mouza. Pak Tarigan sampai rela mengkawal Mouza sampai ke gang rumahnya.

Rendi yang tak sudah-sudahnya mengumpati gadis Si Pengisi bensin itu.

"Sial!" maki Rendi sambil memukul tanki motor miliknya.

"Untung cantik, kalo gak udah kubanting tu perempuan" Rendi masih mengomel sendiri.

Ucok yang sedari tadi memperhatikan Rendi terkikik melihat ulah temannya.

"Kita kerjai cewek itu, cocok kam rasa?" usul Ucok.

Rendi teringat suara perempuan tadi malam yang membandingkannya dengan seekor monyet. Ada rasa aneh menghantam hatinya. Rasanya jiwa bruntal Rendi sirna, dia membayangkan wajah gadis tadi yang bicara dengannya tadi malam.

"Cantik," gumam Pelan.

"Kanapanya kau? Ahh, gak jelas kali anak ini jang, woii!" Ucok melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Rendi.

Rendi tak merespon, dia malah senyum-senyum sendiri.

"Senget kurasa anak ini,udahlah mati kau situ, nggak asik kali." Ucok meninggalkan Rendi yang sibuk mengkhayal.

Di tatapnya layar ponsel yang menghubungi gadis semalam, nomor itu masih tertera disana. Rendi menyalin nomor itu ke ponselnya satu lagi.

Dia berniat menghubungi gadis itu kembali, kali ini bukan untuk meminta sejumlah uang, tapi, memenuhi sebuah gejolak yang sulit dia gambarkan.

"Tapi, bagaimana aku menghubunginya, apa yang alan ku katakan padanya?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku